[CERPEN]--AKU MELIHAT RUMPUT PAGI
AKU MELIHAT RUMPUT PAGI
Oleh:
Amaliya Khamdanah
Coba
bertanyalah pada rumput-rumput pagi yang bergoyang. Mungkin saja ia mengetahui
bagaimana masa lalu mu dulu.
“Zekaaa!” teriaknya dari kejauhan.
Aku masih fokus pada jalanku,
menaiki sepeda ontel tua milik eyang menuju fakultas bahasa.
“Zekaaa!” teriaknya lagi.
Aku menghentikan ayuanan sepedaku.
Lantas mencari asal suara. Ya, terlihat dari kejauhan perempuan bersepeda motor
matic merah menuju kearahku. Aku
menghela napas panjang, menatapnya lamat-lamat karena masih terlihat jauh.
Jalan yang kulewati tidak terlalu
lebar, hanya bisa di lewati dua sepeda motor itu pun salah satu harus mengalah
untuk berhenti sejenak. Sedangkan kanan kiri adalah hutan buatan, jangan salah
hutan buatan di perguruan tinggi ini sangat mirip dengan hutan sungguhan.
Bayangkan saja, di sekitar pohon-pohon yang menjulang tinggi di sisi kanan kiri
jalan banyak tumbuh rumput-rumput ilalang yang tumbuh hampir dua meter, di
tambah tumbuhan-tumbuhan liar lainnya.
Aku berdiri disamping sepeda tua.
Perempuan bersepeda motor matic pun
mendekat tampak gigi-giginya yang putih berjejer rapi diantara senyum
mengembangnya. Aku membalasnya, sama.
“Duh, maaf ya Ka, ganggu kamu.”
ucapnya mengawali pembicaraan, tak lupa senyuman khasnya kembali hadir.
Aku hanya mengangguk sembari
memarkirkan sepeda ontel ke tepian jalan. Jalan ini adalah penghubung
antara fakultas bahasa dan fakultas
sosial, maklum di fakultas sosial terdapat jurusan geografi yang notabene
ilmunya berhubungan dengan alam, hutan buatan ini salah satunya.
“Pulang kuliah ada waktu?” tanyanya
lagi.
“Sepertinya tidak. Ada keperluan
apa?” tanyaku. Aku berusaha biasa saat mengahadapi pertanyaan-pertanyaan ringan
seperti ini.
“Di desa mu ada panti asuhan,
bukan?” tanyanya lagi, kali ini raut mukanya berubah serius. Aku menatapnya dan
sedikit berpikir.
Pagi ini terlalu menggetarkan jiwa.
Mengayuh sepeda untuk menormalkan detak jantung tentu menjaga kesehatan pula,
tapi kenapa Tuhan memberikan ujian ini? Rasanya sesuatu dalam diri yang disebut
dengan hati pun ikut berdetak kencang. Ah
Tuhan, apa-apaan ini?
“Ka—ka—ka?”
tangannya melambai-lambai tak jauh dari mukaku. Aih, ini adalah hal gila yang pernah kulakukan!
“Eh iya ada. Maaf tadi agak mikir.
Ada yang bisa dibantu, Raa?” balasku sedikit terbata-bata.
“Nanti, usai pulang kuliah bisa
antar kesana gak?” ucapnya. Aku mengangguk setuju. Terlihat senyum simpul kini
menghiasi bibirnya.
***
Siang ini aku terdiam, silauan sinar
mentari menyoroti mukaku. Aku menunggunya di parkiran sepeda motor, sedangkan
sepeda ontel tua milik eyang tengah
kusandarkan tak jauh dari tempatku menunggu. Aku menghela napas perlahan.
“Sudah lama menunggu, Ka?” tanyanya.
Aku menggeleng keras. Sebenarnya sudah hampir tiga puluh menit aku menungguinya
di tempat ini. Sengaja, aku tak mengabarinya lewat ponsel, takut mengganggu
pelajarannya.
“Kamu naik sepeda atau bareng naik maticku?” tanyanya lagi. Di tangan
kanannya sudah siap kunci sepeda motor berbando snoopy. Sangat lucu.
“Tidak usah, aku naik sepeda ontel
saja, lebih mengasyikkan. Atau kamu saja yang naik sepeda ontel ini?” balasku
menunjuk sepeda ontel lalu tertawa. Lesung
pipi ku terlihat jelas, tambah manis muka ini Tuhan!
Kami bergegas menuju kendaraan
masing-masing. Lantas mengiringi satu sama lain. Maklum, jalan yang kami lewati
sangat sempit. Apalagi jalan menuju desaku yang kini hanya mampu di lewati satu
kendaraan saja. Iya, desaku terletak di kaki gunung kota ini, dan sedikit jauh
dari tempatku menggapai mimpi.
***
Siang itu telah berlalu begitu
cepat. Tak khayal dan sangat kenyataan, aku melewati jalan yang sempit ini
bersamanya. Walau pun kendaraan kami berbeda. Oh Tuhan, apa-apaan hati ini!
Hari ini di minggu fajar, usai
sholat subuh aku menungguinya di seberang jalan raya. Menunggui dan nantinya
akan menemaninya untuk melakukan observasi menganai anak yatim piatu di desaku.
Aku mengamati sekitar. Jalanan masih
sangat sepi yang ada hanya lampu-lampu jalan dengan warna keoranyean dan suara
ayam berkokok, di ujung timur desa masih terdengar suara kyai memberi wejangan
pada jamaah, walaupun terdengar sangat lamat-lamat. Sedangkan mentari belum tampak,
hanya sedikit sinarnya yang mampu menembus langit pagi ini.
Sengaja aku datang lebih dahulu dari
perjanjian. Kali ini aku tanpa sepeda ontel tua, hanya jalan kaki sembari
menikmati alam desa di kaki gunung yang masih asri. Berbeda dengan tempatku
menggapai mimpi, di sana sudah ada beberapa pabrik dan parahnya limbah hasil
produksi di buang sembarangan di sekitaran sungai, bukan hanya sungai, tanah,
udara pun ikut tercemar.
“Selamat pagi, Zekaaaa!” sapanya,
gigi putihnya berjejer rapi dengan jas almamater biru tua yang ia kenakan.
“Pagi, Raa!” balasku lalu tersenyum, bedanya
aku tak mengenakan jas almamater, hanya jaket abu-abu dan celana training SMA
dulu.
Kami memilih jalan kaki. Sepeda
motor miliknya kami titipkan di parkiran dekat jalan raya. Sebenarnya jarak
jalan raya dan panti asuhan cukup memakan waktu, tapi apalah daya, hal ini
adalah keinginannya, katanya sambil olahraga. Aku hanya mengangguk setuju.
“Sudah lengkap semua peralatan
observasimu?” tanyaku mengawali pembicaraan.
Ia hanya mengangguk.
“Bukankan dua minggu lalu, kau sudah
melakukan observasi di panti asuhan kota?” tanyaku lagi.
Ia menoleh kearahku, lalu tersenyum.
“penelitianku kurang, dan aku kurang puas dengan hasilnya.” balasnya, tak lama
kamera mungil miliknya mengarah kepadaku,
“Kau ini, berani-beraninya
memotretku. Ah sial!” umpatku tanganku mengepal tanda kesal, sedangkan ia malah
tertawa melihat hasilnya.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi
keindahan alam yang tak terbatas. Jalan yang kami lewati semuanya hijau, para
petani belum memanen padinya. Rumput-rumput liar tumbuh di sepanjang jalan yang
kami lewati, hijau. Jika kau belum pernah melihat tanaman padi, mungkin kau kan
mengira rumput-rumput liar ini adalah padi. Di ujung-ujung rumput pun embun
mulai menetes, gunung pun terlihat jelas ketampakannya, sinar mentari mulai
menampakkan diri. Kami masih setengah perjalanan.
“Kenapa harus desaku?” tanyaku lagi,
setelah beberapa menit saling berdiam diri.
“Unik saja. Aku dengar dari
orang-orang bahwa panti asuhan di desamu sangat berbeda dengan panti asuhan
lainnya. Aku sangat penasaran.” ucapnya, “dan, seperti yang kubilang tadi,
penelitianku terhadap anak-anak di panti asuhan kota kurang memuaskan. Aneh
saja, selama pengamatanku disana hampir semua anak yatim piatunya memegang
gadget. Entah didapat dari mana, katanya dari para penyumbang. Aku tak begitu
yakin.”
Aku mengangguk paham, mendengarkan
hasil pengamatannya.
“Lalu setelah kutanyai mereka satu
persatu mereka tak saling mengenal. Gila bukan? Iya mereka sudah bertahun-tahun
di panti itu dan tidak mengenal satu sama lain. Terus selama ini mereka ngapain
aja? Dan aku menyimpulkan kehidupan kota sangat individualistis bahakan
anak-anaknya pun sama. Mereka mengenal segala macam aplikasi dalam gadget,
bahakan akun-akun media sosial pun mereka punya, tanpa terkecuali. Nih, liat
Ka, banyak yang invite BBM ku. Duh,
Masya Allah, mereka baru lima tahun paling besar pun sepuluh tahun!”
celotehnya. Aku hanya menangapinya dengan tersenyum.
“Padahal sewaktu aku kecil dulu tak
seperti ini.” suaranya melemah. Aku sekilas melihatnya, butiran bening dari
sudut matanya terjatuh. Aku menghela napas perlahan.
“Miris ya?” balasku, “sebenarnya aku
sependapat denganmu, Raa. Anak-anak kecil sudah main gadget. Sebenarnya baik
untuk perkembangan pola pikirnya, tapi tidak sesuai penempatannya. Kasihan,
yang seharusnya di habiskan bermain dengan teman sebaya malah di habiskan untuk
berkutat dengan gadget.” lanjutku. Aku menghela napas panjang.
“Kau lihat rumput-rumput liar sepanjang jalan itu, Raa?” ucapku menujuk ke
depan sampai ujung yang jauh di sana.
Ia hanya mengangguk lantas
memperhatikanku lagi. Sorotan matanya tampak antusias.
“Masa lalu ku tak jauh-jauh dari
rumput-rumput liar itu.” Aku mengawali cerita lalu tersenyum menatapnya.
“Setiap pagi usai sholat berjamaan
di mushola desa, aku dan teman-teman desa lainnya berjalan santai menikmati
pagi. Selalu seperti itu. Umur kami saat itu lima, enam tahunan. Kami lantas
kejar-kejaran, memetik rumput, bunga-bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan
ini. Bapak, Ibu kami masih di rumah menyiapkan sarapan dan lekas berangkat ke
sawah. Tak ada gadget. Kami seumuran mengenal baik, bahkan teman dari desa
sebelah juga banyak dan di lapangan itu,” Aku menunjuk jauh di depan sana,
“kami melakukan aktivitas bersama, bermain sepak bola antar bocah desa,
layangan, lemparan sandal, kelereng, kejar-kejaran dan masih banyak lagi.” Aku
menghela napas.
“Dan satu lagi yang takkan pernah
kulupakan seumur hidup, Raa.”
“Apa itu?” tanyanya melihatku
sekilas.
“Selalu di pagi hari, ketika mentari
masih berupa semburat cahaya hingga terbitnya mentari. Kami duduk berjejer dari
sini sampai sana, karena seumuran kami terlalu banyak. Duduk di pinggiran
sawah, dan menginjak rumput liar ini, lalu memainkannya sembari menikmati
keindahan desa yang tiada terkira.”
“Aku sering bertanya pada
rumput-rumput pagi waktu itu, mengajaknya berbicara dengan bahasaku. Terkadang
teman-temanku tertawa melihat tingkah konyolku, tapi tak masalah, demi menjaga
hubungan pertemanan kami.”
“Dan pagi ini aku kembali melihat
rumput-rumput pagi, di tempat yang sama namun tak sama seperti dulu. Kenangan
dan rasanya masih terasa sama, hanya tak ada mereka di sini.” lanjutku,
senyumku sedikit mengembang.
“Indah ya masa kecilmu.” lirihnya
meghela napas perlahan.
Zahraa,
pagi ini aku melihat rumput pagi bersamamu. Hijaunya sawah di kanan kiri
jalan di tambah rumput-rumput liar yang tumbuh subur cukup membuatku mengingat masa itu, masa-masa
indah penuh kenangan.
Raa,
lusa kau kan merasakannya, kenangan itu di sini…
Kenangan,
2007
Komentar
Posting Komentar