[CERPEN]--SETELAH HUJAN REDA

SETELAH HUJAN REDA
Oleh: Amaliya Khamdanah


“Biar aku menikmati keluh kesah dan rindu yang termat dalam ini bersama tarian hujan. Aku terlalu sepi untuk menikmatinya sendiri. Terkadang aku cemburu pada hujan yang senantiasa datang beramai-ramai ke muka bumi ini dengan berbagai rasa—rindu salah satunya.

 Dan sesak dalam hati semakin menganga, karena memendam rindu pada seseorang yang takkan pernah mengetahui ada sepucuk rindu yang hadir untuknya. Hujan belum juga reda. Biarkan tarian hujan pagi ini menjadi teman baik diantara rintihan air mata yang juga berjatuhan dariku.” 
—Februari 2016.
***
            Introvert? Istilah dalam dunia psikologi yang baru kudengar. Kukira sebutan itu adalah sebutan untuk orang-orang yang memiliki kelainan dalam diri. Hm, dugaanku salah. Sebutan introvert berlaku untuk orang-orang sepertiku. Ah iya, aku orang yang senang dengan menyendiri, tak banyak teman dan tak banyak musuh. Kebalikan dari introvert adalah ekstrovert, yang lebih menyukai keramaian dan bergaul dengan orang banyak.

            Ah kenapa aku malah menjelaskan mengenai introvert dan ekstrovert? Aku sendiri bukan orang yang pandai dalam menyampaikan materi, hanya bisa menyampaikan sesuatu lewat mata. Teramat gila, bukan? Aku memang bukan penyampai materi handal, bukan pula pembicara yang hebat, bukan pula orang yang mudah bergaul dengan orang banyak. Dan aku bukan seorang psikopat atau pun anti sosial—sebagai sebutan terbaru untuk psikopat.

            Ah, aku malah membahasnya lagi. Biarlah orang-orang menyebutku apa dan menganggapku sebagai apa. Kini yang teramat penting bagiku adalah menggapai semua impianku. Ya, impian yang sudah kurancang sejak SMP—ahli sejarah.

            Jika dipikir lagi, benar juga kata orang-orang. Aku bukan orang yang mudah bergaul dengan orang banyak, lebih senang menghabiskan waktu sendiri dan tak banyak bicara. Anehnya, aku senang berbicara dengan orang-orang baru—orang yang baru kutemui atau orang yang membuatku penasaran.

            Ah iya, aku ingat! Dalam berbagai kasus tak jarang juga seseorang memiliki sifat yang tertutup—introvert—dan terbuka—ekstrovert—dan para psikolog setuju menyebutnya sebagai ambivert. Yups, lebih tepatnya adalah perpaduan sifat antara keduanya. Aduh, kenapa aku membahasnya lagi! Ingat, aku bukan seorang mahasiswa psikologi, hanya sekadar menyukai bidang keilmuan psikologi.

            Aku berhenti berargumen. Pandanganku menembus jendela kaca ruangan. Dari lantai tujuh, kulihat sebagian bentuk bangunan kota Semarang yang teramat indah. Atap-atap rumah berwarna oranye, cokelat bahkan warna lainnya menghiasi Semarang—tampak padat, warna hijau pada pepohonan, sawah dan lapangan juga terlihat jelas. Aku takjub. Kedua bola mataku tak berkedip, bahkan semakin melebar untuk memperjelas pandangan. Dengan harapan bisa melihat jauh lagi atau melihat laut Jawa bagian utara yang sebenarnya sangat jauh.

            Aku masih betah pada objek pandanganku, tak sedetik pun kualihkan pandangan. Embusan angin menerpa memasuki celah-celah jendela ruangan, menerbangkan sedikit kerudung biru muda yang kukenakan. Embusan angin yang seketika mampu menyejukkan hati dan pikiranku seketika, bahkan karena embusan angin yang sangat pelan ini, dapat kurasakan kalau mulutku berkomat-kamit seraya melantunkan sebuah pujian untuk-Nya.

            Pandanganku lurus, menatap kebawah gedung yang terlihat ramai orang-orang dan kendaraan bermotor. Ya, tepat di bagian timur gedung yang kupijak adalah area parkir fakultas pendidikan. Banyak orang yang lalu-lalang dengan sepeda, motor bahkan berpijak langsung dengan kakinya. Terlihat juga ekspresi orang yang lalu-lalang, walau pun tak terlalu jelas.

            Aku menurunkan pandangan, kembali mengamati ruangan yang sedari tadi lengang. Tak ada satu pun orang yang berada di ruangan ini. Padahal nyatanya aku sedang menunggui seseorang. Tapi dua jam telah berlalu, orang yang kutunggu pun tak kunjung datang.

            Menghabiskan waktu untuk menunggu bukanlah hal yang mengasyikkan dan menyenagkan. Bukan! Menunggu sangat membosankan, apalagi kalau tugas-tugas menumpuk seperti yang kualami. Ah! desahku dengan helaan napas panjang.

            Dia tak kunjung juga datang? Apa karena dia lupa dengan janjinya hari ini? Sudahlah, akan kutunggu setengah jam lagi. Batinku merangkai alasan untuk tetap menunggu.

            Kembali kuarahkan kedua bola mataku keluar, melakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Hanya saja atap bumi telah berubah warna, tak secerah beberapa menit yang lalu. Hujan akan tiba! Seruku setelah melihat langit berubah kelabu.

            Kuraih ponsel berlayar lalu menyentuhnya, kugeser perlahan dan mengamatinya. Tak ada satu pesan yang kuterima, yang ada hanya pesan singkat darinya tiga jam yang lalu sebelum langit kelabu seperti sekarang ini.

            “Benar kata orang, menunggu orang memang sangat melelahkan, apalagi menunggu seseorang yang tak pernah menyadari kehadiran yang lain.” Aku mengembuskan napas panjang. Di luar sana, hujan mulai turun rintik-rintik. Terlihat di area parkir beberapa orang tengah berlari kecil menuju gedung, mencari perlindungan di tengah guyuran hujan yang belum sempurna menumpahkan air.

            Setengah jam telah berlalu, hujan di luar sana semakin deras. Ruang yang sedari tadi kosong tanpa penghuni pun masih sama: menyisakan sepi dan hanya aku yang menikmatinya. Ruang kelas pendidikan sejarah 1 tepatnya. Aku membuat janji dengan seseorang di tempat ini, mengenai tugas kelompok yang tak kunjung selesai. Bukan karena aku seorang introvert dan malas. Bukan! Perkara tugas ini adalah tugas kelompok yang harus diselesaikan bersama-sama. Ah! desahku lagi.

            Hujan semakin deras, debit air yang turun pun tak terhitung. Sesekali kilatan cahaya dari langit menghantar ke bumi, mengenai dedaunan atau penangkal petir pada atap-atap rumah. Aku masih bertahan, hingga akhirnya aku menyerah setelah lama menunggu. Mungkin saja karena hujan dia tak jadi mengerjakan tugas. Dan mungkin pulsanya juga habis jadi tak sempat mengabariku. Aku berargumen. Pendanganku menyapu seisi ruangan, tak ada tanda-tanda gesekan kaki yang akan memasuki ruangan kelas ini. Aku mengangguk lantas melangkahkan kaki meninggalkan ruang kelas.

            Langkahku terhenti. Di luar sana hujan tak kunjung reda yang ada butirannya bertambah banyak. Orang-orang berkerumun di teras, lantai basah karena percikan air hujan dan sisa orang-orang yang berteduh. Kedua bola mataku memutar, mencari sosoknya dalam keramaian. Hasilnya nihil, dia tak juga kutemukan diantara kerumunan tersebut.

            Aku menepi, duduk diantara kursi panjang dekat receptionis fakultas ilmu sosial. Menunggu hujan hingga reda, pikirku. Banyak orang yang sedang menunggu sepertiku di ruangan lantai awal ini, sekadar berbicara atau hanya saling diam dan memainkan ponsel berlayar besar, ada pula yang membaca novel dengan khidmat.

            Tanganku meraih ponsel, menggeser layar dengan telunjuk tangan lantas mengaktifkan data internet. Siapa tahu dia memberiku pesan lewat whatsapp atau massanger facebook. Dan semuanya nihil. Dia tak memberiku kabar sama sekali setelah empat jam menunggu.

            “Vivi!” sapa seorang, suaranya sangat kukenal. Aku menoleh kearahnya. “Maafkan aku ya, aku tak memberimu kabar.” balasnya lantas tersenyum. Aku mengangguk. Rasa cemasku menunggu selama empat jam berlalu, orang yang ditunggu pun menyapa dan meminta maaf.

            Dia duduk di sampingku, di kursi panjang dekat receptionis fakultas ilmu sosial. Ramai. Hujan pun tak kunjung reda. Diantara kami, tak ada perbincangan sama sekali, lebih memilih sibuk dengan ponsel berlayar lebar di tangan masing-masing.

            Lidahku kelu untuk memulai berbicara, suhu di ruang ini memang dingin tapi tidak untuk tubuhku. Sungguh, hatiku seketika merasakan sesak dan otomatis menimbulkan gesekan panas. Entah apa maksud sesak dalam hati ini. Oh Tuhan! Kulirik sekilas, dia tersenyum ketika mengetik pada ponselnya. Kudapati nama perempuan bertengger cantik di ujung kanan dekat logo berwana biru. Aku menghela napas panjang.
***
            “Kau menunggu siapa, Vi? Kelas sudah usai sepuluh menit yang lalu.” tanya seseorang yang suaranya sudah tak asing lagi. Aku menoleh kearahnya lantas memberikan senyum terbaik untuknya. Begitu pula sebaliknya. Beberapa saat kemudian kami saling diam, terciptalah rongga keheningan diantara kami.

            “Kau tak bosan menunggu hujan reda, Vi?” tanyanya lagi menatapku. Kedua bola matanya jatuh pada pandanganku. Seketika aku merasakan hal yang berbeda di sini. Ya, di hati!

            “Tidak.” balasku pelan. Benar saja, aku sudah berdiri di tempat ini hampir lima belas menit tanpa sepatah kata pun. Padahal usai pelajaran, teman-teman bergegas meninggalkan ruangan ini, karena di luar mendung telah menjadi atap. Hanya menyisakan diriku yang menhadap jendela dan menikmati langit kelabu beserta hujan yang akan segera datang.

            Entahlah apa yang sedang dipikirkan lelaki yang berdiri tak jauh dariku. Padahal dia sudah melangkah jauh sepuluh menit yang lalu meninggalkan ruangan ini. Tapi malah kembali lagi ke ruangan ini dengan muka yang berbeda. Sedikit merona. Ah bukan, itu hanya argumenku!

            “Bukannya kau sudah keluar ruangan ya?” tanyaku asal.

          Lelaki berkemeja batik hijau mengangguk, lantas kembali memandang keluar seperti yang kulakukan. Kami saling diam tanpa berucap. Ruangan masih dingin, tapi tidak untuk hatiku yang malah panas karena sesak dalam hati. Entahlah, apa maksud rasa ini. Aku tak berpengalaman mengenai rasa gila yang tiba-tiba hadir kala dia berada di sampingku!

            “Kau menyukai hujan, ya?” tanyanya lagi setelah lama saling diam.
            Sontak aku menoleh kearahnya, lagi-lagi kedua bola mataku jatuh pada matanya yang teramat teduh. Gemuruh dari dalam semakin membuncah. Aku menggeleng keras. Dia hanya tersenyum.

            “Tapi aku sering mengamatimu menikmati hujan, Vi. Bukankah hal itu juga termasuk ‘Menyukai’ hujan, Vi?” tanyanya lagi. Pandangan kami saling bertemu, gemuruh dalam hati dan sesak semakin mencuat kepermukaan.

            “Aku tidak membenci dan tidak pula menyukai hujan.” balasku singkat. Sudah kubilang bukan? Aku tipikal orang yang tak pandai berbicara banyak—berbicara banyak pun hanya pada orang tertentu. Dan lelaki di sampingku? Aku baru dekat dengannya karena tugas ilmu sejarah.

            “Lalu?” balasnya lagi yang masih betah menatapku. Hatiku kelimpungan, gemuruh layaknya halilintar menggetarkan tulang-tulang dalam tubuhku. Sorotan matanya sangat meneduhkan, bahkan guratan-guratan senyum pada dirinya terlontar kearahku. “Mungkin kau tak perlu menjawabnya, Vi. Ada kalanya seseorang menyimpan rahasianya dan orang lain tak perlu mengetahuinya.” lanjutnya menatapku seolah-olah mengerti ucapan pada pikiranku.
***
            Bolehkah seorang introvert merasakan cinta? Ya, jatuh hati pada lawan jenis. Sekali lagi, aku perempuan normal yang suatu waktu juga ingin merasakan jatuh hati pada seorang laki-laki. Aku bukan seorang anti sosial atau lesbian. Bukan! Hanya kepribadianku saja yang tertutup. Dan aku menyadarinya setelah Desember berlalu. Lelaki pemilik mata meneduhkan itu berhasil membuatku jatuh hati. Fauzy Arta Nugraha, teman sekelasku dan juga menjabat sebagai komting kelas.

            Fauzy sangat dielu-elukan banyak orang tanpa kecuali kaum hawa di kelasku—pendidikan sejarah—dia sangat pandai, wajahnya yang menawan, ditambah sifat rendah hati dan ramahnya pada sesama. Tapi dibalik itu semua, aku lebih senang melihat matanya yang meneduhkan, seperti hujan yang selalu meneduhkan pandangan siapa saja yang melihatnya. Lalu senyum hangat yang selalu dia lontarkan kepada siapa saja.

            Tugas-tugas semakin menumpuk dan ujian akhir semester satu akan menyambangi. Oh Tuhan! Keluhku. Hujan semakin betah menumpahkan air matanya di Semarang. Dan kebiasaanku menunggu masih seperti Desember lalu, di mana buih-buih rasa senang sekaligus sedih turut hadir mewarnai hariku—jatuh hati—pada seseorang yang teramat dekat karena jarak.

            Diam-diam aku selalu menyebut namanya kala hujan datang setiap paginya, berharap waktu pertama kali dia menyapaku di dekat ruang receptionis terulang, atau waktu di mana dia tiba-tiba berdiri disampingku lantas menanyakan hal yang semestinya tak ditanyakan. Aku menghela napas panjang. Di luar sana hujan masih berduyun-duyun menyambangi Semarang, hanya saja tak ada kilatan cahaya seperti bulan lalu.

            “Bolehkah aku menyimpan rindu padamu?” tanyaku dalam hati. “Walau sebenarnya rinduku padamu tak pernah kau ketahui,” bisikku dalam.

            Di luar sana, rintikan hujan bermiliyaran datang, titik-titik itu membuat sebuah nyanyian penghantar kenangan dan juga rindu. Kedua bola mataku berembun melihatnya, seolah-olah tahu ada hati anak manusia yang sedang menyimpan rindu pada seseorang yang tak pernah tahu isi sebuah hati.

            Titik-titik hujan saling bergandengan, membuat alunan semakin merdu, dedaunan pun menari di tengah derasnya hujan. Hingga jatuh pada permukaan tanah dan bersatu dengan makhluk lainnya.
***
            “Hujan sudah reda. Kau tak pulang, Vi?” tanyanya setelah melihat keluar jendela. Benar, di luar sana hanya tersisa rintikan hujan, langit pun telah berganti warna biru cerah. Sinar mentari siang hari sudah mengintip dibalik gedung-gedung tinggi di Kota Semarang.

            “Ayo pulang.” ajakku setelah memastikan semuanya benar.

            “Sebanarnya aku sama denganmu, Vi,” ucapnya ketika kami melangkah beriringan. Kedua bola mataku membulat. “Ya, aku seorang introvert dan menyukai hujan. Ah iya, aku lupa kalau kau tak menyukai hujan.” ucapnya lalu menepuk jidadnya. Aku terkekeh melihatnya.

            “Banyak kenangan ya, Zy?” tanyaku dengan polosnya. Kali ini lelaki yang melangkah disampingku malah tertawa kecil lantas melihatku.

            “Yaya, kenangan. Ada hal yang takakan pernah kulupakan, Vi. Tepatnya  saat hujan tiba di Desember lalu, aku melihat dan menatap matanya yang teduh. Seperti hujan yang selalu meneduhkan siapa yang melihatnya, bahkan membuat terpana dan jatuh hati sekali pun.” terangnya. Langkah kami beriringan sesekali tertawa karena obrolan sederhana.

            “Haha, tapi introvertmu gak kelihatan loh, Zy,” responku setelah Fauzy diam menunggu balasan.

            “Ya gimana lagi, Vi, tak mungkin kan kalau aku introvert, sedangkan setiap hari harus berbicara di muka umum.” lanjutnya memberi alasan. Aku mengangguk.

            Mata kami kembali bertemu. Sangat meneduhkan.

Deg!

Hujan benar-benar pergi, siang sudah merajai langit dengan sinarnya yang mengkilau. Orang-orang berhamburan keluar gedung, menyalakan mesin bermotor atau sekadar melangkahkan kakinya menuju tempat selanjutnya setelah lama menepi.

            “Kau tak naik motor, Zy?” tanyaku setelah keluar gedung fakultas ilmu sosial. Kulihat matanya bersinar dan tampak secercah kebahagiaan turut hadir di bola matanya.

            Fauzy menggeleng keras. Langkahnya kembali menyamaiku. “Tidak, kosanku dekat, Vi,” ujarnya lalu tersenyum. “Dan sekali-kali bolehlah jalan bareng sama kamu, Vi.” Mukanya memerah, seutas senyum hangat darinya terlontar kearahku. Aku menunduk dalam, sepertinya mukaku juga ikut memerah ditambah sinar matahari usai hujan.

Jalanan yang kami lalui basah karena hujan, sesekali kami berdampingan sesekali pula beriringan karena faktor jalan yang tak memungkinkan untuk berdampingan.

            “Parah, Zy!” balasku tertawa melihatnya. Rambutnya yang sedikit basah sisa hujan. Sepanjang jalan yang kami lalui terdapat banyak pohon yang tumbuh besar, lantas menjatuhkan sisa-sisa hujan tadi. Kerudung yang kukenakan pun sedikit terkena tempisan hujan.

            “Tapi aku sanang loh, bisa mengobrol denganmu. Aku selalu memperhatikanmu di kelas, kau lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis dan membaca. Dan aku menyukai itu.”

            Deg!

            Jantungku berdegub lebih kencang, alunannya tak semerdu beberapa menit yang lalu. Bahkan rasa senang sekaligus sedih mendorongku keluar dan mengungkapkan hal yang sama. Tidak! Teriakku dalam.

            “Kok aku malah terkesan curhat ya, Vi.”

            Aku menggeleng, sejurus dengan itu kami saling tersenyum, menjatuhkan pandangan yang menghangatkan di tengah terik matahari selepas hujan.
***
            “Pak Komting selamat, ya!” seru perempuan berkerudung pashmina dengan senyum lebar.
            Kulihat Fauzy hanya tersenyum, bola matanya memancarkan sinar kehangatan—yang tentu hanya bisa kubaca sendiri—sesekali mukanya memerah. Lengkungan senyum senantiasa dia berikan pada penghuni kelas yang memberinya selamat.

            Pikiranku kesana-kemari. Selamat untuk apa? Fauzy menang LKTI Nasional, kah? Batinku dengan berbagai argumen.

            “Akhirnya, predikat jomlo sejak SMA resmi dilepas, haha!” ejek seorang laki-laki berjaket abu-abu lantas memukul pelan bahu Fauzy.

Jleb!

Seketika kedua bola mataku membulat. Tak mempercayai ucapan Amar pada Fauzy. Kulihat muka Fauzy tampak memerah, dan senyumannya terlihat sangat malu-malu senang. Oh Tuhan, benarkah itu? Aku menghela napas panjang. Di luar sana hujan bulan Februari turun deras, kupadang rinaian hujan dari dalam kelas dengan gemuruh yang dahsyat.

Ada hati yang tiba-tiba terluka, sakit tak berujung ditambah derasnya hujan pagi ini. Menerkam pada hati yang luka yang menganga. Perih! Menyakitkan! Hujan pagi ini tak serupa hujan Desember lalu. Memupuk rindu pada seseorang yang sama sekali tak pernah mengetahui ada sepucuk rindu. Sangat menyakitkan!

Aku seorang introvert yang jarang mudah dekat dengan orang-orang baru. Apalagi jatuh hati pada orang yang baru saja dikenal. Tapi dengan mudahnya aku dekat dengannya dan dengan mudahnya pula menambatkan hati pada dia. Oh Tuhan apa rencana-Mu?

Sepertinya mataku berembun, hujan telah mengalir deras dalam tubuh. Di luar sana, hujan masih bertahan. Kelas semakin ramai, senyumannya terlontar kesana kemari. Hingga pandangannya jatuh padaku yang khidmat menatap luar.
***
            Pagi yang membuatku patah hati telah berlalu. Benar, Fauzy lebih sering tersenyum ketimbang sebelumnya. Aku menduga seorang perempuan yang cantik dan pandai telah menguasai isi hatinya. Tapi siapa? Bukan aku! teriakku dalam hati.

Semenjak pagi itu pula, Fauzy tak pernah menyapaku begitu juga sebaliknya. Kami lebih memilih saling diam ketika bertemu atau saling diam ketika menghadap tugas yang sama. Kami introvert bahkan hati kami pun sama introvertnya.

Ucapannya yang lalu pun, tepatnya setelah hujan reda selalu terngiang di pikiranku, senyuman khasnya dan rambutnya yang sedikit basah. Ya, semuanya teramat jelas untukku. Tuhan tak mengizinkanku untuk jatuh hati pada seseorang. Ya, seorang introvert yang dilarang untuk jatuh hati atau bahkan memendam rasa pada orang lain. Aku menghela napas perlahan.

Hujan Februari masih betah menyambangi Semarang. Padahal kota ini tak mendapat julukan sebagai Kota Hujan, Februari pun sudah menginjak akhir. Semenjak Desember lalu, hujan menjadi kehangatan tersendiri untukku. Menjadi teman dan perangkai rindu untuknya yang takkan pernah mengetahui sesuatu yang tengah kurasakan—jatuh hati sekaligus rindu—padanya. Dan tepat hari itu berlalu, patah hati dan rindu menyapaku bersamaan di tengah guyuran hujan di luar sana.
***
           Tak ada jam pagi hari ini. Namun dengan sangat sengaja aku berangkat lebih awal. Aku ingin menikmati hujan pagi ini. Menikmati jalanan yang basah karena hujan, menikmati setapak demi setapak kata yang pernah terucap dari dirinya di hari itu yang kini hanya menyisakan sebuah kenangan.

            Benar, setelah hujan reda pagi ini. Selang beberapa menit kemudian hujan kembali turun. Seolah-olah sang hujan tahu ada hati anak manusia yang masih menyimpan rindu dan cinta pada seseorang, hingga sang hujan kembali hadir untuk menemani.

            Formasi hujan masih sama seperti bulan-bulan lalu, dengan alunan khas pemutar kenangan yang tak akan pernah terulang. Kedua bola mataku terasa perih, kuyakin mataku juga berembun. Bukan karena tempias hujan, hanya saja hujan dari mata turut menyambangi. Aku menghela napas perlahan, mencoba menahannya agar tak tumpah—seperti hujan di hadapanku.

            Aku seorang introvert. Dan jatuh hati pada seseorang membuatku kembali merasakan patah yang teramat menyakitkan. Aku menutup mukaku dari hujan—dengan tubuh menatap hujan yang semakin deras. Sepertinya hujan pagi ini berhasil membuatku turut hadir dan menari bersama rinaian hujan.

Aku tak menyukai hujan, tapi aku tak membenci hujan. Semenjak hari itu menunggu hujan hingga reda menjadi kebiasaanku. Menatapnya lamat-lamat dan menikmati sesak dalam hati. Entah, walau pun banyak tugas, aku tetap menunggu hujan hingga reda.

Mengapa hujan harus aku tunggu, sedangkan tugas-tugas lainnya telah menungguku? Hujan bulan Desember telah membuat semuanya berbeda. Aku menikmati hujan dan juga rasa sakit—sesak.

Biar aku menikmati keluh kesah dan rindu yang termat dalam ini bersama tarian hujan. Aku terlalu sepi untuk menikmatinya sendiri. Terkadang aku cemburu pada hujan yang senantiasa datang beramai-ramai ke muka bumi ini dengan berbagai rasa—rindu salah satunya. Dan sesak dalam hati semakin menganga, karena memendam rindu pada seseorang yang takkan pernah mengetahui ada sepucuk rindu yang hadir untuknya. Hujan belum juga reda. Biarkan tarian hujan pagi ini menjadi teman baik diantara rintihan air mata yang juga berjatuhan dariku.

“Vivi…”

Deg!


Aku mengenalnya, suara yang sudah tak asing lagi. Napasku tertahan hingga menyesakkan rasa sakit dalam dada.

Komentar