[CERPEN]--AKU (TAK) BISA TERBANG

AKU (TAK) BISA TERBANG
Oleh: Amaliya Khamdanah



            “Kau memang tidak bisa terbang, dasar pengecut!” teriaknya padaku. Seketika aku menunduk dalam.

Deo sudah berkata padamu, kan? Kau itu pengecut!” sambung yang lain menatapku sinis, dan yang lain pun melakukan hal yang sama—menatapku penuh kesinisan—Aku kembali menunduk dalam. Salahkah aku, Tuhan? batinku berucap.

***

            Suatu pagi sebelum sang mentari menampakkan rupa dan sinarnya. Warga sekitar danau Mare digemparkan oleh penemuan sehelai bulu emas, sungguh sangat mengkilaukan. Pagi itu, semua warga ramai-ramai berkumpul di sekitaran danau Mare itu—danau yang letakkanya tak jauh dari rumah Sho—menanyakan berbagai hal, Apa itu? Benarkah itu emas? Mengapa bulu emas itu jatuh di desa kita? Sepertinya Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuk desa kita?! Semua pertanyaan mengarah pada sehelai bulu emas itu. Sebelum akhirnya mitos-mitos dari leluhur ramai di bicarakan.

Warga desa Mare telah bersepakat untuk menyimpannya di tempat terdekat dari penemuan sehelai bulu emas tersebut dan semuanya mengarah pada Sho. Setelahnya, sehelai bulu emas itu akhirnya disimpan Sho di tempat yang paling aman, sebuah kotak dari kaca yang berbentuk persegi yang diletakkan jauh dari ruang keluarga, tepatnya di loteng rumah.

“Kenapa kau tak menolaknya? Menyimpan barang temuan sangat berisiko, Sho,Fhu mulai berbicara pada Sho pelan. Sho hanya mengusap pelan dahinya, setelah sebelumnya membuat persegi dari kaca tersebut. “Kita baru saja tinggal di desa ini, Sho? Belum fasih akan tradisi-tradisi bahkan mitos disini.” lanjut Fhu yang semakin lama ucapannya semakin melemah—ketakutan.

Fhu, sudahlah. Hiraukan samua mitos-mitos di desa ini. Toh, yakinlah selama kita menyembah Tuhan, Dia akan senantiasa melindungi keluarga kecil kita.” Sho membalas kegusaran istrinya dengan ucapan sedikit menenangkan, sekilas seutas senyuman terindah terlontar untuk Fhu.

Di hari-hari selanjutnya, keluarga kecil Sho diberkahi keturunan. Lima sekaligus! Sho dan Fhu sangat berbahagia, bahkan beberapa warga desa Mare diundang selamatan dirumah dekat danau itu. sangat ramai. Sedangkan sehelai bulu emas itu tetap tenang pada tempatnya—persegi dari kaca di loteng rumah.

“Kau menamainya siapa saja, Fhu?” tanya salah seorang warga desa Mare. Fhu sekilas melirik suaminya sesekali.

“Kau bisa memanggilnya, Deo, Reo, Ero, Qoo, dan—” Sho berhenti sejenak lantas berpikir dalam.


“Kita bisa menmanggilnya Zeo. Bukankah begitu, Sho?” Fhu lantas tersenyum melihat suaminya, sedangkan Sho mengangguk setuju dan warga Mare lainnya ikut berbahagia.

..............
Cek cerita selanjutnya disini:  Storial.co/amaliya78

Komentar