[#MinatSastra1 #Dulce_Et_Utile]--Berbicara Pada Langit

BERBICARA PADA LANGIT
Oleh: Amaliya Khamdanah


            “Mengapa teman dekatku suka sekali membaca? Ah apa gunanya membaca!” gerutu perempuan berjilbab ungu tua lalu melangkah menjauh dari kerumunan. Beberapa perempuan berjilbab lainnya mengamati langkahnya, hingga menjadi bayang-bayang yang hilang dibalik taman.

            Perempuan berjilbab ungu masih melangkah, wajah ayunya tak lagi terlihat karena mukanya ditekuk seperti pakaian yang baru saja ditata dan belum disetrika. Langkahnya cepat melewati taman fakultas, lalu melangkah lagi menuju gerbang utama universitas. Pikirannya kacau, berbagai macam sindiran yang dilontarkan oleh teman-temannya masih terngiang dalam benaknya, ditambah berbagai macam tugas menumpuk.

“Aku ya Aku, jangan samakan Aku dengan yang lain!” pekik perempuan berjilbab ungu lagi. Langkahnya terhenti tepat di depan gerbang utama univertas. Kedua matanya membulat, setengah ternganga dan wajah muramnya sirna.

Sorotan matanya terkagum-kagum, ditatapnya dalam tanpa berkedip sekali pun. Nun jauh disana, langit berwarna oranye telah membungkus cakrawala, siluet tampak nyata pada pepohonan yang tumbuh diseberang jalan. Langit biru berpadu dengan jingga, beberapa burung beterbangan mencari singgasana pulang.

***

            “Reni!” teriak seorang perempuan berjilbab modern—pashmina.

            Pemilik nama Reni pun menghentikan langkahnya dan menoleh keasal suara, kedua bola matanya menyapu bersih taman fakultas. Perempuan yang memanggilnya pun mendekat, lantas tersenyum pada Reni.

            “Masih belum puas membully-ku?” tebak perempuan bernama Reni. Wajah ayunya kembali tak terlihat. Bahkan senyum yang dilontarkan perempuan berjilbab pashmina luntur—searah balasan singkat Reni.

            “Kok diam, Van? Benar kan, kamu mau membully-ku lagi.” balas Reni sedikit menyunggingkan bibir. Perempuan bernama Vanilla hanya diam, tanpa membalas perkataan sedikit pun.

            “Sudah, ejek terus saja. Toh kamu kan puas!” lanjut Reni lagi sedikit mencibir. Reni tahu, kalau perempuan disampingnya sedang menthalaah ucapannya barusan, “ada yang mau dibicarakan lagi, gak? Aku sibuk kalau nungguin kamu ngomong.” ujar Reni lagi dengan muka sok judesnya. Vanilla hanya diam, mencerna ucapan perempuan yang masih bertahan duduk di bangku taman.

            “Oh iya, nanti sore Aku gak ikut perkumpulan gila itu. Aku sangat sibuk!” sambung Reni lalu melangkahkan kaki menjauh—menuju kelas Bahasa yang letaknya tak jauh dari taman fakultas.

            “T—ta—pi, Ren!” teriak Vanilla setelah menyadari Reni meninggalkannya, jauh.

            “Dasar perempuan judes, diajak ngomong baik-baik saja gak mau dengerin. Padahal kan niatku baik!” protes Vanilla dalam. Dilihatnya sekitar, taman tampak ramai, dan Reni sudah menghilang, membaur bersama dengan yang lain.

***

            Perempuan berwajah ayu itu terdiam. Nun jauh disana, langit senja telah membentang, menandakan sore kan berganti malam. Para pekerja berhamburan di jalan, memenuhi tiap sudut angkutan umum dan jalanan sempit lainnya. Perempuan berwajah ayu itu pun menunduk, pandangannya jatuh jauh di luar sana, walau pun sesekali menatap langit sore yang menawan.

            Di dekat taman fakultas Bahasa memang terdapat bukit, biasanya para mahasiswa atau masyarakat desa yang tinggal di dekat bukit mengunjungi, sekadar melepaskan penat yang seharian telah membelenggu. Sore ini tampak lengang, hanya ada beberapa orang yang bersantai, satu sepeda tergeletak di dekat pohon, sedangkan pemiliknya tak diketahui ada di mana.

            Perempuan itu adalah Reni. Kedua bola matanya menyapu seluruh taman hingga kembali jatuh pada jalan raya yang masih ramai orang-orang. Seperti hari kemarin, perempuan yang kini mengenakan jilbab biru muda terkagum-kagum pada langit, dilihatnya dalam dan penuh rasa. Walau pun sesekali ingatannya jatuh pada ucapan teman-temannya tentang dirinya yang tak suka membaca.

            Langit masih memancarkan sinar mempesonanya, membuat siapa pun akan terkagum-kagum lantas memuji Sang Pencipta, bahkan mengabadikannya dalam bidikan yang paling sempurna. Pengantar lelah sekaligus pengantar semangat kala semuanya telah menurun. Reni masih menatap langit senja—dalam.

            “Yak Ren, cantik sih cantik. Tapi kok jauh banget dengan namanya membaca ya?” ledek seorang perempuan berkulit sawo matang dengan senyum lebar. Reni hanya tersenyum, pandangannya menyapu perempuan-perempuan lainnya yang tengah duduk melingkar.

            “Coba deh kamu baca satu buku saja. Siapa tahu cantikmu itu nambah!” imbuh yang lain lalu tertawa lebar.

            “Idih, najis kali baca buku. Apalagi baca buku sastra!” timpal yang lain dengan senyum tak kalah lebarnya.

            “Eh jangan gitu dong. Semuanya kan juga perlu proses, ingat kita baru semester satu. Penyesuaian diri terhadap bacaan juga perlu.” sambung Vanilla sedikit melirik kearah Reni yang masih terdiam.

            “Udah puas ngejeknya?” tanya Reni setelah lama terdiam dan mendengarkan ocehan dari teman-temannya. Seketika semuanya terdiam, bahkan ada beberapa yang sempat membulatkan kedua mata seolah tak percaya.

            Reni pun berdiri, lantas memberikan senyum terburuknya dan melangkahkan kaki menjauh—sejauh mungkin.

            Masih di tempat yang sama, Reni bertahan mengamati senja yang telah menguasai cakrawala, kemerlap lampu jalan telah menyala, para pengendara masih bertahan di tengah ramainya kota, lekas mencari celah untuk melaju dan kembali kesinggasana.

            Tanpa terasa kedua bola mata Reni berembun. Padahal pagi belum menyapa, senja masih di depan mata. Tak mendung sama sekali. Kedua bola matanya masih mengamati senja, perlahan butiran bening jatuh mengenai pipi Reni. Wajah ayunya tampak basah air mata bercampur keringat yang terus mengguyur.

            “Benar, cantik tak menjadi jaminan untukku. Cantik tak selamanya bersamaku. Maafkan Aku yang terlalu angkuh, berdiri pada pendirian yang salah. Aku menyesal!” batin Reni. Mata beningnya basah bahkan alirannya semakin deras. Dipandangnya lagi sinar keoranyean di ujung barat. Rasa penyesalan akan sikapnya akhir-akhir ini adalah hal yang salah.

***

            Sore itu telah berlalu jauh. Reni tak lagi menjadi bahan ejekan teman-temannya. Tak lagi menyendiri di sepanjang sore. Kini saban sore di nikmatinya lagi dengan membaca. Membaca buku apapun, walau Reni sebenarnya sangat membenci dengan mem-ba-ca. Vanilla, teman baiknya pun selalu menemaninya menikmati senja di bukit. Lantas bercerita banyak hal tentang buku apapun.

            Sore itu pula Reni dapat membaca senyum langit, bahkan ucapan langit, Langit yang mengajaknya berbicara melalui isyarat sinar yang memukau, membuat Reni terpana hingga menangis dalam. Membuatnya sadar akan hal yang selama ini teramat dibencinya.

Karena menjadi cantik pun tak akan bertahan selamanya, dengan membaca pun cantik akan terasa abadi. Reni menutup buku tebalnya. Lantas kembali memandang langit senja untuk kesekian kalinya. Tak jauh darinya Vanilla pun melakukan hal yang sama.


Seperti langit senja yang tampak selalu menawan dengan hal-hal yang baik, membuat orang-orang yang melihat bahkan menatapnya pun ingat pada Sang Pencipta, melantunkan puji-pujian yang tak terhingga banyaknya. Hingga menawannya sang senja pun abadi sampai nanti.

Komentar