[CERPEN]--SETELAH HUJAN REDA
SETELAH HUJAN REDA
Oleh:
Amaliya Khamdanah
“Biar aku menikmati keluh kesah dan
rindu yang termat dalam ini bersama tarian hujan. Aku terlalu sepi untuk
menikmatinya sendiri. Terkadang aku cemburu pada hujan yang senantiasa datang
beramai-ramai ke muka bumi ini dengan berbagai rasa—rindu salah satunya.
Dan sesak dalam hati semakin menganga, karena
memendam rindu pada seseorang yang takkan pernah mengetahui ada sepucuk rindu
yang hadir untuknya. Hujan belum juga reda. Biarkan tarian hujan pagi ini
menjadi teman baik diantara rintihan air mata yang juga berjatuhan dariku.”
—Februari
2016.
***
Introvert?
Istilah dalam dunia psikologi yang baru kudengar. Kukira sebutan itu adalah
sebutan untuk orang-orang yang memiliki kelainan dalam diri. Hm, dugaanku salah.
Sebutan introvert berlaku untuk
orang-orang sepertiku. Ah iya, aku orang yang senang dengan menyendiri, tak
banyak teman dan tak banyak musuh. Kebalikan dari introvert adalah ekstrovert,
yang lebih menyukai keramaian dan bergaul dengan orang banyak.
Ah kenapa aku malah menjelaskan
mengenai introvert dan ekstrovert? Aku sendiri bukan orang yang
pandai dalam menyampaikan materi, hanya bisa menyampaikan sesuatu lewat mata.
Teramat gila, bukan? Aku memang bukan penyampai materi handal, bukan pula
pembicara yang hebat, bukan pula orang yang mudah bergaul dengan orang banyak.
Dan aku bukan seorang psikopat atau pun anti sosial—sebagai sebutan terbaru
untuk psikopat.
Ah, aku malah membahasnya lagi.
Biarlah orang-orang menyebutku apa dan menganggapku sebagai apa. Kini yang
teramat penting bagiku adalah menggapai semua impianku. Ya, impian yang sudah
kurancang sejak SMP—ahli sejarah.
Jika dipikir lagi, benar juga kata
orang-orang. Aku bukan orang yang mudah bergaul dengan orang banyak, lebih
senang menghabiskan waktu sendiri dan tak banyak bicara. Anehnya, aku senang
berbicara dengan orang-orang baru—orang yang baru kutemui atau orang yang
membuatku penasaran.
Ah iya, aku ingat! Dalam berbagai
kasus tak jarang juga seseorang memiliki sifat yang tertutup—introvert—dan terbuka—ekstrovert—dan para psikolog setuju
menyebutnya sebagai ambivert. Yups,
lebih tepatnya adalah perpaduan sifat antara keduanya. Aduh, kenapa aku
membahasnya lagi! Ingat, aku bukan seorang mahasiswa psikologi, hanya sekadar
menyukai bidang keilmuan psikologi.
Aku berhenti berargumen. Pandanganku
menembus jendela kaca ruangan. Dari lantai tujuh, kulihat sebagian bentuk
bangunan kota Semarang yang teramat indah. Atap-atap rumah berwarna oranye,
cokelat bahkan warna lainnya menghiasi Semarang—tampak padat, warna hijau pada
pepohonan, sawah dan lapangan juga terlihat jelas. Aku takjub. Kedua bola
mataku tak berkedip, bahkan semakin melebar untuk memperjelas pandangan. Dengan
harapan bisa melihat jauh lagi atau melihat laut Jawa bagian utara yang sebenarnya
sangat jauh.
Aku masih betah pada objek
pandanganku, tak sedetik pun kualihkan pandangan. Embusan angin menerpa
memasuki celah-celah jendela ruangan, menerbangkan sedikit kerudung biru muda
yang kukenakan. Embusan angin yang seketika mampu menyejukkan hati dan
pikiranku seketika, bahkan karena embusan angin yang sangat pelan ini, dapat
kurasakan kalau mulutku berkomat-kamit seraya melantunkan sebuah pujian
untuk-Nya.
Pandanganku lurus, menatap kebawah
gedung yang terlihat ramai orang-orang dan kendaraan bermotor. Ya, tepat di
bagian timur gedung yang kupijak adalah area parkir fakultas pendidikan. Banyak
orang yang lalu-lalang dengan sepeda, motor bahkan berpijak langsung dengan
kakinya. Terlihat juga ekspresi orang yang lalu-lalang, walau pun tak terlalu
jelas.
Aku menurunkan pandangan, kembali
mengamati ruangan yang sedari tadi lengang. Tak ada satu pun orang yang berada
di ruangan ini. Padahal nyatanya aku sedang menunggui seseorang. Tapi dua jam
telah berlalu, orang yang kutunggu pun tak kunjung datang.
Menghabiskan waktu untuk menunggu
bukanlah hal yang mengasyikkan dan menyenagkan. Bukan! Menunggu sangat
membosankan, apalagi kalau tugas-tugas menumpuk seperti yang kualami. Ah! desahku dengan helaan napas
panjang.
Dia
tak kunjung juga datang? Apa karena dia lupa dengan janjinya hari ini?
Sudahlah, akan kutunggu setengah jam lagi. Batinku
merangkai alasan untuk tetap menunggu.
Kembali kuarahkan kedua bola mataku
keluar, melakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Hanya saja atap bumi telah
berubah warna, tak secerah beberapa menit yang lalu. Hujan akan tiba! Seruku setelah melihat langit berubah kelabu.
Kuraih ponsel berlayar lalu
menyentuhnya, kugeser perlahan dan mengamatinya. Tak ada satu pesan yang
kuterima, yang ada hanya pesan singkat darinya tiga jam yang lalu sebelum
langit kelabu seperti sekarang ini.
“Benar kata orang, menunggu orang
memang sangat melelahkan, apalagi menunggu seseorang yang tak pernah menyadari
kehadiran yang lain.” Aku mengembuskan napas panjang. Di luar sana, hujan mulai
turun rintik-rintik. Terlihat di area parkir beberapa orang tengah berlari
kecil menuju gedung, mencari perlindungan di tengah guyuran hujan yang belum
sempurna menumpahkan air.
Setengah jam telah berlalu, hujan di
luar sana semakin deras. Ruang yang sedari tadi kosong tanpa penghuni pun masih
sama: menyisakan sepi dan hanya aku yang menikmatinya. Ruang kelas pendidikan
sejarah 1 tepatnya. Aku membuat janji dengan seseorang di tempat ini, mengenai
tugas kelompok yang tak kunjung selesai. Bukan karena aku seorang introvert dan malas. Bukan! Perkara
tugas ini adalah tugas kelompok yang harus diselesaikan bersama-sama. Ah! desahku lagi.
Hujan semakin deras, debit air yang
turun pun tak terhitung. Sesekali kilatan cahaya dari langit menghantar ke bumi,
mengenai dedaunan atau penangkal petir pada atap-atap rumah. Aku masih
bertahan, hingga akhirnya aku menyerah setelah lama menunggu. Mungkin saja karena hujan dia tak jadi
mengerjakan tugas. Dan mungkin pulsanya juga habis jadi tak sempat mengabariku.
Aku berargumen. Pendanganku menyapu seisi ruangan, tak ada tanda-tanda gesekan
kaki yang akan memasuki ruangan kelas ini. Aku mengangguk lantas melangkahkan
kaki meninggalkan ruang kelas.
Langkahku terhenti. Di luar sana
hujan tak kunjung reda yang ada butirannya bertambah banyak. Orang-orang
berkerumun di teras, lantai basah karena percikan air hujan dan sisa
orang-orang yang berteduh. Kedua bola mataku memutar, mencari sosoknya dalam
keramaian. Hasilnya nihil, dia tak juga kutemukan diantara kerumunan tersebut.
Aku menepi, duduk diantara kursi
panjang dekat receptionis fakultas
ilmu sosial. Menunggu hujan hingga reda,
pikirku. Banyak orang yang sedang menunggu sepertiku di ruangan lantai awal
ini, sekadar berbicara atau hanya saling diam dan memainkan ponsel berlayar
besar, ada pula yang membaca novel dengan khidmat.
Tanganku meraih ponsel, menggeser
layar dengan telunjuk tangan lantas mengaktifkan data internet. Siapa tahu dia memberiku pesan lewat
whatsapp atau massanger facebook. Dan semuanya nihil. Dia tak memberiku
kabar sama sekali setelah empat jam menunggu.
“Vivi!” sapa seorang, suaranya
sangat kukenal. Aku menoleh kearahnya. “Maafkan aku ya, aku tak memberimu
kabar.” balasnya lantas tersenyum. Aku mengangguk. Rasa cemasku menunggu selama
empat jam berlalu, orang yang ditunggu pun menyapa dan meminta maaf.
Dia duduk di sampingku, di kursi
panjang dekat receptionis fakultas
ilmu sosial. Ramai. Hujan pun tak kunjung reda. Diantara kami, tak ada
perbincangan sama sekali, lebih memilih sibuk dengan ponsel berlayar lebar di
tangan masing-masing.
Lidahku kelu untuk memulai
berbicara, suhu di ruang ini memang dingin tapi tidak untuk tubuhku. Sungguh,
hatiku seketika merasakan sesak dan otomatis menimbulkan gesekan panas. Entah
apa maksud sesak dalam hati ini. Oh
Tuhan! Kulirik sekilas, dia tersenyum ketika mengetik pada ponselnya.
Kudapati nama perempuan bertengger cantik di ujung kanan dekat logo berwana
biru. Aku menghela napas panjang.
***
“Kau menunggu siapa, Vi? Kelas sudah
usai sepuluh menit yang lalu.” tanya seseorang yang suaranya sudah tak asing
lagi. Aku menoleh kearahnya lantas memberikan senyum terbaik untuknya. Begitu
pula sebaliknya. Beberapa saat kemudian kami saling diam, terciptalah rongga
keheningan diantara kami.
“Kau tak bosan menunggu hujan reda,
Vi?” tanyanya lagi menatapku. Kedua bola matanya jatuh pada pandanganku.
Seketika aku merasakan hal yang berbeda di sini. Ya, di hati!
“Tidak.” balasku pelan. Benar
saja, aku sudah berdiri di tempat ini hampir lima belas menit tanpa sepatah
kata pun. Padahal usai pelajaran, teman-teman bergegas meninggalkan ruangan
ini, karena di luar mendung telah menjadi atap. Hanya menyisakan diriku yang
menhadap jendela dan menikmati langit kelabu beserta hujan yang akan segera
datang.
Entahlah apa yang sedang dipikirkan
lelaki yang berdiri tak jauh dariku. Padahal dia sudah melangkah jauh sepuluh
menit yang lalu meninggalkan ruangan ini. Tapi malah kembali lagi ke ruangan
ini dengan muka yang berbeda. Sedikit merona. Ah bukan, itu hanya argumenku!
“Bukannya kau sudah keluar ruangan
ya?” tanyaku asal.
Lelaki berkemeja batik hijau
mengangguk, lantas kembali memandang keluar seperti yang kulakukan. Kami saling
diam tanpa berucap. Ruangan masih dingin, tapi tidak untuk hatiku yang malah
panas karena sesak dalam hati. Entahlah,
apa maksud rasa ini. Aku tak berpengalaman mengenai rasa gila yang tiba-tiba
hadir kala dia berada di sampingku!
“Kau menyukai hujan, ya?” tanyanya
lagi setelah lama saling diam.
Sontak aku menoleh kearahnya,
lagi-lagi kedua bola mataku jatuh pada matanya yang teramat teduh. Gemuruh dari
dalam semakin membuncah. Aku menggeleng keras. Dia hanya tersenyum.
“Tapi aku sering mengamatimu
menikmati hujan, Vi. Bukankah hal itu juga termasuk ‘Menyukai’ hujan, Vi?”
tanyanya lagi. Pandangan kami saling bertemu, gemuruh dalam hati dan sesak
semakin mencuat kepermukaan.
“Aku tidak membenci dan tidak pula
menyukai hujan.” balasku singkat. Sudah kubilang bukan? Aku tipikal orang yang
tak pandai berbicara banyak—berbicara banyak pun hanya pada orang tertentu. Dan
lelaki di sampingku? Aku baru dekat dengannya karena tugas ilmu sejarah.
“Lalu?” balasnya lagi yang masih
betah menatapku. Hatiku kelimpungan, gemuruh layaknya halilintar menggetarkan
tulang-tulang dalam tubuhku. Sorotan matanya sangat meneduhkan, bahkan
guratan-guratan senyum pada dirinya terlontar kearahku. “Mungkin kau tak perlu
menjawabnya, Vi. Ada kalanya seseorang menyimpan rahasianya dan orang lain tak
perlu mengetahuinya.” lanjutnya menatapku seolah-olah mengerti ucapan pada
pikiranku.
***
Bolehkah seorang introvert merasakan cinta? Ya, jatuh
hati pada lawan jenis. Sekali lagi, aku perempuan normal yang suatu waktu juga
ingin merasakan jatuh hati pada seorang laki-laki. Aku bukan seorang anti
sosial atau lesbian. Bukan! Hanya kepribadianku saja yang tertutup. Dan aku
menyadarinya setelah Desember berlalu. Lelaki pemilik mata meneduhkan itu
berhasil membuatku jatuh hati. Fauzy Arta Nugraha, teman sekelasku dan juga
menjabat sebagai komting kelas.
Fauzy sangat dielu-elukan banyak
orang tanpa kecuali kaum hawa di kelasku—pendidikan sejarah—dia sangat pandai,
wajahnya yang menawan, ditambah sifat rendah hati dan ramahnya pada sesama.
Tapi dibalik itu semua, aku lebih senang melihat matanya yang meneduhkan,
seperti hujan yang selalu meneduhkan pandangan siapa saja yang melihatnya. Lalu
senyum hangat yang selalu dia lontarkan kepada siapa saja.
Tugas-tugas semakin menumpuk dan
ujian akhir semester satu akan menyambangi. Oh
Tuhan! Keluhku. Hujan semakin betah menumpahkan air matanya di Semarang.
Dan kebiasaanku menunggu masih seperti Desember lalu, di mana buih-buih rasa
senang sekaligus sedih turut hadir mewarnai hariku—jatuh hati—pada seseorang
yang teramat dekat karena jarak.
Diam-diam aku selalu menyebut
namanya kala hujan datang setiap paginya, berharap waktu pertama kali dia
menyapaku di dekat ruang receptionis
terulang, atau waktu di mana dia tiba-tiba berdiri disampingku lantas
menanyakan hal yang semestinya tak ditanyakan. Aku menghela napas panjang. Di
luar sana hujan masih berduyun-duyun menyambangi Semarang, hanya saja tak ada
kilatan cahaya seperti bulan lalu.
“Bolehkah aku menyimpan rindu
padamu?” tanyaku dalam hati. “Walau sebenarnya rinduku padamu tak pernah kau
ketahui,” bisikku dalam.
Di luar sana, rintikan hujan
bermiliyaran datang, titik-titik itu membuat sebuah nyanyian penghantar
kenangan dan juga rindu. Kedua bola mataku berembun melihatnya, seolah-olah
tahu ada hati anak manusia yang sedang menyimpan rindu pada seseorang yang tak
pernah tahu isi sebuah hati.
Titik-titik hujan saling
bergandengan, membuat alunan semakin merdu, dedaunan pun menari di tengah
derasnya hujan. Hingga jatuh pada permukaan tanah dan bersatu dengan makhluk
lainnya.
***
“Hujan sudah reda. Kau tak pulang,
Vi?” tanyanya setelah melihat keluar jendela. Benar, di luar sana hanya tersisa
rintikan hujan, langit pun telah berganti warna biru cerah. Sinar mentari siang
hari sudah mengintip dibalik gedung-gedung tinggi di Kota Semarang.
“Ayo pulang.” ajakku setelah
memastikan semuanya benar.
“Sebanarnya aku sama denganmu, Vi,”
ucapnya ketika kami melangkah beriringan. Kedua bola mataku membulat. “Ya, aku
seorang introvert dan menyukai hujan.
Ah iya, aku lupa kalau kau tak menyukai hujan.” ucapnya lalu menepuk jidadnya.
Aku terkekeh melihatnya.
“Banyak kenangan ya, Zy?” tanyaku
dengan polosnya. Kali ini lelaki yang melangkah disampingku malah tertawa kecil
lantas melihatku.
“Yaya, kenangan. Ada hal yang
takakan pernah kulupakan, Vi. Tepatnya
saat hujan tiba di Desember lalu, aku melihat dan menatap matanya yang
teduh. Seperti hujan yang selalu meneduhkan siapa yang melihatnya, bahkan
membuat terpana dan jatuh hati sekali pun.” terangnya. Langkah kami beriringan
sesekali tertawa karena obrolan sederhana.
“Haha, tapi introvertmu gak kelihatan loh, Zy,” responku setelah Fauzy diam
menunggu balasan.
“Ya gimana lagi, Vi, tak mungkin kan
kalau aku introvert, sedangkan setiap
hari harus berbicara di muka umum.” lanjutnya memberi alasan. Aku mengangguk.
Mata kami kembali bertemu. Sangat
meneduhkan.
Deg!
Hujan
benar-benar pergi, siang sudah merajai langit dengan sinarnya yang mengkilau.
Orang-orang berhamburan keluar gedung, menyalakan mesin bermotor atau sekadar
melangkahkan kakinya menuju tempat selanjutnya setelah lama menepi.
“Kau tak naik motor, Zy?” tanyaku
setelah keluar gedung fakultas ilmu sosial. Kulihat matanya bersinar dan tampak
secercah kebahagiaan turut hadir di bola matanya.
Fauzy menggeleng keras. Langkahnya
kembali menyamaiku. “Tidak, kosanku dekat, Vi,” ujarnya lalu tersenyum. “Dan
sekali-kali bolehlah jalan bareng sama kamu, Vi.” Mukanya memerah, seutas
senyum hangat darinya terlontar kearahku. Aku menunduk dalam, sepertinya mukaku
juga ikut memerah ditambah sinar matahari usai hujan.
Jalanan
yang kami lalui basah karena hujan, sesekali kami berdampingan sesekali pula
beriringan karena faktor jalan yang tak memungkinkan untuk berdampingan.
“Parah, Zy!” balasku tertawa
melihatnya. Rambutnya yang sedikit basah sisa hujan. Sepanjang jalan yang kami
lalui terdapat banyak pohon yang tumbuh besar, lantas menjatuhkan sisa-sisa
hujan tadi. Kerudung yang kukenakan pun sedikit terkena tempisan hujan.
“Tapi aku sanang loh, bisa mengobrol
denganmu. Aku selalu memperhatikanmu di kelas, kau lebih banyak menghabiskan
waktu untuk menulis dan membaca. Dan aku menyukai itu.”
Deg!
Jantungku
berdegub lebih kencang, alunannya tak semerdu beberapa menit yang lalu. Bahkan
rasa senang sekaligus sedih mendorongku keluar dan mengungkapkan hal yang sama.
Tidak! Teriakku dalam.
“Kok aku malah terkesan curhat ya,
Vi.”
Aku menggeleng, sejurus dengan itu
kami saling tersenyum, menjatuhkan pandangan yang menghangatkan di tengah terik
matahari selepas hujan.
***
“Pak Komting selamat, ya!” seru
perempuan berkerudung pashmina dengan senyum lebar.
Kulihat Fauzy hanya tersenyum, bola
matanya memancarkan sinar kehangatan—yang tentu hanya bisa kubaca
sendiri—sesekali mukanya memerah. Lengkungan senyum senantiasa dia berikan pada
penghuni kelas yang memberinya selamat.
Pikiranku kesana-kemari. Selamat untuk apa? Fauzy menang LKTI
Nasional, kah? Batinku dengan berbagai argumen.
“Akhirnya, predikat jomlo sejak SMA
resmi dilepas, haha!” ejek seorang laki-laki berjaket abu-abu lantas memukul
pelan bahu Fauzy.
Jleb!
Seketika
kedua bola mataku membulat. Tak mempercayai ucapan Amar pada Fauzy. Kulihat
muka Fauzy tampak memerah, dan senyumannya terlihat sangat malu-malu senang. Oh Tuhan, benarkah itu? Aku menghela
napas panjang. Di luar sana hujan bulan Februari turun deras, kupadang rinaian
hujan dari dalam kelas dengan gemuruh yang dahsyat.
Ada
hati yang tiba-tiba terluka, sakit tak berujung ditambah derasnya hujan pagi
ini. Menerkam pada hati yang luka yang menganga. Perih! Menyakitkan! Hujan pagi
ini tak serupa hujan Desember lalu. Memupuk rindu pada seseorang yang sama
sekali tak pernah mengetahui ada sepucuk rindu. Sangat menyakitkan!
Aku
seorang introvert yang jarang mudah
dekat dengan orang-orang baru. Apalagi jatuh hati pada orang yang baru saja
dikenal. Tapi dengan mudahnya aku dekat dengannya dan dengan mudahnya pula
menambatkan hati pada dia. Oh Tuhan apa
rencana-Mu?
Sepertinya
mataku berembun, hujan telah mengalir deras dalam tubuh. Di luar sana, hujan
masih bertahan. Kelas semakin ramai, senyumannya terlontar kesana kemari.
Hingga pandangannya jatuh padaku yang khidmat menatap luar.
***
Pagi yang membuatku patah hati telah
berlalu. Benar, Fauzy lebih sering tersenyum ketimbang sebelumnya. Aku menduga
seorang perempuan yang cantik dan pandai telah menguasai isi hatinya. Tapi siapa? Bukan aku! teriakku dalam
hati.
Semenjak
pagi itu pula, Fauzy tak pernah menyapaku begitu juga sebaliknya. Kami lebih
memilih saling diam ketika bertemu atau saling diam ketika menghadap tugas yang
sama. Kami introvert bahkan hati kami
pun sama introvertnya.
Ucapannya
yang lalu pun, tepatnya setelah hujan reda selalu terngiang di pikiranku,
senyuman khasnya dan rambutnya yang sedikit basah. Ya, semuanya teramat jelas
untukku. Tuhan tak mengizinkanku untuk
jatuh hati pada seseorang. Ya, seorang introvert yang dilarang untuk jatuh hati
atau bahkan memendam rasa pada orang lain. Aku menghela napas perlahan.
Hujan
Februari masih betah menyambangi Semarang. Padahal kota ini tak mendapat
julukan sebagai Kota Hujan, Februari pun sudah menginjak akhir. Semenjak
Desember lalu, hujan menjadi kehangatan tersendiri untukku. Menjadi teman dan
perangkai rindu untuknya yang takkan pernah mengetahui sesuatu yang tengah
kurasakan—jatuh hati sekaligus rindu—padanya. Dan tepat hari itu berlalu, patah
hati dan rindu menyapaku bersamaan di tengah guyuran hujan di luar sana.
***
Tak ada jam pagi hari ini. Namun
dengan sangat sengaja aku berangkat lebih awal. Aku ingin menikmati hujan pagi
ini. Menikmati jalanan yang basah karena hujan, menikmati setapak demi setapak
kata yang pernah terucap dari dirinya di hari itu yang kini hanya menyisakan
sebuah kenangan.
Benar, setelah hujan reda pagi ini.
Selang beberapa menit kemudian hujan kembali turun. Seolah-olah sang hujan tahu
ada hati anak manusia yang masih menyimpan rindu dan cinta pada seseorang,
hingga sang hujan kembali hadir untuk menemani.
Formasi hujan masih sama seperti
bulan-bulan lalu, dengan alunan khas pemutar kenangan yang tak akan pernah
terulang. Kedua bola mataku terasa perih, kuyakin mataku juga berembun. Bukan
karena tempias hujan, hanya saja hujan dari mata turut menyambangi. Aku
menghela napas perlahan, mencoba menahannya agar tak tumpah—seperti hujan di
hadapanku.
Aku seorang introvert. Dan jatuh hati pada seseorang membuatku kembali
merasakan patah yang teramat menyakitkan. Aku menutup mukaku dari hujan—dengan
tubuh menatap hujan yang semakin deras. Sepertinya hujan pagi ini berhasil
membuatku turut hadir dan menari bersama rinaian hujan.
Aku tak menyukai hujan, tapi aku
tak membenci hujan. Semenjak hari itu menunggu hujan hingga reda menjadi
kebiasaanku. Menatapnya lamat-lamat dan menikmati sesak dalam hati. Entah,
walau pun banyak tugas, aku tetap menunggu hujan hingga reda.
Mengapa hujan harus aku tunggu,
sedangkan tugas-tugas lainnya telah menungguku? Hujan bulan Desember telah
membuat semuanya berbeda. Aku menikmati hujan dan juga rasa sakit—sesak.
Biar aku menikmati keluh kesah dan
rindu yang termat dalam ini bersama tarian hujan. Aku terlalu sepi untuk
menikmatinya sendiri. Terkadang aku cemburu pada hujan yang senantiasa datang
beramai-ramai ke muka bumi ini dengan berbagai rasa—rindu salah satunya. Dan
sesak dalam hati semakin menganga, karena memendam rindu pada seseorang yang
takkan pernah mengetahui ada sepucuk rindu yang hadir untuknya. Hujan belum
juga reda. Biarkan tarian hujan pagi ini menjadi teman baik diantara rintihan
air mata yang juga berjatuhan dariku.
“Vivi…”
Deg!
Aku
mengenalnya, suara yang sudah tak asing lagi. Napasku tertahan hingga menyesakkan
rasa sakit dalam dada.
Komentar
Posting Komentar