[FANFICTION]--DETEKTIF PATAH HATI


DETEKTIF PATAH HATI
Oleh: Amaliya Khamdanah

“Aku seharusnya lebih berhati-hati, aku harus menyelamatkan diri, mungkin aku tak akan mendapatkan hatimu secepat itu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, seolah napasku akan berhenti. Kepalaku dipenuhi dengan pikiran tentangmu. Wajahmu, suara tawamu…”—My Answer, EXO.
***
Seoul, 17 Maret 2015
Akhir ini tugas kuliahku menumpuk, padahal dilihat dari kalender pendidikan Korea bulan ini adalah bebas tugas. Ah, sudahlah semuanya sebatas argumenku, toh tugas adalah kewajiban yang dimiliki oleh setiap mahasiswa dimana pun. Aku kembali menatap layar laptop, setelah beberapa detik yang lalu hatiku berguman tak menentu lebih tepatnya mengomel tanpa henti.

Ponsel sengaja aku latakkan tak jauh dari singgasanaku mengerjakan tumpukan tugas. Sesekali melirik layar ponsel yang masih gelap. Sungguh, tak adakah yang mau memberiku pesan ‘semangat!’? aku berguman dalam hati, sedangkan dihadapanku tumpukan buku super tebal tak henti-hentinya berkurang, malah semakin bertambah keatas.

Aku sengaja tinggal di salah satu rumah kontrakan di lantai tiga yang jarak tempuhnya lumayan jauh kampusku. Bukan berarti aku tak mampu menyewa apartemen selama satu semester atau setahun, tetapi aku lebih memilih ketenangan. Bukankah hal tersebut tak dapat aku temukan jika tinggal di apartemen atau kontrakan dekat kampus? Kemungkinan yang kudapat hanyalah pemborosan uang dan kelayapan malam. Jemariku dengan gesit merangkai kalimat per kalimat. Dua lirik lagu bisa kutelan habis siang ini! pekikku penuh senyum lebar.

Menit selanjutnya kedua bola mataku kembali melirik ponsel tak ada tanda-tanda kehidupan dari layar ponsel itu, yang ada hanyalah sepi seperti hari-hariku yang semakin sepi dan berteman dengan tugas-tugas kuliah.

“Kau masih mendiamkanku?” batinku. Secepat kilat tanganku menyambar ponsel dan meraihnya, lantas membuka  salah satu ikon bertuliskan ‘album foto’ Aku menghela napas panjang.
***
Seoul, 10 Maret 2015
Ponselku berdering panjang. Sekilas aku meliriknya, mendelik seketika mengetahui namanya tertera di layar ponsel, “Song Hye Mi?” kedua bola mataku membulat, “ada apa dengan dia?” secepat mungkin tanganku meraih ponsel yang tergeletak tak jauh dariku. “yah mati, sampai tiga kali dia menelfoneku?” aku kembali berguman. Segera kusentuh layar ponsel dengan gambar ikon warna hijau.  Aku menggeser dudukku, sebisa mungkin aku harus tampak rileks ketika berbicara dihadapannya walau pun hanya sebatas suara tanpa rupa.

“Min Seok-ah, kau dimana?” suaranya tampak begitu gelisah. Aku menelan ludah dalam. “Lee Min Seok, kau diamana?!” suaranya terdengar sedikit menjerit ditengah kegelisahannya. Aku masih sama—menelan ludah dalam.

“Hye Mi, kau dimana? Apa kau sakit? Suaramu tampak gelisah,” jawabku tanpa henti. Terdengar diujung sana, Hye Mi menghela napas panjang.

“Aku tersesat di Myeongdong Station…” keluhnya. Suaranya terdengar mengecil. Seketika aku tertawa mendengarnya.

“Kau gila, Hye Mi! Sudah berapa semester kau tinggal di Seoul, hampir satu tahun bukan? Hahaa.” Aku mebalasnya penuh tawa. Terdengar dari kejauhan desahan yeoja[1] itu tiada hentinya. Aku masih ditempat yang sama—taman utama di kampus—terkekeh geli mendengar seuaranya.

“Jemput Aku!” teriaknya dari seberang jalan jauh di sana. Aku masih terkekeh geli mendengar suaranya berteriak dari seberang sana. Kuyakin saat ini mukanya bersemu merah dan penuh kegelisahan.

Aniya![2] Aku tidak akan menjemputmu, pabo![3] Salah sendiri kau tak mengajakku jalan-jalan hari ini.” ucapku dengan nada tak terima. Kuyakin lagi, di seberang sana, mukamu berubah mayun. Haha!
“Baik, kalau itu maumu. Aku gak mau berteman lagi denganmu, namja pabo!” teriaknya dari seberang sana.

Tut-tut—

Eh, terputus? Dia serius mengucapkannya? Seketika aku bergegas berdiri, memasukkan beberapa buku-buku yang sempat tercecer di bangku taman. Langkahku gesit menuju parkiran sepeda. Hingga aku keluar kampus menuju tempat yang ia maksudkan—Myeongdong Station—untuk menjemputnya. “Semoga kau tak sungguh-sungguh dengan ucapanmu.” batinku. Sepeda yang kukayuh semakin kencang, menerobos jalanan khusus pengendara sepeda.
***
Seoul, 17 Maret 2015           
Ponselku berdering, satu pesan masuk, “Lee Min Seok, segeralah ke kampus. Ada hal kasus penting yang harus kita selesaikan secepatnya. Tertanda: Kim Jong In.”

“Gila! Kasus apa lagi yang harus kuselesaikan, oh Tuhan aku menyerah jika harus menangani kasus bunuh diri seperti kemarin…” desahku penuh harap. Dengan langkah penuh kemalasan, aku mencoba meraih jas tugasku, memasukkan beberapa buku penting dan alat tulis. Mengunci kamar dan segera mengayuh sepeda menuju ruang rahasia di kampus.

“Lee Min Seok, akhirnya kau datang!” Sapa laki-laki berjas biru tua. Aku hanya mengangguk dengan sedikit senyum. “tadi, salah satu mahasiswa jurusan Arsitektur melapor kehilangan  dua ponsel dan laptop.” sambung laki-laki berjas biru itu sambil mebolak-balikkan buku saku di tangannya. Aku hanya mengangguk. 
 “tapi bukan itu yang akan kusampaikan padamu. Hmm, kasus kecil itu terlalu kecil untukmu. Biar Kyung Soo saja yang menyelidikinya.” lanjutnya lagi yang masih mebolak-balikkan buku saku di tangannya. Seketika kedua mataku membulat, ini gila! pekikku dalam.

“Kau memanggilku, Pak Ketua?!” seru Do Kyung Soo dari salah satu sudut ruang rahasia kampus. Laki-laki berjas biru tua yang tak lain adalah ketua dari organisasi yang kuikuti di kampus ini—Kim Jong In—laki-laki humoris yang penuh dengan misteri—aku menyebutnya.

“Tadi kau mendengarnya, kan? Cepat laksanakan tugasmu, Kyung Soo.” ujarnya ramah. Kyung Soo segera beranjak dari sudut ruangan, lantas mempersiapkan semua peralatan—alat tulis, alat rekam—dan memulainya. Aku masih berdiam diri di tempat. Memperhatikan gerakan tangan Jong In mebolak-balikkan buku saku di tangannya.

“Aku mendapat tugas dari pimpinan kampus, untuk mengintai mengenai kabar burung pembunuhan berencana di dekat Namsan Seoul Tower,” suaranya kini terdengar pelan, bahkan Jong In memastikan bahwa hanya aku dan ia yang mendengarnya. Aku mengangguk paham. “tapi kabar itu hanyalah isu, jikalau memang ada perencanaan pembunuhan kita harus menghentikannya.” sambungnya menerawang kedepan jauh. Aku kembali mengangguk paham atas ucapannya.

“Peneyelidikan akan kita mulai kapan, Jong In-ah?” tanyaku setelah ucapannya terhenti.
Jong In menghela napas panjang sembari menyenderkan bahu di kursi empuk miliknya, “siang ini, kita harus bertanya-tanya dulu ke mahasiswa lainnya mengenai kabar itu.” jawabnya menatapku dalam penuh keyakinan. Kali ini muka ketua tampak serius, muka humorisnya tak terlihat sama sekali. Aku mengangguk setuju. Setelahnya kami menyiapkan strategi-strategi, yang pada akhirnya akan disusul dengan pemecahan kasus. Diakhir obrolan serius kami saling tersenyum, berharap isu itu tak benar dan jika benar pun segera terpecahkan.

Go! Go! Go, hwaiting![4]
***
Seoul, 19 Maret 2015
Aku selalu menikmati pagi di tempat ini, taman utama kampusku. Memandang orang-orang yang hilir mudik mencari tempat duduk, mencari teman, atau hanya sekadar melewati taman yang selalu ramai. Bolpoin dan buku saku selalu kubawa kemana pun, seperti pagi ini aku menikmati pagi dan akan menuliskannya dalam sebuah syair lagu. Kasus dua hari yang lalu belum terpecahkan, ditambah sepekan ini ia tak menghubungiku sama sekali. Aku menatap kosong buku saku milikku, halamannya masih bersih tanpa coretan. Sesekali aku melirik ponsel yang sengaja aku geletakkan di meja taman hadapanku, kalau sewaktu-waktu ia tiba-tiba menghubungiku dan menyatakan rin—

“Lee Min Seok!” teriak laki-laki berjas biru tua, suaranya semakin mendekat. Aku melihatnya seutas senyum terbaik kuberikan untuknya.

“Kau tidak mencari tahu kasus itu lebih dalam lagi?” tanyanya seketika sudah sampai disampingku. Aku hanya menggeleng pelan. “kau gila? kasus seberat itu kau kerjakan dengan sepele? Ck.” sambungnya menatapku tak percaya. Aku kembali menggeleng tanpa suara.

“Sepertinya kau sendiri ada masalah, jika kau tak keberatan berceritalah kepadaku, Min Seok,” balasnya lirih, laki-laki yang tak lain adalah Do Kyung Soo teman baikku sejak SMA.

“Sudah seminggu  lebih Song Hye Mi mendiamkanku,” aku memulai pembicaraan. Kyung Soo mulai memperhatikan lantas mengangguk-angguk, “aku takut, Kyung Soo…” lirihku lagi. Laki-laki itu manatapku dalam, kedua bola matanya seakan-akan memancarkan sinar kehangatan seorang kakak.

“Aku tak bisa berpikir kalau seperti ini, kau ingatkan sebelumnya aku tak pernah jatuh hati pada seorang yeoja, kan? Dan saat ini, aku telah jatuh hati padanya, pada sahabatku!” sambungku dengan nada sedikit kecewa.

“Kau tak pernah menyinggung perasaan ini padanya?” tanyanya. Aku hanya menggeleng keras. “Kau tahu, berdasarkan pengamatan sederhanaku, yeoja akan mudah jatuh hati pada sahabatnya sendiri. Mungkin saja, yeoja itu juga mempunyai perasaan yang sama denganmu, Min Seok, apalagi mukamu sedikit seperti penyanyi Korea.” jelas Kyung Soo menerawang jauh kedepan diiringi dengan senyum khasnya. Kedua bola mataku seketika membulat, bahkan deguban dalam diri semakin tak menentu.

“Cobalah nyatakan perasaanmu padanya, kawan!” lanjut Kyung Soo mengepalkan tangan penuh semangat. Aku mengangguk melihatnya, seolah keyakinan lama yang terpendam kembali tumbuh.

“Cheom bon sungan neomuna kkeullyeoseo, igeotjeogeot jaeji mothago marhaesseo…”
“Saat pertama kali melihatmu, aku sangat tertarik padamu. Aku tidak menimbang pikiranku dan hanya berbicara seadanya…”

Selepas Do Kyung Soo mengajakku berbicara, deguban dalam diri sedikit memudar dan aku masih sama dengan beberapa menit yang lalu—menikmati pagi di taman utama kampus sembari mendengarkan lagu mellow dari penyanyi ternama Korea. Bukan karena aku seorang namja cengeng, aku hanya ingin merasakan suatu hal yang sesuai dengan diriku saat ini—menyimpan kerinduan—pada seseorang di sana.

Aku kembali mengayuh sepeda kesayangan menuju ruang rahasia, semoga dalam perjalanan menuju ruang rahasia aku bertemu denganmu, hatiku berguman selalu, kini yang ada dipikiranku hanya satu dan bukan kasus ambigu itu—hanya kau. Kedua bola mataku kini mancari-cari, diantara kerumunan yeoja-yeoja atau hanya yeoja seorang diri. Namun, semuanya kosong, tak ada aura manismu di tempat ini.

“Bagaimana penyelidikanmu hari ini, Min Seok?” tanyanya menatapku penuh harap. Aku hanya menggeleng keras. Sedangkan di sudut ruangan Kyung Soo telah melihatku dengan muka pasrah. Segera aku duduk di kursi empuk milikku, mengaktifkan laptop lantas berburu anime Detective Conan. Tak lupa sesekali aku melirik ponsel yang sengaja aku geletakkan di meja. Siapa tahu ia membalas pesan singkatku. Pekikku.

“Kasus pembunuhan berencana hanyalah isu belaka dari salah satu mahasiswa tingkat akhir. Pelaku penyebaran kasus telah kami amankan. Mohon maaf atas laporan dari kami sebelumnya. –bagian informasi kampus utama.”

Kedua bola mataku membulat seolah-olah tak percaya akan pesan singkat dari atasan. Tak lama kemudian Kim Jong In juga mendapat pesan yang sama. Syukurlah, kasus ambigu itu tak membuatku gila berkepanjangan. Pekikku bersorak ria. Hanya saja ingatanku tentang yeoja itu kini kembali menyapa, Oh Tuhan!
***
Seoul, 29 Maret 2015
Sudah sepekan lebih tak ada kasus yang menghampiri meja kerjaku. Aku menghela napas panjang. Dan selama itu pula aku sering menelfonya tanpa balasan serupa. Untuk pertama kalinya, aku merasakan hal bodoh semacam ini. Biasanya hal ini hanya dirasakan oleh klienku, bercerita tentang romansanya dengan yeoja atau namja[5] pilihan hatinya. Kenapa Tuhan juga mengirimkan rasa bodoh ini padaku juga?! Aku berteriak dalam sembari mengacak-acak rambutku. Aku meraih ponselku, jemariku dengan secepat kilat merangkai kata, kusentuh ikon send dan seketika semuanya sepi.
***
Seoul, 2014
“Kau pernah jatuh hati, Min Seok?” yeoja itu mengawali pembicaraan setelah beberapa manit kami saling diam.

Aku menggeleng, ia malah menatapku tak percaya. Hari ini adalah pertemuan kami ketiga, setelah sebelumnya kami melakukan serangkaian tes masuk ektrakulikuler di kampus. “kau pernah jatuh hati pada seseorang?” tanyaku.

“Pernah, sewaktu SMA.” balasnya singkat. Aku mengangguk. “hanya saja namja itu tak pernah menyadarinya, ia lebih memilih teman sekelasnya yang jauh lebih kaya.” sambungnya lalu menunduk dalam. Aku mengerti maksud ucapannya, ia patah hati! Disudut matanya sedikit berembun, entah udara pagi ini yang mampu menembus kaca matanya atau memang air matanya mulai memaksa untuk keluar. Aku masih memperhatikannya lamat-lamat.

“Tapi, sekarang aku sudah melupakannya. Aku telah menemukan namja yang lebih baik di sini.”
Nuguya?[6]

Yeoja itu hanya tersenyum menatapku, hatiku berdesir bak ombak di laut Jeju.
***
“Puisimu bagus, menyentuh sekali. Aku menyukainya.”

Pesan singkat itu aku terima, Tuhan ia membalas pesanku! Teriakku dalam hati. Setelah menit itu dan hari setelahnya kami kembali menjalin komunikasi. Aku menyukainya, lesung pipi saat ia tersenyum dan saat ia membaca, terlihat menawan. Dan kuakui, aku benar-benar jatuh hati pada yeoja itu—Song Hye Mi—bahkan lagu-lagu yang kutulis sengaja aku sematkan untuknya.

Seperti pagi yang lalu, aku menikmati pagi di taman kampus membawa barang-barang seperti biasanya. Kegaitanku menangani kasus-kasus masih nihil, jadi aku mencari inspirasi  untuk menuangkannya dalam bait lagu, dan tentunya menunggumu menyapa dan menyemangatiku seperti dulu. Aku masih mengamati sekitar, lantas menuliskannya perlahan. Hingga akhirnya pandanganku jatuh pada sepasang kekasih yang mendekat,

Song Hye Mi dan Kim Jong In? Aku menelan ludah dalam, sepertinya pagi ini kedua mataku telah berembun seperti rumput pagi di taman ini. Dan benar aku seperti klienku. Hanya saja aku seorang detektif yang jatuh hati pada  patah hati.

“Aku tak bisa mengatakan bahwa aku sudah menunggu untukmu. Aku menulis kemudian menghapusnya. Menjadi penasaran tentang hari mu yang menyita hari-hariku. Aku akan menunggumu, kamu. Bukalah hatimu, kamu. Aku tak bisa membantu hatiku. Kaulah segalanya bagiku. Untuk selamanya, cintaku…”



[1] Perempuan
[2] Tidak
[3] Bodoh
[4] Ayo! Ayo! Ayo, semangat!
[5] Laki-laki
[6] Siapa?

Komentar

Posting Komentar