[CERPEN] MASA LALU DI SUDUT HALTE
MASA
LALU DI SUDUT HALTE
Lagi-lagi aku melihatnmu duduk di
sudut halte dengan kebiasaanmu yang tak pernah hilang. Sudah seminggu kau duduk
sendirian di sudut halte. Kepalamu terus saja menatap layar ponsel dan jari-jemarimu
sangat lihai menyentuh layar tersebut. Entah, kau menulis apa dan untuk siapa.
Walaupun sesekali kepalamu melongok melihat ke kanan, kiri, dan depan. Entah
apa yang kau pastikan. Aku tak tahu.
Aku sering melihatmu. Pun aku senang
melihatmu. Kau adalah seorang perempuan berparas cantik dengan balutan
kerudung—tak terlalu besar dan kecil—ditambah senyumanmu yang mampu membuat
siapapun akan membalasnya.
Aku
ingat saat pertama kali kau menempati sudut halte, kau banyak bicara karena
banyak orang yang lalu-lalang dan menunggu bus di halte. Namun, lama ke lamaan
kau memilih diam dan memperhatikan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin
orang-orang sudah jenuh yang melihatmu duduk saban pagi di sudut halte tanpa
menaiki bus. Pikirku.
Aku pernah mendapatimu tersenyum
sekali. Waktu itu kau membalas senyuman seorang petugas bus. Kau dan petugas
bus itu tertawa. Entah apa ada yang lucu dari ucapan petugas bus tersebut.
“Mbak pasti sedang menunggu
seseorang yang spesial, kan?” tebak pertugas bus lalu melempar senyum.
“Iya, menunggu seseorang yang
harusnya datang hari ini. Haha. Tapi ia tak akan datang hari ini, karena
kesibukan kuliahnya.” terangmu dan tampak rentetan gigi putihmu.
“Haha. Aku tahu pahit dan lelahnya
rasa menunggu. Haha!” petugas bus tersebut malah tertawa. Dan kau mengikuti
tawanya.
Aku menyerngit, berpikir apa ada
yang lucu dari kata menunggu? Haha! Aku menertawai diriku. Selepas
percakapan itu, aku tak pernah melihat kau berbicara lagi dengan petugas bus
yang kuketahui namanya adalah Nova—karena ada identitas nama di dekat saku
kemejanya. Sama sekali, hanya saja kau dan petugas bus itu lebih sering
melempar senyum. Mungkin, mereka sedang merasakan hal yang sama—menunggu—dan
jika membahas menunggu mereka akan tertawa lagi. Haha! Aku kembali
menertawai diriku.
Lihat!
Pagi
ini aku melihatmu duduk termenung di sudut halte. Sebentar, petugas bus lainnya—bukan
Nova—menghampirimu. Petugas itu masih mengenakan seragam trainee karena
mengenakan putih hitam. Aku masih melihat kearahmu.
“Mbak mau ke mana? Kalau mau naik
bus harus pesan karcis dahulu.” ucap petugas berbaju putih hitam. Kau malah
tersenyum, menampakkan rentetan gigi putih dan senyum yang mempesona. Aku
tertegun.
“Tidak, Mas, saya sedang menunggu
seseorang.” jawabmu dengan senyum khas, “boleh kan saya menunggunya di halte
ini? Saya janji tidak akan mengganggu ketertiban umum di sini.” lanjutmu masih
tersenyum.
Petugas
bus malah menyerngitkan dahi. Mungkin ia sedang berpikir. Menunggu? Untuk
apa dan siapa? Sudahlah, itu adalah masalah Mbaknya, bukan saya! Aku malah
bergeming sendiri. Kembali menertawai diriku.
“Baik.
Silakan, Mbak.” balasnya lalu tersenyum ramah. Petugas trainee itu
kembali menyobekkan kertas, memberikan karcis pada orang-orang yang antre naik
bus.
Aku
menghela napas panjang. Lalu kembali kuamati sekitar. Banyak sekali kaki-kaki
calon penumpang bus kota ini, saling berdesakkan. Aku berjalan menepi, sedikit
menjauh dari keramaian dan sebisa mungkin bisa melihat wajah ayumu. Aku
melihatnya lagi. Kali ini, kau lebih memilih mengamati halte yang penuh. Ponsel
milikmu pun segera kau masukkan ke dalam tas.
Sebenarnya
kau ini menunggu siapa? Jam enam pagi kau sudah duduk di sudut halte, menjelang
jam delapan kau pergi meninggalkan halte dengan
jalan kaki. Setiap pagi selalu seperti itu.
Aku penasaran. Kadang kesal karena pikiranku melayang-layang dan berusaha
menebak-nebak jalan pikiranmu.
Satu
bus datang. Para calon penumpang naik. Aku kembali melangkahkan kakiku mendekatimu.
Ia melihatku medekat, seketika matamu membulat. Aku tahu kau akan ketakutan
melihatku. Dugaanku salah. Kau malah tersenyum padaku! Seruku dalam
hati.
“Sini-sini,”
ujarmu sambil memanggilku. Aku tersenyum melihatmu. Aku melangkahkan kakiku
lagi. Kau meraihku dengan tangan lembutmu, memangkuku dan meletakkan tas kecil
yang kau bawa di samping.
“Kau
tak takut kucing, Mbak?” petugas trainee memulai pembicaraan. Halte
hanya menyisakan kami bertiga. Aku melihatmu—melihat petugas trainee
tersebut sedikit tersenyum padaku.
“Tidak,
kenapa harus takut?” balasnya dengan tangan kanan masih mengelus-elus bulu
putihku. Aku menggeliat.
“Oh,
kupikir semua perempuan akan membenci kucing. Perempuan di masa laluku seperti
itu. Ia sangat membenci kucing. Bahkan Aku sudah berjanji akan membuang kucing itu,
dan kusuruh ia menunggu waktu yang tepat. Sayangnya ia tetap membenci kucing,
menungguku untuk membuang kucing itu saja ia engan. Akhirnya kami putus diantara
kucing peliharaanku. Haha.” terang petugas trainee lalu tertawa. Kau
yang memangku-ku pun ikut tertawa.
“Aneh
ya. Ah, Aku ingat seseorang yang kutunggui itu sangat suka kucing. Dia pernah
bilang kalau di rumahnya ada dua kucing dan tiga anak kucing yang masih lucu.”
jawabmu tak mau kalah. Mereka malah mebicarakan kawananku. Aku masih
dipangkuanmu mendengarkan kau dan petugas trainee saling bercerita.
“Kau
perempuan hebat ya.” Petugas trainee menghentikan ucapannya, karena
seorang pelajar sekolah membeli karcis. Aku terkejut, begitu pula kau yang
berada di dekatku. Kedua bola matamu membulat seperti pertemuan pertama kami.
“Ah
maaf tadi sempat terpotong. Iya, kau perempuan hebat. Aku sering melihatmu
ketika tugasku menjadi kondektur bus. Nova pun juga sering bercerita tentangmu,
katanya kau sedang menunggu seseorang, kan? Aku tak tahu itu benar atau salah.
Dan takdir berkata kalau Aku bisa memastikan cerita Nova itu benar atau tidak.”
ucapnya, “maaf jika tidak berkenan,” sambungnya sedikit terkekeh.
Kau
malah tertawa mendengar pernyataan petugas trainee barusan. Aku melihat
matamu, seperti ada gumpalan abstrak yang tak dapat diucapkan. Kau kembali
tertawa lepas. “Ah, sudah kuduga, seharusnya aku tidak mengatakan ini
sebelumnya.” sambung petugas trainee tersebut dengan suara yang melemah
dan merasa bersalah.
“Tidak
apa. Kau pun memiliki kepercayaan yang tinggi pada dirimu. Besok lagi kita
sambung, ya. Aku harus pergi kuliah!” ujarmu lalu meletakkanku di kursi panjang
halte. Kau mengelus kepalaku dengan sedikit tersenyum, aku melihat matamu yang
teduh.
Katamu, masa lalu jangan sampai
di lupakan. Mirip betul bahsamu dengan Pak Proklamator Republik ini. Jas
merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah! Kalau kau sedikit berbeda.
Katamu, jangan sekali-kali melupakan kenangan, karena kenangan akan
menuntunmu ke masa yang lebih cerah. Ia adalah jembatan yang harus dilalui
untuk mencapai masa depan.
Aku tahu kalimat itu dari sorotan
matamu. Entah, padahal aku sudah menepisnya jauh-jauh. Namun, dengan bodohnya aku
malah terseret dalam tatapan matamu. Hingga detik ini aku masih tertegun dengan
kenangan yang menggumpal dalam dirimu melalui matamu.
Lelaki itu tinggi, setara dengan
tinggimu. Ia tak gemuk dan tak kurus, ia lelaki ideal. Aku tak tahu siapa
lelaki itu. Yang jelas tak jauh dari lelaki itu ada dirimu. Kau tersenyum
melihatnya melangkah mendekatimu. Ia mengenakan jaket biru dongker yang tak
dikancingkan dan terlihat kaos biru dengan celana jeans hitam. Tangan
kiri lelaki itu mengenakan jam berwarna hitam dengan sepatu kets di
kakinya.
Aku masih penasaran siapa lelaki
itu. Ia mendekatimu lalu memeberikan sebotol air mineral padamu, “diminum dulu.
Aku tahu kau kehausan.” Kau meraihnya dengan rona wajah bahagia.
“Terima kasih ya sudah meluangkan
waktumu,” lelaki itu kembali berbicara. Kau masih memegang botol air mineral.
Pandanganmu teralihkan ke samping kanan, di mana laki-laki itu duduk. “Aku
senang bisa berkunjung ke kotamu. Kotamu sangat indah. Apalagi menghabiskannya
di tempat bersejarah seperti gedung tua ini bersama perempuan pencerdas
kehidupan bangsa di masa depan.” lanjutnya. Kau terkekeh geli. Begitu pun
lelaki itu.
“Kau tahu kenapa seribu pintu?”
tanyanya asal padamu. Kau menggeleng. “Seperti kehidupan ini, Tuhan menciptakan
banyak cara untuk kita hamba-Nya untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya.
Seperti ketika kita gagal, mendapat musibah, atau bahkan memperoleh apa yang
kita inginkan. Tuhan tidak memberikan satu jalan, melainkan banyak jalan.”
Lelaki itu tersenyum padamu, “kau percayakan, Nay?” sambungnya. Kau mengangguk,
dan berkata iya, lelaki itu tertawa.
“Kantor
dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS yang dibangun pada
1904 dan selasai pada 1919. Bangunan ini sekarang menjadi museum di bawah PT Kereta
Api Indonesia atau PT KAI. Dulu sih pernah digunakan sebagai Kantor Badan
Prasarana Komando Daerah Militer atau
Kodam IV/Diponegoro dan Kantor Wilayah Kementrian Perhubungan Jawa Tengah.
“Dan
satu lagi, Nay. Kau pasti suka mendengar ini. Kau ingat kan, ketika salah satu
sejarah kota ini mengenai dokter Karyadi yang meninggal ketika melakukan tugas?
Beliau meninggal ketika melakukan perjalanan menuju tempat air minum atau
tandon air minum di kota ini yang beredar isu telah diracun oleh Jepang. Maka
beliau bergegas menyelidiki. Namun sayangnya tentara Jepang lebih dahulu
mencegat dan membunuhnya. Setelah wafatnya Karyadi, para pemuda Semarang naik
pitam. Melakukan perlawanan adalah jawaban. Maka di gedung tua ini menjadi
saksi pertempuran itu. Dan dibangunlah tugu yang sekarang terlihat gagah di
depan sana. Tugu itu adalah saksi bisu pemuda negeri ini membebaskan tanah
kelahiran dan pertiwi dari penjajahan. Dinamakanlah Tugu Muda.” lanjut laki-laki
itu menatap sekeliling.
Pohon
besar yang tumbuh di tengah halaman menjadi payung besar untukmu dan lelaki
itu. Angin berembus pelan, bahkan sesekali terdengar kicauan burung di ranting
pohon.
“Kau
malah paham betul tentang bangunan bersejarah ini, Kal?” Kau berbalik bertanya.
Ia tersenyum melihatmu. Sangat manis! Batinmu di detik itu.
“Iya,
kan katamu jas merah. Kau lupa kalau Aku belajar dan berjuang meraih gelar
sarjana untuk menghormati sekaligus selalu ingat jasa pahlawan negeri ini? Haha.”
Lelaki yang kau panggil Kal malah tertawa. Kau pun ikut-ikutan tertawa.
“Haikal
mah gitu, senengnya songong! Haha.” balasmu memukul pelan lengan lelaki yang
kini kuketahui namanya; Haikal.
“Aku
nggak songong, Nay. Hanya saja Aku tahu kau suka lelaki yang selalu
mengingat masa lalu, apalagi masa lalu dari negeri ini. Katamu, jarang kan
remaja yang ingat asal-usul negerinya. Dan kau prihatin atas realita itu.” terang
Haikal menatapmu. Kau tertawa.
Aku
tahu, detik itu kau sedang menyembunyikan pipi merah meronamu dengan tertawa.
Kau takut lelaki bernama Haikal tahu kalau kau senang mendapat pujian seperti
itu, apalagi ucapanmu di ingat selalu olehnya.
“Kalau
misalnya dulu Pak Proklamator nggak diculik para pemuda dan tetap
menunggu janji Jepang untuk memerdekakan. Apa mungkin sampai detik ini kita tak
akan bertemu dan menikmati gagahnya Lawang Sewu seperti hari ini?” tanyamu
asal. Haikal diam, telunjuknya menyentuh hidung mancungnya.
“Mungkin
kita tak akan bertemu selamanya. Mungkin saja Aku menjadi bagian dari romusha,
menanam padi dan sebagainya lalu diberikan semua pada Jepang. Atau Aku sudah
mati termakan senapan besi Belanda dan Jepang karena mempertahankan tanah pertiwi.”
Kulihat wajamu tak secerah menit lalu.
“Kau
bisa saja di kurung ibumu, bahkan dijadikan persembahan untuk tentara Belanda
dan Jepang. Kau dan wanita lainnya akan kolot ditelan peradaban zaman karena
tak menerima pendidikan untuk masa depanmu dan keturunan.”
“Ah,
itu sangat memilukan dan mengenaskan.” Haikal malah mendasah sendiri, hingga ia
memilih menghela napas panjang untuk menghentikan pikirannya yang
melayang-layang.
“Aku
sangat berterima kasih pada Allah, Sang Maha Mengetahui Segalanya. Andaikan
saja Tuhan tidak menciptakan lelaki bernama Soekarno, Moh. Hatta, Seodirman,
Moh. Yamin, Tan Malaka, para ulama, para petua agama, dan lainnya kemunginan
besar negeri kita masih terbelenggu.
“Kau
tahu, Nay? Generasi terdahulu kita sangat kuat lahir batin. Fisik mereka setiap
hari terkena bantingan, peluru, bahkan sering bercucuran darah. Tapi mereka
tetap tegar dan tak gentar melawan manusia-manusia tak berperikemanusiaan itu.
Lalu bayangkan saja, betapa kuatnya mental mereka, kepercayaan diri pada diri
mereka. Dan kau tahu lagi, Nay? Jiwa mereka tetap rendah hati pada sesama. Mereka
ingat dan ingin di masa depan anak cucu mereka tak mengalami hal
serupa—penjajahan—jika mereka angkuh pun mereka akan tetap menunggu janji Kaiso
itu.
“Pada
Tuhan pun mereka tak lupa sembahyang dan meminta pertolongan untuk tercapainya
angan dan harapan mereka. Penjajahan di atas dunia harus di hapuskan, karena
tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Nay,
aku melihat matamu berkaca-kaca karena mendengar ucapan lelaki bernama Haikal
itu menyuarakan argumennya. Kau terkagum-kagum pada lelaki yang duduk tak jauh
darimu itu. Aku tahu mengapa hingga detik ini kau selalu menunggu kedatangannya
lagi di kota kelahiranmu.
Aku
sudah kembali lagi di halte. Matamu yang meneduhkan sudah berdiri dan menuruni
tangga halte. Jilbab yang kau kenakan itu tersapu angin pagi. Dan aroma parfum flowers
tercium hingga masuk dalam hidungku.
“Dia
baik ya, Puss.” Petugas trainee itu mendekat dan mengelus kepalaku
perlahan. Aku memejamkan mata pertanda setuju dengan pendapatnya.
***
Adzan subuh sudah berkumandang.
Mulut mungilku komat kamit menatap langit. Ini caraku sembahyang pada Sang
Pencipta. Sebelumnya aku tak pernah melakukannya sepagi dan sesemangat ini. Hingga
sorotan mata dan kenangan dalam otakmu itu menyadarkanku tentang beribadah.
Tepatnya ucapan lelaki yang selalu kau tunggu kehadirannya itu.
Aku sudah di halte. Belum ada kau
dan petugas trainee atau pun Nova. Aku memejamkan mata. Lama sekali
hingga tangan seseorang yang menyentuh bulu tubuhku perlahan.
“Puss,
kau sudah di sini? Ah iya, Aku membawa beberapa gorengan. Apa kau lapar? Pasti
kau lapar. Ayo kita makan bersama sebelum banyak orang yang menunggu di halte.”
Kulihat satu gorengan sudah di hadapanku. Ia adalah lelaki kemarin dengan baju
yang masih sama—putih hitam.
“Oh,
hari ini masih tugasmu menjaga halte?” tanyaku asyik menyantap gorengan.
Patugas itu memakan sesuatu dari kotak plastik. “Jadwalku hari ini dan seminggu
yang akan datang adalah menjaga halte. Jadi kau jangan bosan melihatku ya,
Puss. Dan Aku ingin mendengar cerita dari prempuan berjilbab itu lagi.” petugas trainee malah terkekeh geli.
“Sama,
Aku juga ingin menjelajahi kenangannya lewat sorotan matanya yang teduh itu.”
jawabku masih mengunyah mendoan[1]
yang tinggal sedikit.
Beberapa
orang datang, aku kembali menepi di sudut halte. Petugas trainee
langsung maraih karcis di saku celana, menerima dan memberi uang kembalian,
menjawab pertanyaan calon penumpang, melempar senyuman serta ucapan terima
kasih selalu terulang dibibirnya. Aku khidmat menikmati pemandangan yang sudah
menjadi keseharian ini.
Hingga
aku tak menyadari kalau kau sudah datang dan duduk di kursi panjang dekatku.
Kau tak melihatku, karena aku tepat berada di bawah kursi panjang yang kau
duduki. Seperti biasa halte selalu ramai. Kali ini kau mengenakan kerudung biru
tua dengan gamis berwarna biru putih penuh dengan bunga-bunga biru bermekaran. Sangat
senada sekali dengan kerudung yang kau kenankan! Pujiku.
“Kau
sudah di sini, Mbak?” tanya petugas trainee itu menyadari akan
kehadiranmu. Calon penumpang bus kota baru saja meninggalkan halte. Dan halte
kembali lengang.
Kau
mengangguk, “kau bertugas lagi menjaga halte?”
“Iya,
sampai minggu depan Aku mendapat jadwal menjaga halte. Padahal Aku sudah tak
sabar untuk menikmati ramainya jalan kota. Membosankan, Mbak, menunggu calon
penumpang membeli karcis. Setelahnya hanya sepi yang Aku dapat.” jawab petugas trainee
lalu tertawa.
“Lho
padahal menunggu itu asyik, Mas. Apalagi kalau dengan menunggu itu kita bisa
melakukan hal-hal yang bermanfaat. Misalnya ingat selalu pada Allah alias
berdizikir atau sekadar membaca novel.” terangmu dengan senyum khas.
Aku
keluar dari persinggahan, lalu melihat petugas trainee dan juga dirimu.
Mereka melihatku lantas melempar senyum terbaiknya untukku—seekor kucing
berwarna putih dengan bulatan-bulatan hitam yang menyebar di tubuh—kau kembali
memangkuku, mengelus-elus lembut kepalaku.
“Aku
lebih banyak menghabiskan menunggu dengan instagraman. Ya, sesekali stalk
akun yang islami-islami, gitu. Hehe.” Aku petugas trainee sambil
menggeruk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal, “ya sesekali pula stalk
akun ig dia-lah, Mbak, haha!” sambungnya lalu tertawa lepas. Kau malah
tertawa.
Kulihat
tanganmu dengan cekatan meraih ponsel di dalam tas. Aku melihat kau sedikit
tersenyum—lebih senang dari biasanya. Sayang, aku tak bisa melihat isi ponsel
itu. Jari-jemarimu lihai merangkai kalimat. Aku malah semakin penasaran.
Apa
sih yang kau tulis. Apa mungkin dia membalas pesan dari lelaki itu?
Pikirku. Aku masih melihatmu. Benar, kau kembali tersenyum.
Menit
selanjutnya, kau yang sampai kini belum kuketahui nama sapaanmu itu menaruh
ponsel di dekatku. Ini kesempatan! Pekikku kegirangan. Benar saja, kau
masih bertahan dengan obrolan whattsapp dengan seseorang bernama Haikal
Putra.
Tepat!
Ia adalah lelaki yang kau tunggui. Tebakku lagi. Aku tertawa atas
kekonyolan yang kubuat.
Haikal Putra
Assalamu’alaikum, Nayla As-Syifa J Sudah dua bulan ya kita gak komunikasi setelah pertemuan kita dulu di Lawang Sewu. Oh iya, kamu sehat kan? Aku selalu berharap kamu sehat dan selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.Aku bingung mau bilang apa. Saking banyaknya cerita yang mau aku bagiin ke kamu. Maaf banget, aku terlalu sibuk dengan kegiatan kampus di Jogja, lupa pulang kampung ke Jepara dan lupa sama ponsel. Aku harap kamu memaafkanku. Semoga persehabatan kita nggak putus begitu saja dan tetap terjalin baik. Aamiin.
Lagi-lagi aku terseret dalam matamu
ketika kau memilih membaca berulang kali pesan dari seseorang yang kau tunggui.
Aku menghela napas panjang. Semoga aku bisa belajar lagi darimu dan lelaki
bernama Haikal itu. Gumamku perlahan.
Lelaki itu berdiri mengambil tas
ranselnya. Begitu pun denganmu, ikut-ikutan berdiri dan kembali menyelempangkan
tas kecil berwarna cokelat tua.
“Eman-eman,
Nay, kalau sampai Lawang Sewu gak menyusuri setiap lorongnya dan foto-foto.
Haha.” tawanya sangat renyah, membuatmu sedikit kikuk saat melangkah beriringan
dengannya.
“Gedung ini meliliki tiga lantai dan
ruang bawah tanah. Sayangnya ruang bawah tanah tidak bisa dikunjungi secara
bebas. Kita ke lantai dua saja, menikmati semilir angin dan pesona gagahnya
bangunan tua ini dari atas.” ujar Haikal melangkah perlahan. Kau menyamainya.
“Sebenarnya ini bukan pintu, tapi jendela-jendela
berukuran besar dan banyak jumlahnya. Maka dari itu masyarakat menyebutnya Lawang dan Sewu sebagai nominal banyaknya jendela tersebut.” ujarnya
ketika menginjakkan kaki di lantai dua.
Ketika sampai di dalam ruangan pun sama, belasan
pintu berderet lurus seakan membuat mata dan pikiran terkagum-kagum.
“Aku malah memiliki perumpamaan sendiri kalau
mengunjungi tempat ini. Ah iya, sewaktu SMA dulu, salah satu kunjungan wisata
yang diadakan kelas ya mengunjungi Lawang Sewu. Jadi, Aku ingat betul rentetan
pintu yang banyak ini ketika hampir patah semangat bahkan ketika patah hati.”
“Hah, kau pernah patah hati, Kal?” tanyamu dengan
mata yang sempurna melotot tak percaya. Haikal malah tersenyum sambil
mengangguk.
“Ah, harapku padanya hanya sebatas teman dan tidak
lebih. Karena strata sosialnya lebih tinggi daripada keluargaku. Hehe. Ah itu masa
kelamku. Aku sudah lupa.” tukasnya lalu menatap pintu kayu.
“Haikal calon orang penting di negeri ini. Ingat
ya, jangan
sekali-kali melupakan kenangan, karena kenangan akan menuntunmu ke masa yang
lebih cerah. Ia adalah jembatan yang harus dilalui untuk mencapai masa depan.”
tuturmu sambil tersenyum. Lelaki itu malah tertawa dan mengabaikanmu dengan
mengambil foto di pintu-pintu itu.
“Iya Aku ingat, Nay!” teriaknya padamu. Sejurus
dengan teriakannya, Haikal mendekatimu seraya berbisik, “Aku ingat rangkaian
kalimat itu. Begini;
kamu jangan lagi terpuruk, jangan lagi menangis dalam. Sungguh, janganlah
menyiksa dirimu sendiri. Lihatlah kedepan. Nun jauh di sana, kebahagiaan abadi
telah menunggumu. Lihatlah pintu-pintu itu, secercah cahaya kebahagiaan tengah
memancar kearahmu. Sungguh, jangan lagi habiskan waktumu untuk berteduh di
bawah derasnya hujan air matamu.” bisiknya tepat di telinga kananmu. Kau merasa geli dan memilih mudur
selangkah.
“Ternyata, kau bisa menciptakan kalimat sepuitis
dan bermakna.” celetukmu lalu tertawa, “Aku akan ingat ucapanmu, Kal.” sambungmu
lalu melangkah menuju ruangan lainnya.
Kau dan Haikal banyak bicara. Ya, walaupun demikian
Haikal diam-diam menjadikanmu sebagai objek fotonya. Kau sempat marah dan
ulahnya semakin menjadi. Hingga adzan dzuhur berkumandang, lelaki itu
mengajakmu mencari masjid untuk sholat dan setelahnya makan siang.
“Kita tidak foto bersama dulu, Kal?” tanyamu ketika
sampai di halaman utama gedung. Ia menoleh kearahmu lalu tersenyum.
“Benar juga, dari tadi kita foto sendirian terus.”
usulmu diterima dengan hangat. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu
berkata chese! Dan jepret! Satu foto terbaikmu dengannya kini terpapang jelas
di wallpaper ponselmu.
***
Seminggu
berlalu dengan cepat. Dan kau masih sama menungguinya di sudut halte. Katamu
pada petugas trainee itu, ia akan datang sabtu ini dan kau memilih
menunggunya di halte ini—halte yang berada di dalam terminal.
Sepertinya
Sabtu ini menjadi Sabtu tercerah untukmu. Sorotan matamu tak lagi sendu seperti
hari-hari yang lalu. Jantungmu berdetak tak karuan, bahkan senyuman tipis
dibibirmu sesekali terlihat. Aku senang melihatnya. Kau berulang kali mengecek personal chatnya, mengunjungi akun sosial medianya. Berharap ada
tanda-tanda darinya—sekadar membuat status, Semarang,
aku datang! Ah itu hanya
khayalanku saja. Tapi sepertinya juga menjadi khayalanmu.
Halte
kembali ramai. Orang-orang banyak berbicara. Dari beberapa pelajar yang memilih
membicarakan guru killer mereka, anak kuliahan yang memilih diam dengan
seonggok buku dalam genggaman, para buruh pabrik yang memilih mengeluarkan
keluh kesah kepada sesama buruh tentang atasan, dan tentangmu yang masih
menunggu pesan darinya.
Kau
melirik jam tanganmu, jarum jam sudah berada tepat diangka tujuh. Halte semakin
sesak. Kau memilih memasukkan ponselmu kedalam tas. Aku tahu tempat umum selalu
rawan pencopetan. Jantungmu semakin berdebar tak karuan. Aku tahu itu lewat
jari-jemarimu yang mulai bergerak seenaknya.
“Ada
kecelakaan di pertigaan jalan itu.” ucap seorang laki-laki bertubuh gempal yang
baru datang ketika melihat temannya yang duduk tak jauh darimu.
“Apa?
Sepagi ini sudah ada kecelakaan?” kejutnya tak mempercayai.
Kini
pusat perhatian beralih pada dua lelaki yang kuketahui mereka adalah buruh yang
setia naik bus kota menuju pabrik tempatnya bekerja. Orang-orang menatap mereka
penuh tanya dan penasaran. Kau pun terkejut. Matamu mebulat dan jantungmu kini
berpacu lebih cepat.
“Iya,
polisi belum datang sedangkan jalan sudah penuh kendaraan. Dari arah yang sama—timur—truk
gandeng melindas pengendara motor tersebut. Padahal pengendara tersebut sudah
menepi. Katanya rem truk itu blong.”
“Pengendara
itu meninggal seketika?” tanyanya sedikit menelan ludah. Sesekali meringis
membayangkan.
“Iya,
meninggal di tempat. Sepertinya dia adalah anak kuliahan yang merantau. Plat
motornya pun bukan dari daerah sini.”
Deg!
Astaghfirullah…
Kau
terkejut. Pikiranmu melayang-layang. Dengan sigap kau meraih tas ransel birumu,
lalu meletakkanku begitu saja. Aku sempat bertatapan dengan mata teduhmu. Kau
panik, cemas, dan ketakutan. Kau menerka-nerka dan berpikiran hal buruk akan
menimpanya. Aku mengikutimu. Kau berlari dari halte terminal menuju jalan raya
tempat kejadian itu terjadi. napasmu tersenggal-senggal, keringat di dahimu
bercucuran.
Deg!
Keramaian
terlihat jelas di matamu. Kau mendekat ragu. Sekali lagi kau menepiskan pikiran
buruk itu. Kau takut pemuda yang tergeletak penuh darah itu adalah seseorang
yang kau tunggu—Haikal. Kau meraih ponselmu. Setengah jam yang lalu kau
menerima pesan darinya berupa suara.
Maaf, Nay. Mungkin kunjunganku ke Semarang akan sedikit mengalami keterlambatan. Aku harap kamu tetap menungguku. Oh iya, Aku boleh berkata sesuatu? Aku sayang kamu.
Deg!
Debaran
jantungmu berpacu semakin cepat dan tak menentu. Perlahan air matamu jatuh
membasahi pipimu. Aku melihatmu dari kejauhan. Bahkan aku merasakan apa yang
kau rasakan. Aku terbawa suasana kejadian ini. Kau menutupi mulutmu dan langkahmu
mendekati lelaki yang sudah tertutup koran.
Kakimu
bergetar ketika langkahmu semakin dekat dengan mayat itu. Ceceran darah tersebar
di jalan raya. Motor matik yang digunakan pun remuk tak berbetuk. Kau semakin
menjadi. Isakanmu tak dapat terbendung.
“Nay!”
seseorang berhasil menarik lenganmu dengan cepat. Kau hilang dalam kerumunan.
Deg!
Matamu
membulat tak percaya. Isakanmu seketika berhenti. Seseorang sedang tersenyum
tulus padamu. Aku tak pernah melihat orang itu.
“Ha-ha-ik-al?”
balasmu terbata-bata. Air matamu kembali jatuh menimpa kerudungmu dan kau
memilih membekap mulutmu sendiri. Ia adalah seseorang yang selama ini kau
tunggu. Kau tunggu kehadirannya di tempat umum ini.
“Alhamdulillah,
Allah masih sayang padaku, Nay. Aku sudah sampai di terminal sebelum kejadian
itu terjadi.” Haikal mulai menjelaskan karena ia tahu pikiranmu sangat kacau.
Jika aku berada di tempat yang sama
denganmu, tebakan ku akan mengatakan kalau kau dan Haikal adalah sepasang kekasih.
Namun, pada kenyataanya kau dan lelaki itu tak memiliki hubungan apa pun selain
persahabatan. Hanya saling menunggu satu sama lain berucap dan menyatakannya
terlebih dahulu.
Benar,
hari ini kau bertemu dengannya di terminal. Kau bukannya tersenyum lalu
memeluknya tapi justeru sebaliknya. Kau malah menangis dan kedua tanganmu
menutupi mulutmu. Lelaki bernama Haikal pun sama, satu butiran bening jatuh
mengenai aspal terminal, hingga ia menyeka air matanya lalu memberikan senyuman
terbaiknya untukmu.
***
BIODATA
Amaliya Khamdanah, lahir di Demak, 7 Agustus 1998.
Tercatat sebagai mahasiswa di UIN Walisongo Semarang program studi Psikologi.
Cerita pendek dan puisinya tergabung dalam sejumlah antologi; Semanis Sepahit Kopi (Penerbit Harasi: 2016), Melayang-layang (Oase Pustaka: 2017), Hawa
Kesepian (Aria Pustaka: 2017), Indonesia Punya Cerita (IPC Project dan Ellunar Publisher: 2017), Sesurga Bersamamu (Lampion Inspirasi dan Ellunar Publisher:
2017), Cinta
Yang Tak Terucap (Histeria,
Anak Hebat Indonesia: 2017), Motor
Matik Milik Bapak (Histeria,
Anak Hebat Indonesia), dan Nunggu
Teka (Hieteria, Anak Hebat Indonesia: 2018).
Penulis dapat dihubungi
melalui alamat email: khamdanahamaliya@gmail.com.
Komentar
Posting Komentar