[FANFICTION]--SING FOR YOU


SING FOR YOU
Oleh: Amaliya Khamdanah

“Dawai-dawai gitar musnah oleh kesunyian yang putih, hari ini aku ingin menceritakan kisahku yang tak bisa aku akhiri.  Pikiranku menggumpal seperti tumpukan salju.
 Aku memberitahu kisahku dalam lagu ini, bisakah kau mendengarnya? Aku akan menyanyikannya untukmu…” –Sing For You, EXO

***
Seoul, 17 September 2018

“Nae nalkeun gitareul deureo haji motan gobaegeul, hogeun gojipseure samkin iyagireul. Norae hana mandeun cheok jigeum malharyeo haeyo, geunyang deureoyo I’ll sing for you…”

Menatap langit telah menjadi kebiasaanku sejak lama, tepatnya sejak aku masih tinggal di Beijing bersama kedua orang tuaku. Kini aku hidup sendiri di negeri ayah. Iya, Ayahku asli   dari Korea, sedangkan ibu masih ada keturunan dari Cina. Dan sekarang mereka masih tinggal di Beijing. Ah sudahlah, lupakan pembahasan mengenai ayah dan ibuku, sungguh akhir-akhir ini aku sangat muak dengan mereka.

Aku kembali memainkan gitar setelah beberapa menit terhentikan oleh pemandangan di atas sana. Aku mengakuinya suaraku tak semerdu penyanyi-penyanyi asal Amerika atau pun penyanyi papan atas di Korea, hanya saja suaraku mudah membuat seseorang jatuh hati.

“Neomu saranghajiman saranghanda mal an hae, eosaekhae jajonsim heorak an hae. Oneureun yonggi naeseo na malhal tejiman musimhi deureoyo I’ll sing for you…”

Aku masih memainkan gitarku, hanya saja suaraku sengaja kuhentikan. Aku menatap sekeliling taman, baru kusadari ternyata banyak juga pengunjung taman di pagi hari ini dan aku baru menyadarinya juga banyak yeoja-yeoja[1] yang memperhatikanku bernyanyi. Ah sungguh, semoga mukaku tak memerah. Sedikit senyum ku lontarkan untuk beberapa yeoja yang masih  memperhatikanku, dan beberapa dari mereka membalasnya. Dan setelahnya aku masih sama dengan menit sebelumnya, menikmati langit di pagi hari.

***

Beijing, 12 Januari 2008

Saban sore di taman dekat tempat tinggal keluarga Kim, anak laki-laki, gadis kecil dan beberapa anak-anak keturunan Korea menikmati senja, ditengah banyaknya hutan beton yang berdiri gagah di tengah-tengah kota Beijing. Silauan sinar matahari yang memantul dari gedung ke gedung menambahkan suasana menjadi hangat di setiap sorenya. Tak ada kicauan burung laksana di desa paling ujung di wilayah Cina, yang ada hanya suara bising dari mana pun—pembangunan gedung bertingkat, kendaraan bermotor—dan masih banyak lagi. Namun, anak laki-laki, gadis kecil dan beberapa anak-anak keturunan Korea lainnya tetap asik berkumpul dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil lainnya di desa. Berlarian kesana kemari, bermain petak umpet, bahkan menjahili satu sama lain. Tentu sangat menyenangkan.

“Kwon Yoo Ra, kemarilah ada kupu-kupu cantik!” teriak anak laki-laki bermata sipit itu. Gadis kecil yang tak lain adalah Kwon Yoo Ra berlari mendekati asal suara. Sedangkan anak-anak lainnya juga turut bergabung—penasaran.

“Yeoppo-da!”[2]  teriak anak-anak keturunan Korea serentak. Senyum manis dari anak-anak itu terlontar sangat tulus, kupu-kupu itu masih mengepakkan sayap cantiknya memperlihatkan tarian khas mereka pada sekumpulan anak-anak bermata sipit tersebut.

Selalu saja, saban sore di hari apa pun, anak laki-laki, gadis kecil—Kwon Yoo Ra—dan anak-anak keturunan Korea lainnya berkumpul menikmati sore. Ayah dan ibu mereka masih disibukkan dengan bekerja atau sakadar malas mengajak mereka. Dan yang terdengar dari taman itu hanyalah tawa riang dari anak-anak yang tak berdosa.
***
“Lee Min Seok!” teriak perempuan setengah baya dari dalam rumah.

Seorang anak kecil yang bernama Lee Min Seok berlari menuju rumah—ngos-ngosan. Diakhir langkahnya anak laki-laki kecil tersebut menghela napas panjang. Ia tak tersenyum sama sekali ketika memasuki rumah, guratan penuh katakutan menyambangi muka anak kecil tersebut. Perempuan setengah baya mendekat, lantas memukul anak laki-laki tersebut penuh amarah. Di jendela luar sana terlihat gadis kecil berkuncir kuda tengah melihatnya, sedikit menganga ketakutan, sesekali menelan ludah dalam dan sesekali pula gadis kecil itu mengusap dahinya.

“Min Seok, kau dengar jangan sekali-kali kau bermain di luar, penjahat di negeri ini sangat banyak!” Perempuan setengah baya itu meletakkan sapunya, tapi suaranya semaikin meninggi disetiap ucapannya, “kau tidak boleh berteman dengan siapa pun disini, Min Seok! Termasuk dari keluarga Kwon, ingatlah itu!” Perempuan setengah baya itu kembali meninggi ucapannya, bahkan diakhir kalimatnya adalah ancaman bagi anak laki-laki tersebut. Perempuan setengah baya itu melangkah menjauh meninggalkan anak laki-laki seorang diri di ruang utama keluarga. Sesaat, semuanya kembali hening.

Di luar jendela, gadis kecil itu beringsut segera berlari menuju tempat paling jauh agar tak bertemu lagi dengan ucapan kasar seorang ibu. Yang gadis kecil itu tahu seorang ibu adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim Tuhan untuk anak-anak seusia mereka. Tapi, semuanya berbeda bagi Lee Min Seok. Gadis kecil itu masih berlari, ucapan ibu Min Seok terngiang-ngiang di kepalanya, bahkan kedua sudut matanya kini berair.
***
Seoul, 17 September 2018

“Kau dimana? Dosen gila itu sudah datang, pabo!”[3]

Ponselku berdering, aku manatap dan membacanya, pesan singkat dari teman baikku selama di Korea. Aku terperanjat, sekilas melihat jam tangan,  astaga sudah jam delapan lebih, dosen gila itu pasti marah-marah tak jelas! Segera aku bangkit dari singgasana pagi, merapikan gitar dan segera beranjak pergi. Beberapa yeoja yang sempat memperhatikanku tadi memasang muka kebingungan. Ah sudahlah tak terlalu penting memperhatikan ekspresi yeoja-yeoja itu!

“Lee Min Seok, kau terlambat lagi! Ini pertemuan tatap muka ketiga kita di kelas, kau sudah mahasiswa kenapa kau tak bisa belajar disiplin tepat waktu? Hah!” Perempuan berjas putih bersih itu memarahiku, sesekali membenarkan kacamata super tebalnya itu yang hampir jatuh. Aku hanya menunduk dalam, toh apa gunanya jika aku berbalas ucapan dengan dosen gila ini? Bisa-bisa yang kudapat hanya ceramahnya, bisa mati konyol!

“Kenapa kau diam? Tak ada pembelaan? Hah, Lee Min Seok sekarang giliranmu untuk menjelaskan materi musik kontemporer!” lanjut perempuan yang tak lain dosen gila, sorotannya semakin tajam dan seisi ruangan seketika hening.

Dengan langkah gontai aku meletakkan tas ransel, seisi kelas menatapku secara bergantian. Ada apa? Ini hal biasa bukan bagi seorang mahasiswa? Aku berguman sendiri menoleh kesamping dan terus saja sampai berdiri di depan kelas. Aku memulainya, memetikkan kunci F pada gitarku, seketika semua pasang mata menatapku, tak ada yang salah, bukan? Ini juga musik kontemporer! Aku memetiknya,

“The way you cry, the way you smile, naege eolmana keun uimiin geolkka? hagopeun mal, nohchyeobeorin mal. Gobaekhal tejiman geunyang deureoyo, I’ll sing for you, sing for you. Geunyang hanbeon deutgo useoyo. Jogeum useupjyo naegen geudae bakke eopsneunde, gakkeumeun namboda motan na. Sasireun geudae pume meorikareul bubigo, angigo sipeun geonde marijyo…”
*** 
Beijing, 14 Maret 2008

Hampir tiga bulan  setelah kemarahan seorang perempuan setengah baya yang tak lain adalah ibu Lee Min Seok, gadis kecil bernama Kwon Yoo Ra tak pernah terlihat lagi. Bahkan ritual saban sore—menikmati senja—pun ia tak pernah bergabung lagi, teman-teman perempuan lainnya juga tak pernah bertemu dengannya. Apakah gadis kecil itu marah dengannya? Atau keluarga Kwon telah kembali lagi ke Korea?

Lee Min Seok berdiam diri di tempat biasanya, sembari menikmati silaunya mentari senja. Dalam benaknya kini hanya satu, dimanakah Kwon Yoo Ra, teman baiknya, itu? Min Seok terus berpikir, bahkan ia tak sempat bermain-main dengan yang lain seperti sore-sore sebelumnya.

“Lee Min Seok!” teriak perempuan setengah baya dari teras rumah yang megah di ujung taman. Lee Min Seok menoleh ketakutan, kalalapan pada lamunannya, segera ia berlari menuju sumber suara. Semakin lama suara perempuan setengah baya itu meninggi, memanggil-manggil namanya penuh ancaman.

“Sudah Ibu bilang kan, jangan sekali-kali kau bermain dengan anak-anak di luar sana!” perempuan itu berteriak, tangan kanannya telah siap sapu lantai untuk memukul siapa saja termasuk Lee Min Seok kecil.

“Tapi Bu—”

Plak!

Lee Min Seok menangis, jeritannya semakin dalam tak bersuara. Meringis kesakitan karena berulang kali dipukul berulang kali. Di luar sana anak-anak keturunan Korea lainnya masih berhamburan kesana-kemari menikmati senja yang semakin memukau di tengah gagahnya hutan-hutan beton di kota Beijing.
*** 
Seoul, 17 Sepetember 2018

“Kau bodoh atau bagaimana, Min Seok? Dosen gila itu menyuruhmu untuk berlari tujuh ratus kali di lapangan sepak bola tanpa istirahat dan kau mengiyakannya? Ckck.” Joon Myeon memulai pembicaraannya setelah beberapa menit kami saling diam.

“Dosen gila itu yang salah, jelas-jelas dalam materi sebelumnya ia—” Aku terhenti, pandanganku kini beralih pada sekumpulan yeoja yang tengah berbincang-bincang di taman dekat perpustakaan utama.

“Kau gila!” lanjutnya, kini Joon Myeon malah yang frustasi, hanya saja aku abai kembali mengamati sekumpulan yeoja itu.

“Aku sudah terbiasa mendapat hukuman, Joon Myeon.” ucapku pelan, namun pandanganku masih tertuju pada menit sebelumnya.

“Kau memang selalu seperti itu sejak SMA. Selalu mendapat hukuman dan kau tetap mengulanginya lagi. Entahlah, hal gila macam apa lagi yang akan kau lakukan.” Joon Myeon tetap mengoceh kesana kemari. Tetap saja aku mengabaikannya, pandanganku masih tertuju pada sekumpulan itu. Adakah dirimu disana, Yoo Ra? Aku mendesah pelan.

“Oh pantas saja, kau tak menyahut ucapanku. Ternyata. Ckck.” ujar Joon Myeon seketika mengacak-acak rambutku, “kau naksir salah satu diantara mereka, Min Seok?” tanyanya padaku, seketika membuatku terkejut.

“Ah tidak, hanya sa—”

“Tenang, aku mengenal dekat yeoja-yeoja itu. Kau mau kukenalkan dengan siapa? Baju merah itu?” bisik  Joon Myeon sembari member kode kepadaku. Aku tergagap-gagap. Ah Tuhan kenapa manusia disampingku ini selalu mengerti isi hatiku. Ah!

“Benar kau mengenal semuanya?” tanyaku memastikan. Joon Myeon hanya mengangguk, jemarinya bermain-main dengan potongan rumput dari taman yang sempat ia cabut sebelumnya. “ye—yeoja berba—baju merah itu, kau mengenalnya?” lanjutku sedikit gugup lanntas menelan ludah dalam.

“Namanya Yoo Ra,”  balasnya singkat.

Aku terkejut seketika, kini ingatanku seketika berlari menuju ruangan yang telah lama aku simpan sepanjang tahun. Sungguh, benarkah itu kau, Kwon Yoo Ra? Aku berbisik, hatiku kembali merasakan desir-desir yang dulu sering kurasakan saat bersamanya menikmati sore di Beijing.

“Dia mengambil program Sastra Inggris disini dan belum punya pacar! Haha” Joon Myeon tertawa menatapku seakan-akan ia tahu yang sedang aku pikirkan. Aku mengendus sebal.
***
Beijing, 15 Agustus 2008

“Tak sepantasnya kita bertahan lagi, Lee! Jika kau terus saja se—” perempuan setengah baya yang tak lain ibuku bereteriak pada sosok laki-laki dihadapannya.

“Baik, kalau itu maumu. Sekarang kita cerai!” laki-laki setengah baya mengacungkan tangannya bahkan tamparan melayang tepat mengenai ibu.

“Ayah!” aku berteriak setengah mencegah. Ibu malah menangis tersendu-sendu

“Sebaiknya kau pergi dari sini, segeralah angkat kaki dari rumah ini kalau bisa kembalilah pada nenekmu, Min Seok!” teriak ayah menatapku ucapannya penuh dengan ancaman.

“Ibu, kau tak apa?” tanyaku sedikit panik, ibu sudah terkulai di lantai sedangkan ayah masih berdiri didekat daun pintu.

“Jangan sentuh aku! Pergilah ke Korea dan tinggal disana atau kau—!” ibu seketika meneriakiku. Aku semakin tak mengerti. Keadaan kami akhir-akhir ini memang sangat kacau, bahkan sejak kecil aku sudah terbiasa dengan amukannya tapi hari ini berbeda ibu memarahiku penuh ancaman. Seketika aku membisu, semuanya hening. Bahkan hari ini aku seperti perempuan yang cengeng yang bisa kulakukan hanyalah menangis.

Semua ingatanku kembali memutar di pikiranku tanpa permisi, amukan ibu yang selalu kuterima sejak sepuluh tahun yang lalu. Ketika semua yang kulakukan dimasa kecil mereka larang, demi kebaikanku! Nyatanya, aku malah terkurung dalam dunia mereka. Dunia serba materialistik khas tirai bambu. Masa kecilku lenyap karena terkurung, dimarahi, dan semuanya kini kembali lagi. Aku diusir mereka: kedua orang tuaku.

Dan ingatan tentangmu kini kembali lagi, aku ingat jelas ucapanmu dulu sebelum akhirnya kita tak bertemu lagi di sepanjang tahun, “Lee Min Seok, anak laki-laki yang kuat dan pemberani. Belalang yang menjijikan itu saja bisa kau tangkap! Haha.” Aku tersenyum getir mengingatnya. Kini aku sudah di bandara menuju Seoul, semoga disana aku menemukanmu dan menemukan sebagian dari masa kecilku yang hilang.
***
 Seoul, 25 Desember 2018

“Rupanya kau masih sama dengan sepuluh tahun,” Yeoja itu berucap padaku. Aku melihatnya, disela-sela ucapannya tersimpan senyuman merekah. Sedangkan aku terkekeh geli melihatnya, “kok ketawa, lucu ya?” sambungnya menatapku. Aku masih terkekeh geli, mengingat ucapanmu dulu denganku ternyata masih sama—terkesan tak berdosa—padahal Joon Myeon mengatakan bahwa kau yeoja yang sangat galak, tak punya rasa perhatian sama sekali, judes dan pelit. Aku tertawa.

Hari ini adalah pertemuan keduaku dengannya. Aku telah menceritakan semuanya padanya. Yang kurasa kini adalah kebahagiaan masa kecil yang dulu sempat hilang. Gitar kesayanganku sengaja aku petik, aku ingin menyanyikan lagu untuknya dan menceritakan semuanya. Hingga aku benar-benar kembali menikmati masa kecilku. Ayah dan Ibu? Mereka telah kembali bersatu sebulan yang lalu, mungkin masa lalu mereka yang telah menyatukannya kembali.

“The way you cry, the way you smile, naege eolmana keun uimiin geolkka? doraseomyeo huhoehaedeon mal, sagwahal tejiman geunyang deureoyo, I’ll sing for you, sing for you. Amureohji anheun cheokhaeyo. Maeil neomu gamsahae geudaega isseoseo, sinkkeseo jusin nae seonmul…”

Taman kampus sedikit lengang, aku dan yeoja itu menikmati sore di tempat ini, sore ini tak seperti sore tahun-tahun lalu yang banyak anak-anak kecil berlarian dan tahun-tahun di mana aku menikmati sore dengan merenung—memikirkan yeoja itu—Kwon Yoo Ra—dan sore ini kau telah disampingku, mendengarkan cerita-cerita hidupku yang sempat terhenti dan tentu mendengar suara khasmu menyambutku dalam cerita.
“I’ll sing for you…”



[1] Perempuan-perempuan.
[2] Cantik sekali!
[3] Bodoh.

Komentar