BELAJAR DARI BEKICOT


BELAJAR DARI BEKICOT
Oleh: Amaliya Khamdanah

Satu perjalanan yang dapat kita petik dari sebuah kisah nyata yang tak pernah kita duga sebelumnya. Satu dari sekian makhluk hidup yang tak pernah kita duga kehadirannya.

Setiap hari makhluk kecil nan mungil ini selalu melakukan safar  (perjalanan).  seperti yang dilakukan para musafir di zaman nabi terdahulu, menempuh jarak ribuan kilometer  dengan penuh semangat.

Suatu ketika, sang bekicot terhenti disebuah desa  yang sangat makmur. Kemudian sang bekicot kembali melakukan perjalanan memasuki desa itu, di kanan kiri jalan terdapat rumah penduduk yang megah dan hamparan sawah nan hijau. Sang bekicotpun berbisik dalam hati, “Alangkah bahagianya jika aku tercipta sebagai manusia, tetapi kenapa Allah menciptakanku dalam wujud seperti ini? Apa maksudnya?”

Sang bakicot kembali melangkah, namun beberapa menit kemudian ia terhenti di sawah. Ia berfikir akan makan dari tumbuhan hijau yang ada dihadapannya, tetapi tak disangka seorang petani datang menghampirinya, dan mengomel habis-habisan, “Kau adalah perusak tanaman padiku! Kau hama yang wajib dimusnahkan dan sama sekali tak ada manfaatnya!” Petani  tersebutpun melempar bekicot jauh-jauh dari sawahnya. 

Sang bekicot sedikit terpukul atas ucapan petani. Sang bekicotpun hanya terdiam. Sang bekicot kembali melakukan perjalanannya, karena merasa letih ia pun terhenti di depan rumah yang megah. Sang bekicotpun mengeluh, “Kenapa Allah menciptakan rumah dipunggungku? Aku letih jika setiap hari terus membawanya. Tetapi lihatlah manusia, mereka besar tetapi dipunggyngnya tidak ada rumah. Sedangkan aku sangat kecil dan rumahku selalu dipunggungku!”  Perlahan airmata langit pun jatuh di kala sore menyapa. Saat sang bekicot bergegas mencari tempat perlindungan, tetapi ia ingat kemanapun ia pergi, ia selalu membawa rumahnya. Jadi tanpa pikir panjang sang bekicot bergegas memasuki rumahnya. Ia mengintip dari dalam dan berkata, “Jika aku manusia, aku tidak dapat berlindung dari hujan yang datang tiba-tiba.” Sang bekicot kembali terdiam. Tak jauh dari ia berdiri. Sang bekicot mendengar kicauan suara manusia yang mengeluh,

 “Sepertinya memang hidup ini tak adil!”
“Maklum saja jika dia pintar, dia anak orang kaya.”
Tak pantaskah aku hidup jika terus menerus sakit, hartaku bisa habis.”      

Perkataan tiga manusia tadi seakan saling berhubungan. Sang bekicotpun tersenyum menatap langit sisa hujan. “Aku tahu kenapa engkau menciptakanku seperti ini.” Ia pun kembali tersenyum, seraya melantunkan kalimat suci.

“Langit yang  tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak satupun melainkan bertasbih dan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Isra’  44)

Bukankah kita sebagai makhluk Allah harus selalu bersyukur? Bersyukur atas segala-galanya. Bukankah kita di ciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya? Lantas kenapa kita tidak bisa bersyukur atas segaka nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Yakinlah, sekecil apapun cobaan yang telah Allah berikan kepada kita, pasti ada hikmah yang tersembunyi didalamnya. Lantas masih pantaskah kita untuk mengeluh?

“Nikmat-Nya yang manakah yang kau dustakan, jika kau bernafas dengan udarnya... Nikmat-Nya yang manakah yang akan kau dustakan, jika engkau hidup dengan rizki-Nya... Nikmat-Nya yang manakah yang akan kau dustakan, takkan ada...” (Takkan Ada—Agus Idwar)



Di atas adalah wujud asli  tulisan, "Belajar dari Bekicot" yang saya tulis tahun 2015 silam. Di tugaskan untuk mengisi kolom Renungan di majalah madrasah edisi ke-13. 
Sebelumnya berbagai pengamatan di lingkungan madrasah dilakukan, baik mengamati pohon mangga yang tumbuh di taman, rumput-rumput liar yang tumbuh di tengah lapangan, bahkan bekicot-bekicot yang hidup di dekat selokan pun. Di sisi lain masukan dari teman pun menjadi pertimbangan baik. Hingga akhirnya sampailah pada tulisan sederhana ini pada tangan editor, dan resmi di cetak, dan abadi dalam majalah madrasah.
*Repost, Renungan Majalah La Tansa edisi-13, MAN 2 Semarang. Mei, 2015. 
Selamat Membaca :) 

Komentar