SENJA, BUKU, DAN TIGA ANAK JALANAN #PESONARAMADAN2018

SENJA, BUKU, DAN TIGA ANAK JALANAN #PESONARAMADAN2018
Oleh: Amaliya Khamdanah


Taman kota selalu ramai pengunjung, apalagi dengan fasilitas umum yang lengkap seperti disediakan tempat duduk panjang, toilet umum gratis, hingga jaringan internet gratis atau WiFi. Ah, hanya saja untuk beberapa kota bahkan kabupaten yang terdapat taman—sebagai salah satu tempat istirahat, berkumpul atau bersenang-senang dengan keluarga dan teman—tak menyediakannya. Tapi tak perlu bersedih, toh jaringan internet gratis bisa dinikmati lagi di lain tempat.

Aku tidak akan membahas mengenai jaringan internet gratis atau mengkritik tata ruang taman baik di kota ataupun kabupaten, karena bukan maksudku untuk menuliskannya di sini. Aku hanya akan bercerita sesuatu yang erat kaintannya dengan taman. Iya, salah satu taman kota tetangga—karena aku tak lahir dan besar di kota dalam tulisan ini.

Senja, Buku, dan Tiga Anak Jalanan, begitulah judul yang kuambil untuk tulisan kali ini. Tulisan kali ini sepertinya sedikit berbeda dari tulisan-tulisan sebelumnya yang kebanyakan unsur materi kuliah hingga nyeleneh rak cetho.

Tunggu, jangan berheti membaca pada paragraf keempat, kau harus membacanya hingga tuntas, sampai akhir tertulis titi mangsa!

Sore itu tak seperti sore-sore biasanya. Sore yang berbeda dari sebelumnya bahkan tahun-tahun lalu. Sore dengan warna langit yang seharusnya keoranyean di ufuk barat, tetapi terhalang oleh gedung-gedung bertingkat di tengah kota. Lampu-lampu jalan pun tak kalah berkontribusi, beberapa lampu jalan sudah menyala, menambah bias cahaya keoranyean sore itu.

Taman kota semakin ramai. Beberapa orang berdatangan, saling temu, dan bertukar cerita. Obrolan santai terlontar ke sana kemari, lalu tersenyum, tangis haru, hingga gelak tawa terdengar di setiap sudut taman. Sungguh, sore yang membawa pada rasa dakat, damai, dan rasa persaudaraan. Apalagi sore lalu masih dalam bulan bernama Ramadan—bulan suci ummat islam—dengan menjalankan puasa serta ibadah dan amalan-amalan bermanfaat lainnya.

Semakin sore taman semakin ramai, langit di ufuk barat semakin terlihat keoranyean dengan tambahan sinar lampu jalanan yang menyala. Beberapa anak terlihat berlarian mengitari taman, berjalan ke satu sudut ke sudut taman lainnya, beberapa remaja bermain skateboard, orang-orang dewasa memilih menepi, duduk di kursi panjang dan mengobrol santai dengan kawan lama, beberapa orang tua memilih menggandeng anak-anak mereka yang masih balita untuk mencari tempat duduk—sekadar mengistirahatkan kaki dan duduk. Pun, beberapa kawula muda memilih duduk melingkar, membahas sesuatu yang penting untuk kota tercinta sembari menunggu adzan maghrib berkumandang.

Taman Pandanaran Semarang #PesonaRamadan2018

Taman Pandanaran adalah taman kota yang kumaksud, terletak sangat strategis di tengah kota, tepat di samping kanan dan kiri bahkan depan terdapat traffic light—lampu lalu lintas. Terletak di jalan Pandanaran Semarang. Oh iya, taman kota ini cukup luas, selain itu di taman ini terdapat patung Warak Ngendog—salah satu maskot Kota Semarang. Warak Ngendong sendiri merupakan makhluk rekaan yang merupakan gabungan dari beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang: Cina, Arab, dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga yang dari Cina, tubuh layaknya buraq dari Arab, dan empat kaki yang menyerupai kaki kambing dari Jawa. Biasanya Warak Ngendog dapat ditemukan saat acara Dugderan—acara tahunan menjelang bulan suci Ramadan di Kota Semarang.

Memang, selama beberapa pekan mengunjungi taman kota ini, aku selalu terfokuskan pada patung Warak Ngendog, iya, karena kekagumanku pada sang empu yang menciptakan filosofi keberagaman yang indah ini.

Pandanganku menyapu sekitar, beberapa kali aku mengambil foto, beberapa kali pula kuhapus hasil foto tersebut dengan alasan tak enak dipandang. Hingga kutemukan objek yang mampu mengalihkan perhatianku. Siapa? Tentu, seseorang yang berhasil membuatku melongo, takjub, bahkan belajar sesuatu darinya.

Sore itu—seperti sore-sore sebelum Ramadan tiba; setiap Sabtu sore ada agenda mingguan dari salah satu komunitas literasi di Semarang, namanya Memo Semarang Community atau yang sering disapa Mesemcom atau Mesem. Di mana setiap Sabtu sore, kami—Mesemcom—membuka LaCaK alias Lapak Baca Kota, siapapun bolah membaca buku yang telah disediakan dengan gratis—seorang anak laki-laki berkaos oranye mendekat, ia tampak takut, malu, tapi ditepisnya dengan langkah kecil yang semakin dekat. Mendekati kami—Mesemcom—yang sedang berdiskusi tentang literasi—sedangkan di hadapan kami, banyak buku beraneka macam warna (baca: kover buku yang warna-warni), dan bertebaran di atas karpet hijau.

#PesonaRamadan

Sekali lagi, langkah kecilnya semakin dekat dan tibalah anak laki-laki tersebut di salah satu ujung karpet. Ia tersenyum menatap kami. Giginya tampak tak rata—bocah laki-laki ini sedang dalam masa pertumbuhan pada gigi-giginya. Aku sedikit tersenyum.

“Mas-mas, ini apa?” tanya anak laki-laki tersebut dengan malu-malu.
“Ini namanya buku, Dik.” jawab salah satu dari kami.
“Oalah buku, ya.” balasnya mengulang jawaban yang barusan diperoleh.

Dari kejauhan, kulihat seorang anak perempuan berkaos kuning mendekat, rambutnya terurai dan sedikit keriting. Ia tak mau kalah dengan anak laki-laki yang lebih kecil darinya. Anak perempuan berkaos kuning mendekat, “Boleh aku baca, Mbak?” tanyanya lagi sedangkan tangan kirinya sudah meraba sampul salah satu buku.

Kau tahu bagaimana ekspresi dari anak perempuan itu? Ia tampak malu, tetapi rasa senang terpancar jelas dari raut mukanya yang polos. Aku sedikit tersenyum. Benar, ya, apa kata orang, melihat seseorang tersenyum bahagia walaupun terlihat kecil adalah bagian dari kebahagiaan tak terbatas. Pikirku.

Tiba-tiba anak laki-laki berkaos oranye berdiri, ia menghampiri anak perempuan lainnya—yang tentu lebih besar dari kedua anak tersebut—dengan wajah sumringah.

“Mbak, ayo ke sana, ada banyak buku!” teriaknya lalu menarik lengan anak perempuan berbaju hitam.

Tiga Bocah Baca Buku #PesonaRamadan2018

Anak perempuan berkaos hitam melihat kearah kami, langkahnya sedikit pelan, seperti malu dan penasaran. Ia tetap melangkah seperti yang diintruksikan adik laki-laki yang berjalan dihadapannya.

“Adik bisa baca?” tanya salah satu dari kami—anggota komunitas literasi, Mesemcom.
“Aku bisa!” jawab anak perempuan berkaos kuning dengan semangat.  Diraihnya salah satu buku, lalu dibukalah halaman pertama, kedua, hingga ketiga. Kudengar, ia membacanya perlahan, sangat pelan dengan telunjuk kanan mengarah pada perkalimat dalam buku.

Tiga Bocah Baca Buku #PesonaRamadan2018

Sedangkan anak laki-laki berkaos oranye menggeleng malu, tetapi dengan sangat bijaksana anak perempuan yang lebih tua dari keduanya tersenyum, “biar aku yang mengajarimu membaca, Dik.”

Kau tahu apa kelanjutannya?

Anak laki-laki berkaos oranye tersenyum  senang, terlihat jelas dari raut mukanya, senyum lebar yang diberikan, hingga tepukan tangan secara tak sadar—respon—yang diberikan padanya.

Kau tahu lagi?

Anak perempuan berbaju hitam mengajari anak laki-laki berkaos oranye dengan sabar, beberapa kali ia mengulang kata lalu diikuti oleh sang adik. Anak perempuan itu sangat sabar mengajari adiknya bahkan hingga tuntas satu paragraf.

Senja pun terlelap dipangkuan ibu pertiwi. Petang tiba, lampu-lampu jalan menyala terang. Adzan maghrib berkumandang. Pun, ketiga anak jalanan tadi pergi, pulang ke rumah ibu dan membatalkan puasa.

Lapak Baca #PesonaRamadan2018

Kau tahu lagi?
Ada rasa sesak saat ketiga anak itu membaca dan ketiga anak itu pergi dari lapak baca. Kau tahu? Tak banyak buku yang kami bawa, tak banyak pula buku dengan bacaan untuk anak-anak. Tentu hal ini menjadi sorotan dan pengingat bagi kami—tentang buku apa saja yang perlu dibaca oleh anak-anak seusia mereka. Dan seketika aku ingat salah satu argumen dari salah seorang teman di dunia maya—kurang lebihnya seperti ini, minat baca di masyarakat kita sebenarnya tinggi, hanya saja harga jual buku terbilang lebih tinggi dan kurangnya wadah atau tempat untuk meminjam buku secara gratis.

Senja, Buku, dan Tiga Anak Jalanan, hingga aku menuliskannya di blog pribadiku ini, semua gerak-gerik ketiga anak tersebut kuingat. Bagaimana caranya melangkah perlahan, mendekat, meraih buku dengan malu-malu, tersenyum tanpa dosa, berteriak mengajak teman lainnya, saling melempar tawa, bahkan cara mengeja dan membaca ketiga anak tersebut.

Senja, bolehkah aku berkata padamu tentang keterkaitan Senja, Buku, dan Tiga Anak Jalanan? Tuhan dengan sangat senagaja menciptakanmu, setiap hari menjelang petang sebagai pelebur lelah, tentu  para makhluk-Nya tak lupa menyenandungkan segala puji-pujian untuk-Nya dengan segala keindahan yang terpancar darimu untuk-Nya. Terlebih, dibalik warna oranyemu, ada senyuman, obrolan, gurauan, ejaan, hingga tawa yang terpancar dari tiga anak tanpa dosa yang menatap dan membaca buku, membuatmu semakin memukau. Hingga Ramadan memelukmu dan buku dengan erat penuh kebahagiaan dan kedamaian.

Senja, Buku, dan Tiga Anak Jalanan,
Pesona Ramadan di Taman Pandanaran,
Semarang, 26 Mei 2018.

Komentar

  1. Bagus dalam ini kita paham tentang keseharian atau aktifitas di sana, dan bagusnya lagi, ini ceritanya mengandung unsur curhat, jadinya kita paham isinya ceritanya tentang keseharian disina, walaupun kita tidak ada di sana. Maknyosnya lagi, kita tahu manfaat buku, buku adalah sumber ilmu. Nah disana kita lihat, bahwa ada ajakan untuk baca buku, jadinya orang lebih maknyos dalam ilmu pengetahuan nya. XD XD ...

    BalasHapus

Posting Komentar