[CERPEN]--LAYANG-LAYANG KESATUAN


LAYANG-LAYANG KESATUAN
Oleh: Amaliya Khamdanah

Aku sudah berada jauh dari negeriku, lima tahun tepatnya. Mendapat beasiswa, belajar, dan mendapat pekerjaan di negeri orang. Bukankah hidup jauh dari keluarga sangat menyiksa? Menyiksa diri untuk terus memendam rindu dan sebaginya pada tanah kelahiran?  Begitulah yang kurasakan selama ini. Apalagi hidup di pusat peradaban dunia modern. “Lusa, aku akan kembali lagi pada negeriku, mengabdi sepenuhnya untuk ibu pertiwi.” bisikku dalam.

Brugh!

Aku segera menghampiri, wanita paruh baya terjatuh dari sepeda yang dinaikinya. “Terima kasih atas bantuannya, Anak Muda.” ucapnya diiringi dengan senyum lebar. Aku membalasnya sama—senyum lebar khas negeriku. Ia melangkah, menuntun sepeda miliknya hingga bayangannya hilang diantara gedung-gedung pencakar langit.

Aku menghela napas panjang. Kutatap langit jingga di ufuk barat, sangat memukau. Embusan angin menepa kemeja batik yang kukenakan, seolah berbisik padaku tentang kerinduan untuk tanah kelahiran. Burung-burung beterbangan  pulang menuju sarang dan membuat formasi tak terduga menuju selatan.
***
Ini adalah kebiasaan kami selama libur panjang usai kenaikan kelas. Iya, bermain layangan seharian di lapangan. Mengulur senar kesana-kemari, memberi aba-aba pada teman untuk memegangi layangan, atau sekadar berteriak ketika melihat layangan lain mendekat. Panas? Tidak juga. Jika panas pun kami terjang, bahkan layangan putus pun kami berlarian menangkapnya. Kuyakin permainan ini tak akan kau temui di pusat kota, karena di pusat kota terlalu banyak gedung pencakar langit, perumahan elite, dan kendaraan yang tak terhitung jumlahnya.

Orang tua kami pun sudah paham betul kebiasaan kami setiap tahun—selama libur kenaikan kelas—bahkan ada beberapa kepala keluarga di desa kami yang sengaja membuat layangan gratis untuk kami. Bukankah hal itu sangat mengasyikkan? Selain menghemat uang saku, kedekatan satu sama lain—antar warga di desa—juga terjaga. Oh iya, aku hampir lupa kalau di desa kami hanya mengenal satu bentuk layangan, yaitu layang-layang.

Desa kami terletak di dekat pantai, walau pun demikian kami bermain di lapangan desa yang terbilang sangat luas. Jadi, bisa dipastikan kalau kegiatan tahunan bocah-bocah di desa tak mengganggu aktivitas warga lainnya.

Seminggu yang lalu, aku sempat diajak bapak pergi ke desa seberang—desa perbatasan dengan kota—kulihat banyak anak-anak seumuranku yang bermain layang-layang. Tentu tak ada yang berbeda dari desa tempat tinggalku, hanya saja ketika aku mendongak keatas, banyak layangan yang menyangkut di kabel listrik, tiang listrik, bahkan senar-senar tersebar di jalanan. Aku sempat berpikir kalau hal tersebut akan membahayakan orang lain. Ah sudahlah, ini hanya argumenku tentang layangan. Toh, siapa yang mau mendengarkan argumen dari bocah ingusan kelas empat SD? Sepertinya tak ada.

“Kau tak main layangan, Sat?” seseorang mengejutkanku. Aku hanya menggeleng tanpa melihat wajah orang yang telah menyapaku. “Baiklah, mungkin kau perlu istirahat.” lanjutnya lalu duduk di bongkahan batu besar  di dekatku.

“Kau sendiri kenapa tak bermain, Zhi?” tanyaku padanya. Ia menyerngitkan dahi menatap langit, tampaknya sinar matahari siang ini membuat matanya terlihat segaris. Ia menggeleng, “kenapa? Orang Tionghoa tak boleh bermain layangan atau orang tuamu tak mengizinkan?” tanyaku dengan polosnya. Ia malah tertawa, 
 “kenapa?” tanyaku lagi tak mengerti.

“Ibuku takut kalau mataku hilang semua. Lihat matahari siang ini sangat terik! Bagaimana aku bisa melihat jelas keatas jika merem-melek setiap memainkan layangan? Haha.” jawabnya lalu tertawa. Aku pun tertawa.

“Aku hanya bercanda, Sat.” Di sisi lain bocah-bocah seumuranku berlarian, mengulur senar memainkan layangan dengan senang.

Oh iya, aku hampir lupa. Desa kami ini sangat berbeda dari desa-desa lainnya, selain desa kami sangat jauh dari pusat kota dan terletak di pesisir pantai, para penduduk di desa kami juga terdiri dari tiga etnis; Jawa, Sunda, Arab, dan Tionghoa. Nah, temanku Zhi dari  keluarga Tionghoa. Walaupun demikian, kami tak pernah marah-marahan, karena orang tua kami mengajarkan saling menghormati kepada sesama—semua warga di desa kami adalah saudara.
***
Percakapan siang itu menjadi percakapan terhebat kami. Bagaimana tidak hebat, kami sepakat untuk mengadakan acara kebersamaan di lapangan utama desa. Minggu ini adalah hasil dari percakapan kami—bocah kelas empat SD yang masih ingusan.

“Senja nanti jangan lupa ke lapangan desa ya, Yah.” Bocah bermata sipit itu mulai aksinya. Tak jauh di tempat kami berdiri, seorang lelaki berkacamata dan berkulit putih mengangguk, lalu tersenyum kepada kami.

Di lain tempat, bocah-bocah seumuran kami melakukan hal yang sama. Mengajak orang-orang desa untuk berkumpul. Katanya mereka akan datang karena penasaran. Mendengar hal itu kami tertawa renyah, gigi tak rata kami tampak jelas.

Sore tiba. Kami sepakat berkumpul usai melakukan sembahyang menurut kepercayaan kami. Peralatan sudah di tangan, layangan dengan warna yang berbeda dan senar. Jangan salah,  tentu kami sudah mandi dan sangat rapi. Harapan kami setelah itu pada Sang Pencipta adalah alam yang baik, tak menumpahkan air matanya sore ini. Benar, doa-doa kami terkabul! Sepertinya Sang Pencipta Alam  Semesta juga mendukung aksi sederhana kami untuk desa kami.

Semangat kami membara, satu sama lain saling membantu. Memegang layangan dan ada yang menarik senar, semua seperti itu. Hingga akhirnya semua layangan terbang menghiasi langit sore. Layangan kami warna-warni, indah untuk dipandang.

Benar, ajakan sederhana kepada orang-orang desa di dengarkan. Mereka berdatangan, berjejer rapi dipinggir lapangan dan melihat pemandangan langka. Semua seakan terpukau, tak mengerjapkan mata sama sekali, bahkan senyum lebar terhias sana-sini. Kami masih bermain layangan, saling pandang lalu tertawa.

Kami sempat berbagi pemikiran jauh sebelum sore ini tiba. Tentang permainan layang-layang yang sudah menjadi kebiasaan setiap tahun di desa kami, walau pun begitu, kami tetap memainkan layangan bersama-sama. Lalu tentang perbedaan suku dan agama yang sudah lama ada di desa kami, tentang bekerja sama, saling membantu, bergotong royong dan saling menghargai, semua seakan menjadi satu kesatuan dalam keseharian kami. Kami tersenyum bersama. Angin kembali berembus, menerbangkan layang-layang.

Seperti sore ini, layang-layang sengaja kami buat beraneka warna pertanda layangan itu adalah kami. Berbeda-beda tapi tetap satu, menghias langit untuk keberagaman dan kebersamaan. Walau pun jauh di sana layangan saling mematahkan, tetapi bagi kami saling membantu. Jangan sampai ada yang mematahkan, karena kita adalah saudara!
***
Aku menghela napas panjang. Kembali kutatap langit keoranyean di barat. Senja sore ini cukup membuat rinduku terbalas. Bagaimana tidak, ingatan tentang senja, layang-layang, dan kesatuan dalam keberagaman sore itu seakan kembali terulang. Burung-burung masih beterbangan menuju singgasana. Aku tersenyum mengingat.

“Tanah kelahiranku mengajarkan banyak hal, termasuk saling menghormati dan tetap tolong menolong kepada sesama, tak peduli apa rasmu, sukumu, atau agamamu. Asal hal yang dilakukan demi kemaslahatan ummat.” batinku takzim manatap langit.*


Suatu senja di New York, 20 Mei 2020.

Komentar