[CERPEN]--KOTA LAMA 1001 KENANGAN
KOTA LAMA 1001 KENANGAN
Oleh:
Amaliya Khamdanah
Aku
tahu kita akan bertemu lagi disuatu tempat yang mana tempat itu adalah tempat
favorit kita. Tunggulah waktu yang akan mempertemukan!
Aku mempercepat langkah menuju ruang
pers. Sebentar lagi rapat dengan anggota lainnya akan segera dimulai.
Kupercepat lagi langkahku. Buku agenda
rapat ada digenggaman, bolpoin hitam di
saku, dan beberapa lembar ada di tas ransel.
Aku menghentikan langkah tepat di
depan ruangan bertuliskan LPM Cakrawala. Memang, ruang LPM tak terlalu besar
tapi cukup menampung dua puluh kru dan sedikit berbeda dengan ruang kerja UKM
lainnya. Ruang pers wajib melepas alas kaki, kerana di dalam ruangan ini hanya
ada tempat untuk lesehan, meja-meja pun hanya digunakan untuk alas laptop,
print, tempat minum, dan alat-alat lainnya.
Deg!
Laki-laki yang tengah berdiri di
depan diantara para anggota lainnya menatapku, lalu tersenyum. Seketika aku
terdiam. Ia tersenyum lagi, lalu menganggukkan kepala, pertanda ia
memperbolehkan kami masuk. Anehnya pikiranku masih tertuju pada senyum yang
barusan mengembang. Ah, abaikan saja!
“Kita
lanjut pembahasannya ya. Dua minggu lagi acara ternama di kota Semarang akan
berlangsung, acara yang bertajuk Kota Lama
1001 Kenangan yang diselenggarakan di area taman Srigunting.” ujar
laki-laki berkemeja kotak-kotak biru, tangannya memegang bolpoin seperti
biasanya. Ia tersenyum, “kita akan liputan kesana. Kali ini saya selaku
pimpinan redaksi majalah Cakrawala akan turut hadir dalam acara tersebut.” Ia
menghentikan ucapannya, menatap satu persatu anggota yang hadir, “dan membutuhkan
satu reporter saja.” lanjutnya setengah berbisik, “alasannya agak absurd sih, kas kita tidak mencukupi
untuk membeli tiketnya.” lanjutnya yang masih setengah berbisik.
Beberapa
kru sempat tertawa mendengar alasan gila pimred. Anehnya pimred malah
memandangku seraya memberi isyarat. “Dan saya menunjuk Desila Wardhani Putri
untuk meliput acara ini.” tutupnya diikuti tepuk tangan para kru.
Aku?
***
“Kau kenapa? Ayo kita ke kantin.” ajak
Ardhy padaku yang tengah terdiam di teras ruang pers. Tangannya meraih tanganku
erat. Aku tak dapat mengelak dan tetap mengikuti arahannya.
Ardhy
menyuruhku tuk segera mencari tempat, sedangkan ia akan memesan makanan. Aku
meneruskan langkah, pandanganku berkeliaran kesana kemari mengamati sekitar. Sepertinya
bangku di depan kosong. Aku bergegas menuju tempat tersebut. Dari kejauhan
Aku melihat Ardhy yang kerepotan dengan pesanannya. Segera kubergegas menuju arahnya,
ia tersenyum padaku.
Soto
ayam dan es teh manis sudah di hadapan dan
beberapa gorengan telah disiapkan sebelumnya. Kami melahapnya tanpa
sisa.
“Liputannya
tanggal 17 ya?” cetusku mengawali pembicaraan, sebelumnya kami hanya saling
diam yang terdengar hanyalah orkestra mangkuk dan sendok dihadapan kami.
Ardhy
hanya mengangguk lalu menyeruput es teh manis miliknya.
“Jam?”
tanyaku lagi.
“Jam
2 sore kita ketemuan di kampus. Nanti kamu bareng Aku aja.” ucapnya sembari
mengelap sisa makanan di mulutnya.
“Loh?”
“Eh,
Aku jemput kamu di kosanmu aja ya, gimana?” tawar Ardhy, kali ini ia fokus menatapku?
Ah jangan geer dulu! “Sepakat!” jawabnya lagi. Padahal Aku belum sempat
menjawab tawarannya. Aku terdiam mencoba mengingat sesuatu, namun gagal setelah
mendapati Ardhy tertawa menatapku.
“Udah
selesai makannya?”
***
“Fajar!
Tungguin Aku!” teriakku mengayuh sepeda biru tua mengajar sosok yang bernama
Fajar.
“Kamu
lemot sih!” balasnya lalu tertawa. Fajar segera menepi memarkirkan sepeda hitam
di dekat taman. Aku mengikutinya, memarkirkan
sepedaku disamping sepeda miliknya.
Seperti
biasa usai pulang sekolah kami selalu menyempatkan diri untuk ketempat ini,
bukan untuk sembahyang di gereja Blenduk melainkan menikmati senja di kawasan
ini. Waktunya pun tak tentu, bahkan bisa sampai metahari jatuh dipelupukan
mata. Kedua oran tua kami sudah paham betul kegiatan—menikmati senja di kota lama—kami, ditambah lagi karena rumah kami
satu kompleks, jadi mereka tak akan khawatir. Umur kami sama hanya selisih bulan
saja, Fajar kelahiran Juni dan Aku kelahiran September. Kami berteman sejak
kecil.
“Des,
ayo jalan. Malah ngelamun!” teriaknya yang berdiri tak jauh dariku.
“Eh,
iya tungguin, Jar!” kejutku. Segera kulangkahkan kakiku tuk menyamai langkah
kakinya.
Setiap
harinya kawasan Kota Lama terutama di area gereja Blenduk selalu ramai wisatawan,
entah wisatawan lokal, mancanegara, atau umat kristiani yang sedang melekukan
sembahyang di gereja Blenduk.
Langkah
kami terhenti di taman, tak jauh dari
tempat kami memarkir sepeda. Kami duduk dipayungi pohon yang tumbuh besar. Aku
mendongakkan wajah keatas, melihat warna-warna di langit yang sedang
berkolaborasi, membentuknya menjadi senja yang sangat sempurna. Bayangkan saja,
warna biru menjadi latar utamanya dengan awan berserakan, ditambah siratan
warna oranye sebagai pelengkap dan sinar keemasan matahari sore sebagai penyempurna. Embusan
angin menerpa kami perlahan. Aku ikut mengembuskan nafas tenang.
“Jar,
indah ya.” cetusku tanpa mengalihkan pandangan ke langit sore.
Fajar hanya mengangguk setuju, kulihat ia juga
sedang menyaksikan hal yang sama denganku. Hening. Aku kembali merangkai kata
dalam hati, tentang senja yang sempurna ini.
“Habis
UN, apa mungkin kita bisa kayak gini lagi, Des?” tanyanya tiba-tiba, membuatku
sedikit terkejut. “Apa mungkin, setelah UN nanti kita bisa menikmati senja di
Kota Lama ini, Des?” tanya Fajar untuk kedua kalinya.
“Entahlah.
Aku harap begitu. Selalu menikmati senja di tempat yang penuh akan sejarah.”
balasku lalu tertawa. Fajar pun juga
ikut-ikutan tertawa. “Eh, apa maksudmu, Jar? Pertanyaanmu barusan?” lanjutku.
“Enggak,
cuma tanya aja.”
“Ah
Fajar gak asik. Aku tahu kalau kamu lagi bohong.” ketusku.
Fajar
hanya diam, pandangannya lurus kedepan jatuh tepat pada tembok bangunan geraja Blenduk.
“Jar,
kita udah temenan hampir lima belas tahun. Aku tahu sifatmu!” ketusku menatapnya.
Fajar masih terdiam. Embusan angin kembali menyapa.
“Aku
akan pindah ke Bogor, Des.” balasnya pelan, ia menundukkan kepala.
“Gak
mungkin ah, Tante Irna gak pernah cerita sama Mama kalau mau pindah. Hahaa
ngaco kamu, Jar!” balasku berusaha mengelak.
“Aku
gak bohong, Des. Bulan depan Ayah dipindah tugas ke Bogor. Aku mengetahuinya
minggu lalu. Mama dan Ayah memang sengaja gak cerita hal itu ke siapapun, Des.”
lirihnya menatapku. Kulihat ada sedikit cairan bening yang keluar dari sudut
matanya. Aku terdiam. “Mungkin SMA nanti Aku juga di disana bahkan menetap
selamanya disana. Sekali lagi maaf, Des…” lanjutnya menatapku. Aku hanya diam
tertunduk, tak berani membalas tatapannya. Hening sejenak, yang terdengar hanya
kicauan burung yang bertengger di dahan.
***
Tepat
jam dua siang aku sudah berdiri diambang pintu. Menunggu pimred menjemputku.
Dengan helm yang sudah kukenakan terlebih dahulu dan segala peralatan tulis
lainnya di dalam tas ransel. Tak lama suara motor matik berhenti. Seutas
senyuman mengarah padaku.
“Sudah
lama? Eh sebentar,” Ardhy merogoh tas ranselnya, “jepretanmu sama jepretanku
bagusan mana?” tanyanya lagi mengarahkan kamera kearahku.
Aku
terdiam seketika.
***
“Yaelah
Des. Kamu gak bisa pakai SRL ini?” kejut Fajar setengah mengejek setengah
tertawa.
“Maklum
lah Jar, masih kelas delapan SMP.”
elakku. Fajar kembali tertawa.
“Makanya
ajarin Aku!” teriakku. Seketika Fajar terdiam, kukira ia akan kapok tertawa
mengejekku, malah ia kembali tertawa lebih kencang.
“Sini-sini
Fajar ajarin, takut dimarahi Tante Dela. Haha!” tawa Fajar kembali pecah hingga
membuat pengunjung di area gereja Blenduk melihat kami sebagai pusat perhatian.
Pakaian OSIS putih-biru sebagai identitas diri yang paling mencolok, ditambah
badge kelas VIII yang semakin memperjelas. Ah
memalukan! Aku terdiam menatap Fajar yang terus tertawa, hingga Aku ikut
tertawa bersamanya.
***
“Des?
Des?” Ardhy menatapku heran, tanganya melambai kearahku.
“Eh,
Aku bisa kok!” balasku sedikit terkejut,
“dijamin hasil jepretanku tak kalah bagusnya dengan fotografer profesional!”
lanjutku dengan senyum yang mengembang.
“Sip.”
balas Ardhy menepuk bahuku, kamera SRL sudah ditanganku.
Semarang
adalah kota sejarah. Ki Ageng Pandanaran atau yang sering disebut Raden
Pandanaran-lah yang menemukan dan menamai kota ini menjadi Semarang.
Diriwayatkan dalam berbagai sumber buku sejarah yang kudapat, dahulu Raden
Pandanaran menggarap lahan pertanian bersama para pengikutnya untuk
melaksanakan pesan ayahnya sebelum mati, tiba-tiba terjadi
sesuatu yang aneh. Diantara pohon yang hijau subur itu terdapat beberapa pohon
asam yang tumbuh saling berjauhan. Orang-orang yang melihat hal itu juga heran,
mengapa di tanah yang subur itu tumbuh pohon asam yang saling berjauhan.
Lalu Raden Pandanaran menamai tempat
itu menjadi kota Semarang yang berasal dari kata asem
yang jarang-jarang.
Kendaraan matik Ardhy terus melaju. Kampus kami
berada di daerah Semarang atas, sehingga harus ngloloni wektu ketika hendak
Kota Lama. Hampir satu jam perjalanan. Acara dimulai sekitar jam empat sore dan
masih ada waktu untuk sekedar jalan-jalan
menikmati kawasan Kota Lama, seperti kebiasaanku empat tahun silam.
Ardhy memarkirkan motor matiknya didekat kompleks
gereja Blenduk. Kulihat ia menatap sekeliling area ini. Sedikit menyunggingkan
senyum ketika mata kami salin beradu.
“Berapa kali ketempat ini, Ar?” tanyaku
mengawali. Kami melangkah meninggalkan area parkir. Ramai sekali, banyak
wisatawan datang ketempat ini, ditambah sore ini di kawasan Kota Lama juga ada acara Kota Lama 1001 Kenagan. Ah
semoga saja!
“Baru dua kali. Maklumlah Aku orang Jakarta.
Kalau Kota Tua si sering. Kalau kamu, Des?” balas Ardhy. Kami masih menunggu
acara dimulai.
“Sering sih, tapi itu dulu empat tahun lalu.”
“Loh, bukanya rumahmu dekat dari sini ya?”
tanyanya terus melangkah, lalu duduk di kursi taman seperti yang kulakukan
empat tahun lalu.
“Iya, sering lewat tapi gak pernah mampir kayak
gini. Bisa dibilang ini first setelah
empat tahu vakum. Haha!” balasku juga ikut duduk tak jauh disampingnya.
“Haha, berarti kawasan Kota Lama dan area gereja
Blenduk banyak kenangan dong?” tanyanya lagi, lalu diam menunggu jawabanku.
“Banyak banget, Ar. Meninggalnya Kakekku pun juga
di tempat ini, ketika mau menyelamatkan adiknya.” Aku terdiam, sedikit
mengingat, “dan di tempat ini pula Aku berpisah dengan sahabatku, entah kapan
akan bertemu lagi. Sejak melepasnya di bandara Ahmad Yani, Aku diskomunikasi
dengannya, sampai sekarang.” lanjutku menatap kedepan menerawang masa lalu di
tempat ini, “kami bersahabat sejak kecil, dia seperti pelindungku.” Aku
menghela nafas, “rasanya kangen banget sama dia. Berharap Aku bisa bertemu
dengannya lagi, Ar.” terangku.
“Dia cowok, Des?” tanya Ardhy pelan.
Aku mengangguk, lalu memalingkan muka menatap
langit sore. Sempurna seperti dulu!
“Des, Aku ke kamar kecil dulu ya. Masih ada waktu
dua puluh menit. Aku segera kembali!” Ardhy melangkah menjauh. Aku sempat
menatap punggungnya sekilas, baju kemeja biru tua dan tas ransel merk ternama.
Aku kembali menatap langit sore.
Sempurna!
Bagus nih kalau diabadikan. Yups, SRL Cakrawala ada ditangan! batiku senang. Segera kuberanjak dari kursi taman.
Kulangkahkan kaki menikmati ramainya kompleks gereja Blenduk, banyak wartawan
lokal maupun nasional berseliweran, juga masyarakat umum lainnya. Tentunya
takkan kusia-siakan momen langka ini. Akan ku abadikan setiap detiknya!
Aku fokus pada objek. “Ramai sekali.” batinku. Tentang Kota Lama yang selalu membuatku
iri. Ada secercah kenangan yang menyapaku. Kenangan menikmati senja di kawasan
Kota Lama. Andai saja kau disini… kembali kumainkan kamera, kuarahkan
kemana saja, Keren!
“Aku berdiri disini, Blenduk dan hijaunya tumbuhan
di taman ditambah latar langit sore, sempurna!” Aku berdecak kagum, entah rasa
senang dalam hatiku tiba-tiba muncul. Kufokuskan SRL keobjek yang kutuju, dan klick!
“Bagus banget nih!” batinku, “loh kok ada orang
yang berdiri disitu. Ah, buat pemandangan jadi jelek! Lagi aja deh.” omelku
pada diri sendiri. Kembali kuarahkan SRL ke tempat yang sama, masih terlihat
jelas di kamera SRL orang tadi. Ia menoleh kearahku dan tersenyum. Aku
melihatnya lewat SRL. Ia masih tersenyum. Hatiku semakin berdegup kencang. Orang itu masih tersenyum menatapku.
Kualihkan kameraku, melihatnya lagi dengan mataku. Ia masih tersenyum dan Aku
mengenal senyuman itu.
“Desila Wardhani Putri!” teriaknya lalu tersenyum
labar. Aku mengenalnya, bahkan sangat-sangat mengenalnya.
“Fajar?” lirihku. Ia mendekat, lalu tertawa,
“Fajar Wisnu Wardhana!” lanjutku setengah barteriak, tanpa sadar Aku mencubit
kedua pipinya. Aku menatapnya, tak kusadari kedua sudut mataku rasanya basah, perlahan
keluar cairan bening. Aku menangis
begitu juga Fajar. Sempurna, menikmati
senja di Kota Lama bersama kawan lamaku.
Komentar
Posting Komentar