[REVIEW BUKU]--DARI KUMPULAN CERPEN SASTRA BELAJAR KEHIDUPAN

KUMPULAN CERPEN SASTRA; MOTOR MATIK MILIK BAPAK
Oleh: Amaliya Khamdanah


Selamat datang Oktober! Assalamu’alaikum! Saya kembali lagi dengan membawa review buku lagi. Heuheu, tenang di postingan selanjutnya saya bakal posting cerpen lagi kok. *apaini

Buku apa sih yang bakal saya review lagi di blog absurd ini? Yups, tentu masih buku kategori fiksi ya. Lebih tepatnya lagi buku kumpulan cerpen hasil sayembara nulis cerpen umum dan sastra yang diselenggarakan Anak Hebat Indonesia pada Maret lalu. Tepatnya lagi, di dalam buku ini juga ada satu cerpen berjudul; Balon Udara Dari Rumahku karya Amaliya Khamdanah. Emang kenal sama dia? Enggak kan. *abaikan

Sayembara nulis cerpen ini bekerjasama dengan akun instagram @setjangkirkopi dan BBY (Balai Bahasa Yogyakarta). Bisa kebayang kan bagaimana deg-deg-annya pas nulis cerpen dan dijuriin? Oke, ini terlalu berlebihan.

Dengan tebal buku 124 halaman ini ditulis oleh sepuluh penulis; Rahmanto, Ajeng Maharani Puspitarini, Yulfi Yuliana Sake, Narullah MH, Noperman Suhbi, Hattala Salwaka, Nisrina Salsabila, Anisa Kautsar Juniardi, Rahma Ridha Rofita, dan Amaliya Khamdanah.

Diawali cerita pendek milik Kak Ajeng dengan judul; Aku, Kamu, Senja, Luka. Di blurb buku ini ada petikan cerpennya, “Kita adalah kesakitan-kesakitan, yang tidak akan tersembuhkan, cinta itu mati, menjelma arwah, menggentayangi mimpi-mimpi kita.”

Lalu dilanjutkan cerpen karya Kak Noperman Suhbi dengan judul; Motor Matik Milik Bapak. Ketika saya membaca cerpen beliau, saya mikirnya kok bener ya? Rasanya pas sekolah juga seperti itu. tepat sekali, penggambaran yang dilakukan Kak Noperman Suhbi sangat detail. Heuheu, kena tamparan banget nih! “Sepanjang jalan ku pandang wajah dan tubuh bapak dalam kondisi koma. Air mataku mengalir deras. Ada perasaan menyesal apa yang aku lakukan selama ini. aku telah mensia-siakan pengorbanan dan harapan bapak.”

Program yang sedang dicanangkan pemerintah mengenai program SM3T dan Dokter PTT. Juga ada dalam buku ini. Saya mengutip wejangan Ayah si tokoh utama, dalam bahasa jawa, “sepi ing pamrih, rame ing gawe.”

Masih di cerpen yang sama saya kembali menguti, “Kalau kamu enggak bisa melakukan apa yang kamu sukai, maka mulailah menyukai apa yang bisa kamu lakukan, Bay.”

Hingga memasuki halaman-halaman selanjutnya semakin terasa tamparannya. Bagaimana tidak, dari kesepuluh cerita pendek dalam buku ini hampir semuanya mengandung sindiran—terutama untuk saya pribadi.

Dimulai dari hilangnya kepercayaan diri karena dimulai dari hilangnya benda bertuah, lalu perjanjian berabad tahun silam tentang menjaga hutan yang kini malah semakin menipis pepohonan yang ada di bumi ini, bahkan tragedi yang sempat menimpa salah satu provinsi mengenai asap pun—bisa dibaca pada judul Hati Raihan.

“Tiap bagian tubuh Natuh menghilang menjadi sebuah pertanda musibah baru. Kepala Natuh membuat daerah di sekitar hutan mengalami kekeringan. Tubuh Natuh memanggil tanah longsor di sekitar manusia. Mata Natuh yang merah menjadikan matahari semakin panas hingga terjadilah pemanasan global. Sayapnya telah menjadi putting beliung di mana-mana. Taringnya membuat es-es di kutub mencair. Darahnya mamanggil banjir di seluruh penjuru dunia. Manusia mulai bingung menghadapinya.”—Natuh Sang Wakil Hutan, Hattala Salwaka.

Selanjutnya mengenai mahasiswa. Oke, saya kena pukulan berat ketika membaca cerpen karya Kak Yulfi dengan judul; Konspirasi Warga, Gas Air Mata, dan Semesta. Bagaimana sih cara mahasiswa memperingati hari pahlawan? Ikut serta dalam upacara bendera, duduk manis di bangku kuliah, atau memperjuangkan suara-suara rakyat dengan turun di jalan? Untuk pilihan ketiga asal tidak anarkis. “… beruntunglah bagi mereka yang telah gugur, tak sempat melihat negeri ini diserahkan cuma-cuma. Yang menyedihkan adalah para veteran yang hidup miskin dan sengsara diberbagai belahan negeri, telah tua renta tak mampu berjuang lagi, dan hanya menonton kerusakan demi kerusakan yang terjadi akibat penjajahan yang tak mau kita sadari dan akui.”

Ditutup dengan cerpen berjudul; Benteng Kuasa Di Hamparan Asa oleh Rahmanto. “Kau lahap hijaunya sawah. kau telan habis hasil tanam kami. Kau pancangkan menara kuasa di atas derita. Di atas subur tanah petani. Tembok kuasa kau bentangkan. Memisahkan dua dunia dengan nasib berbeda. Mengisap potensi alam yang kaya raya. Menghancurkan asa di ladang nestapa.”

Bagaimana dengan review buku kali ini? tertarik untuk membacanya kan? Oh iya, bukunya bisa di beli langsung di toko buku Gramedia seluruh Indonesia atau kalau mau dapat diskon ketika membelinya bisa pesan langsung di laman ini.


Sampai di sini dulu ya reviewnya. Semoga menginspirasi dan menghibur. Salam hangat dari salah satu penulis cerpen dalam buku ini!

Komentar