[REVIEW BUKU]--HUJAN (TAK) KENYATAAN; BERSAMA RINTIK HUJAN AIR MATAKU MENGALIR

HUJAN (TAK) KENYATAAN; BERSAMA RINTIK HUJAN AIR MATAKU MENGALIR
Oleh: Amaliya Khamdanah


Sudah akhir September ya? Baik, saya datang kembali membawa beberapa review buku yang sempat saya baca dalam sebulan ini. Sebenarnya saya membaca banyak sekali buku fiksi, tetapi maafkeun, hanya beberapa buku saja yang akan saya bahas. Heh, malah curhat!

Buku yang akan saya bahas bulan ini adalah kumpulan cerpen dari salah satu mahasiswa di Madura—UTM (Universitas Trunojoyo Madura), pernah mendapat juara tiga dalam perlombaan menulis cerpen yang diadakan Gramuda Sabudarta Indonesia (Generasi Muda Sadar Budaya dan Pariwisata) Indonesia dengan judul Pejoki Cilik Setan Alas—bukunya berjudul Indonesia Punya Cerita, bisa pesan di Ellunar Publisher—saya satu buku loh, sama penulis buku ini. Haha.

Yups, siapa lagi kalau bukan Kak Kuswanto Ferdian. Pemuda asli Pamekasan yang kini sudah memiliki dua buku; Rindu Gadis dan Bersama Rintik Hujan Air Mataku Mengalir. Bukunya masih bisa dipesan, Mal? Bisa kok, cek langsung ke kakak penulis yang ketje ini.

Buku setebal 204 halaman dengan 18 cerpen yang tentunya sangat menarik untuk dibaca. Cerpen-cerpen dalam buku ini banyak sekali yang terinspirasi dari kisah nyata.

Kamu tahu, Frans? Sejak mengenalmu hatiku mengenal rindu. Dan, semenjak kepergianmu, rasa rindu itu seolah ingin membunuhku secara perlahan. Dia ada dihadapanku, bahkan lebih dekat dari itu. Aku tidak memuja rindu, tetapi hadirnya selalu menyatu dengan ketulusan hati dan menanti pesan darimu. Dan ini adalah pesan terpanjang pernah kutulis untukmu, tentang rindu yang selalu hadir setiap waktu.
Rindu itu tak pernah bersuara, tak menampakan dirinya, tak juga bersembunyi di lautan sepi. Dia ada, bahkan terkadang tiada sengaja nampak di dalam binar mata, juga terselip di dalam doa.
Rindu adalah rasa bahagia atau duka?

Nah, di atas adalah blurb dalam buku ini. Ngena banget ya, apalagi dibaca oleh orang-orang yang sedang diselimuti rindu yang mendalam. Ya, melalui blurb ini, sudah bisa ditebak kemana arah ceritanya. Yups, beberapa cerita mengambil masa lalu sebagai bahan. Tak hanya itu, buat kamu yang senang banget dengan hujan, rindu, dan senja pun juga ada bagiannya.

Dihalaman awal, akan disajikan cerita pendek yang sebenarnya ini sangat kelam, namun si penulis berhasil menyajikannya dengan tenang. Tentang masa lalu dan rindu. Sepertinya dua kata ini selalu bergandengan.

“Kata orang, doa adalah cara terbaik menyampaikan rindu. Doa terkadang dijadikan cara memeluk orang dari jarak tiada terkira. Lalu apakah ia merasakannya? Apakah malaikat mampu menjelaskan tentang rindu ini pada pemiliknya?” (Bersama Rintik Hujan Air Mataku Mengalir; hal: 16)

Selain itu, pada cerpen kedua. Sungguh, saya sangat terkejut pada endingnya. Sensasinya itu sangat terasa. Bagaimana tidak, di awal cerita penulis menuntun pembacanya untuk berkelana di tepi dermaga dengan sensasi dingin khas udara malam—betapa ademnya laut saat malam tiba. Dan benar, sensasi lainnya terasa saat diakhir paragraf. Oke, sampai saat saya nulis review ini cerita itu masih terbayang. Oh iya, kata Kak Wawan juga, cerpen ini adalah kisah nyata.

Surat Cinta Sebelum Aku Pergi, pun berhasil membuat beper—bawa perasaan. “Selamat pagi. Tetap semangat, ya!” begitu yang tertulis dalam cerpen ini. Walaupun teramat sederhana, tapi siapa sangka ucapan sederhana itu adalah penguat. “Apakah engkau tahu ada rasa yang tak mampu kukatakan, ada rindu yang tak sempat kuungkapkan, dan ada harapan yang tak bisa kucurahkan? Rindu itu masih tetap sama baik, sesudah atau sebelum kata-kata itu terucap dari bibirmu. Aku bisa apa, selain menunggu dan berdoa kepada Tuhan, agar kelak kita berjodoh. Jika bukan engkau yang ditakdirkan-Nya untukku.
Aku ikhlas menerima apapun yang telah ditakdirkan-Nya untukku. Aku tdak punya hati memaksamu menemani hati ini.” (Hal: 33)
Lalu pada ungkapan selanjutnya, “Seiring berjalannya waktu, engkau akan mengerti bagaimana hati yang terlalu lama menunggu.” (Hal: 33)

Walaupun judul kumpulan cerpen ini terdengar melow, tetapi jangan salah sangka dulu. Gak semuanya mellow tentang romansa muda-mudi, kok. Setelah menutup buku ini saya menyimpulkan, ini realita sosial di masa kini. Menjadi sebab akibat dari permasalahan negeri ini. Seperti pada pada cerpen, Hidupku Berakhir Pada Sebilah Bambu, hal sebenarnya ini kasus sederhana, tapi karena termakan emosi dan dendam semuanya menjadi buruk. Saya pikir, banyak loh orang sekarang yang mudah banget termakan emosinya sendiri.

Saya paling suka pada cerpen, Cerita Masa Kecil. Sangat-sangat-sangat menginspirasi! Seperti terkena tamparan. Perjuangan seorang anak sekolah dasar untuk terus berprestasi, walaupun hidup di pelosok semangatnya untuk belajar tak pernah padam. “… kelak aku ingin bangun sekolah-sekolah yang layak untuk anak-anak desa di pelosok, agar supaya mereka tidak senasib denganku. Doakan aku guru. Doamu adalah harapanku di masa depan.” (Hal: 151)

Dan, saya terharu bacanya pas bagian tentang merantau dan ibu. iya, Walaupun saya gak merantau, tapi setidaknya melalui cerita pendek ini membawa saya akan rasa yang dirasa orang-orang yang sedang merantau. Rindu pada tanah kelahiran, terutama pada ibu.

Kehidupan mahasiswa dan anak kosan pun juga dibahas dalam cerpen-cerpen di buku ini. Yakin deh, saya sempat menyeryitkan dahi membacanya, lalu bergidik geli mengetahui hal ‘gila’ tersebut. Iya juga ya? Maklum, bukan anak kosan, hehe.

Sudah pada penasaran, kan? Oh iya, saya sampai lupa, Bersama Rintik Hujan Air Mataku Mengalir terbit Juli 2017 oleh Raffety Publisher.

*reviewmacamapaini terima kasih ya, sudah membaca reviewan absurd dari saya. salam hangat padamu yang semoga tak menggalau karena rindu!

Komentar