DOA (TAK) SENGAJA DARI KAWAN
DOA (TAK) SENGAJA DARI KAWAN
Oleh:
Amaliya Khamdanah
Pagi
itu di tahun 15, tepat setahun yang lalu di bulan kemerdekaan. Aku akan
bercerita sedikit mengenaimu, tentang buku yang kau kirim pagi itu di tengah
ramainya koridor-koridor kelas.
“Ketika kau hampir jatuh, bukalah
ruang kenangan ke-sekian dari dirimu. Ingatlah bahwasanya kau memiliki tujuan
hingga sampai ditempat yang kau pijak sekarang ini.”—Aksara.
Wajah berseri-seri nampak terpancar dari semua
muka siswa-siswi yang hilir mudik di sepanjang koridor-koridor kelas XII—dua
belas—alangkah bahagianya mereka hari itu. Hal itu lebih baik bukan daripada
harus memasang muka masam di pagi hari? Aku hanya mengamati sekitar,
pandanganku meloncat kesana-kemari, entah berawal dari mana dan terhenti di
mana. Dari sudut selatan adalah ruang guru, sudut timur barisan kelas
XI—sebelas—dan barisan utara adalah bangunan laboratorium, pandanganku terhenti
pada rumput-rumput liar yang tumbuh di lapangan utama, di setiap sudut
rumput-rumput tersebut terdapat setetes embun yang siap meluncur mengenai
tanah. Alhamdulillah, hidup ini sangat
indah.
Setidaknya
setelah pandanganku terhenti pada rumput-rumput liar tersebut pun, aku sedikit
berpikir untuk tidak mudah patah semangat. Mengapa? Cobalah perhatikan sejenak
rumut-rumput liar tersebut. Saat mereka sudah mencapai ketinggian tiga-empat
cm, mereka akan segera dipangkas, tapi lambat laun rumput-rumput tersebut
kembali tumbuh—bangkit.
Aku
masih ingat jelas pagi di tahun 15 itu, semua warga madrasah mengenakan batik
dengan corak warna hitam putih. Pagi itu sudah ramai, karena hitungan menit
lagi gerbang utama segera ditutup. Segera bergegas memasuki kelas dan
menyiapkan beberapa buku pelajaran adalah solusi jitu, pintu kelas tertutup
rapat, karena hal itulah kebiasaan semua kelas.
Suara
ketukan pintu terulang beberapa kali, aku hanya acuh menatap pintu itu, kembali
membaca beberapa tulisan di papan tulis yang belum sempat terhapus. Tak
kusangka seseorang dari luar menarik lenganku, dan membawaku kembali keluar
kelas. Asem!—umpatan dalam bahasa
Jawa Ngoko yang agak kasar tapi sudah menjadi kebiasaan—Aku melihatnya,
seseorang yang menarik lenganku tertawa lepas secara berasamaan. Aku yang tak
mengerti apa-apa hanya mampu memasang muka plengeh di depan mereka, tawa mereka semakin
membuncah hingga salah satu dari mereka mengeluarkan kresek—kantong
plastik—berwarna putih padaku.
“Selamat tambah tua ya!”
ucap mereka beriringan. Senyum lebar sepuluh senti terlontar kearahku, aku
menatapnya lantas ikut-ikutan tertawa. Iya, seakan pagi itu adalah pagi
terbodoh yang kualami.
“Maaf dengan sengaja kami
mendiamkanmu. Salah kamu sih jadi
orang gak peka banget, di diemin temen
sendiri aja malah ganti diemin!” ucapnya seketika,
tangan kananya bak petir menyambar dengan kecepatan seperti cahaya ia menjitak
kepalaku penuh kebahagiaan. Ah suuudahlah!
***
“Jangan novel, dia terlalu banyak
mengoleksi novel!” ia menolak mentah-mentah. “lihatlah, koleksinya melunjak pada novel,
tak asik jika kita memberi surprise yang sama dengan yang biasa dia beli.”
lanjutnya penuh semangat. Sungguh, Aku
bisa membayangkan rupanya saat beradu argumen mengenai hal itu.
“Sejenis Koala Kumal?”
tanya yang satunya. Ia lagi-lagi menolak mentah-mentah. Seketika keheningan
diantara mereka berdua terjadi, iya walau pun hanya beberapa detik saja.
“Yaudah cari buku yang beda aja.”
“Buku apa? Sejenis motivasi?”
“Udah cariin buku itu lho. Ah itu,
buku donor darah aja!”
“Haah, buku donor darah? Maksudmu
buku golongan darah?”
“Ah iya maksudku itu. Hahaaa”
***
Simple
Thinking About Blood Type, adalah judul bukunya. Kukira bungkusan dalam
kertas kado bermotif sederhana itu adalah novel. Dugaanku salah! Aku tersenyum mendapati buku
gratis tersebut, sebelumnya dalam hati pernah berpikir untuk membeli buku (sedikit)
tebal itu, tapi setelah melihat kantong mengalami kekosongan isi, niat (baik)
itu kuurungkan.
Di
dalam kertas kado sederhana itu terdapat tulisan singat sebagai penghantar, aku
ingat tulisannya: “Tetap menjadi saudara,
ya kawan :)” segera ku-amiini, semoga para penghuni langit juga mendengar
doa sederhana pada kertas itu.
Lain
harinya, aku bertemu padanya, ia terkekeh geli melihatku, lantas memukul pelan
lenganku, aku pun sama, bahkan kala itu aku segera membalas dendam dengan
menjitak kepalanya. Kita imbang kawan!
Kau tahu, apa saja isi dari buku Simple Thinking About Blood Type? Jelas,
buku tersebut berisi menganai karakter dari empat gologan darah di dunia—A, B,
O dan AB. Ditulis oleh orang Korea Selatan bernama Park Dong Sun. berdasarkan
kata pengantarnya, penulis sering menghabiskan waktu untuk mengamati dan
bergaul dengan masyarakat luas. Nah, melalui hal tersebut Park Dong Sun menulis
dan manggambarkannya, hingga jadilah buku seperti sekarang.
Aku
sangat bersyukur sekali, setidaknya melalui buku Simple Thinking About Blood Type ini, aku bisa sedikit memahami
sebuah perbedaan, baik pendapat maupun tingkah laku. Dan memahami karakter
orang lain walau pun tidak semuanya yang ada di buku benar. Bahkan saat
membacanya pun mengakibatkan diri bisa tertawa lepas saat melihat gambar yang
berpadu lucu dengan ucapan. Gambarnya, seperti
alien!
Di
hari-hari selanjutnya, buku tersebut selalu kubaca guna segera mengkhatamkan
dan mencari buku lainnya. Di hari-hari selanjutnya pula buku tersebut sering
dibaca banyak teman, katanya mencocokkan dengan kepribadiannya, tak jarang pula
teman lainnya juga membacakan dan yang lain hanya menyimak lantas tertawa.
Di
tahun selanjutnya tak kudapati hal seperti itu, karena kita sudah berpisah
tempat untuk menimba ilmu. Namun, buku sederhana itu masih sering kubaca walau
pun sebenarnya hanya melihat gambar. Hehehee.
Kau
tahu di tahun 16 ini? Aku lebih mendalami lagi buku-buku yang lebih berat dari
buku Simple
Thinking About Blood Type yang jauh dari gambar. Sepertinya buku tahun lalu
ini adalah doa (tak) sengaja dari kawan baikku yang tak sempat tersampaikan
lewat lisan. Kawan, dengarlah doa-doamu
mujarab hingga menembus ‘Arsy! Mungkin di luar sana, lebih banyak lagi doa-doa
baik yang terpanjatkan untuk kawan baik pula.
Kembalilah keluar ruang ke-sekian
tersebut, kuncilah rapat ruang tersebut. Segara bergegaslah kembali di tempat
yang kau pijak tadi, semoga kenangan itu membangkitkanmu di masa kini.
Semoga dapat mengambil inti sarinya, kawan! __/|\__
“Kita semua
berbeda satu sama lain, kerana itu, kita harus memahami satu sama lain.”—Park
Dong Sun (2009)
Komentar
Posting Komentar