SEBATAS JALAN KENANGAN



SEBATAS JALAN KENANGAN
Oleh: Amaliya Khamdanah

            Ini tahun berapa? Sudah lama aku tidak menuliskan sesuatu untukmu. Lamanya tidak terlalu lama, hanya saja ‘lama’ itu telah menumbuhkan rasa rinduku padamu. Iya, walau pun rasa rindu itu baru sebiji sawi.

Kali ini, ada secercah rasa yang sulit tuk kuungkapkan. Bukan sebuah rasa cinta terhadap seseorang, bukan pula rasa rindu seseorang, yang kini ada dalam bayanganmu  adalah orang yang spesial. Bukan, tentu bukan.       Ini berbeda. Silakan kau membacanya kata demi kata, paragraf demi paragraf, hingga kau kan terbawa suasana ‘rindu’ pada yang telah lalu.

***

Semuanya bermuara pada kau. Jalan raya penghubung yang ramainya melebihi pasar di mana pun. Hanya saja tak ada aktivitas berjualan di dalamnya. Berbagai jenis kendaraan bermotor pun memenuhi jalan. Dari ujung timur sampai barat, ujung selatan ke utara pun sama. Ramai. Orang-orang pejalan kaki pun tak kalah banyaknya, termasuk aku dan kau saat itu.

Rompi kebanggaan kami kenakan. Seakan-akan kami memakai kaos couple ala pasangan muda-mudi zaman kekinian sekarang. Aiiih. Padahal yang kami kenakan saat itu hanya seragam osis madrasah berbalut rompi warna bitu tua dengan desain yang simpel. Identitas kami kalungkan di masing-masing kepunyaan kami. Terdapat foto dan nama kami sebagai pers madrasah. Iya, kami adalah pers madrasah. Namaku dan namamu terpapang jelas di bawah pas foto. Jujur, aku sangat bangga mengenakan  atribut itu. Bahkan jika Tuhan mengizinkan waktu boleh di ulang kembali, salah satunya aku ingin meminta “putarlah saat itu”.

Semarang, 16 Juni 2015

 Diantara puluhan manusia yang melewati jalan itu, kami adalah salah duanya.  Menapaki jalan beraspal dengan jalan kaki. Berjalan tak tentu arah menuju tempat lain yang di maksud.

Namanya jalan Pemuda. Mengapa begitu? Entahlah, yang pasti dahulu di tempat ini banyak sekali sejarahnya. Salah satunya Gereja Blenduk yang ada di Kota Lama Semarang. Jalan Pemuda, penghubung antara pasar Johar dengan Balaikota—gedung pemerintahan kota Semarang. Sepanjang jalan itu, sepanjang pula kenangan di tempat itu.

Saat itu, kami hilir mudik mencari angkutan menuju tempat itu—balaikota—apa pun, asal kami sampai tujuan. Seseorang menyarankan kami agar menaiki BRT—Bis Rapid Trans Semarang namanya, masyarakat menyebutnya Bis Trans Semarang. Kami menunggu bis umum itu di halte—suatu tempat untuk menunggu yang tingginya berbeda dengan sekitar, kisaran 50 cm—kami berdiri dan saling tatap. Saat itu dalam benak kami adalah, “aku belum pernah naik bis ini. Gimana kalau kita nyasar?”

Yang ditunggu pun datang. Kami segera menaiki, menuju tempat yang dimaksud. Saat itu kami tak kebagian kursi, lantas kami berdiri sampai tujuan. Saat itu kami tidak lelah, anggapan kami hanya satu, melihat kota Semarang walau seperempatnya (belum ada). Sepanjang jalan kami hanya saling diam, hanya isyarat mata yang kami gunakan lantas tertawa. Lihatlah sekeliling! Kelokan jalan dan bundaran kecil menjadi hal biasa di jalan ini. Sehingga bagi penumpang yang berdiri pun kan merasakan goyangan khas BRT.

Halte selanjutnya kami turun, harus melangkah beberapa meter lagi untuk sampai di gerbang balaikota. Ramai. Banyak sekali orang-orang disekitaran balaikota, maklum hari itu adalah acara tahunan penting di kota Atlas ini. Masyarakat menyebutnya Warak Ngendok—acara tahunan di kota Semarang guna penyambutan bulan suci ramadhan.

Disana banyak sekali macam orang, baik kaya maupun belum beruntung pun berkumpul jadi satu, melebur jadi satu guna memperingati acara itu, masyarakat Semarang yang setara. Dari kalangan orang tua, remaja, perkumpulan atau organisasi kecamatan, siswa-siswi se-kota Semarang, bahkan anak-anak pun juga ada. Halaman balaikota pun penuh. Di samping gedung utama terdapat panggung, penampilan beberapa artis kota pun ada, sayang kami tidak liputan untuk hal itu.

Singkat cerita. Saat itu kami berlarian kesana kemari mencari suaka perlindungan dibawah komando, namun sayang, kami dituntut mandiri, berdiri sendiri tanpa arahan siapapun. Yang ada hanya untaian nasihat guru yang terngiang-ngiang selalu di telinga kami, “jangan takut, kau seorang jurnalis, ilangi gembengmu.[1]” Layaknya jurnalis professional, kami bergelagat ‘sok tahu’ akan hal ini, dengan memasang muka sok cuek pada siapapun yang melihat penampilan kami yang acak-acakan, dan tak tentu arah. Kamera kami tenteng kesana kemari, yang pada ujung-ujungnya kamilah yang narsis dengan kamera itu. Kami sadar akhirnya, kami tak seprofesional itu, kami hanya menjalankan kesengan kami, lusa atau beberapa jam kemudian ada hadiah ‘foto bareng’ yang menimpa kami adalah suatu keberuntungan kami.




Balaikota sangat khas bangunannya dengan gaya arsitektur khas Belanda. Sepertinya bangunan ini adalah peninggalan Belanda dulu sewaktu menjajah Indonesia. Lihat saja, tiang-tiangnya yang berdiameter besar dan tinggi, seperti bangunan kuno Belanda di negeranya, ditambah pewarnaan pada dindingnya terkesan sangat tua, dan hal ini menjadikan balaikota terkesan artistik. Sayangnya langkah kami hanya mampu berjalan di emperan-emperan gedung, tidak sampai menginjakkan kaki kedalam gedung.

Saat itu, kami seperti dua anak hilang yang sedang mencari induknya. Untunglah, ada pasukan pengibar bendera yang menemani, iya walau pun tidak semuanya. Setidaknya kami tak merasa sendiri.

Kami mengamati sekitar. Aku, kau, dia, dan dirinya saat itu. Kami melangkah bersamaan. Aku sengaja berjalan paling belakang diantara kita. Iya, sengaja. Karena apa? Hanya ingin mengamati lebih dalam mengenai balaikota, memungkinkan untukku untuk mendapat inspirasi dari tempat ini. Iya, walau pun inspirasi itu muncul setelah dua tahun berlalu.




Sepanjang langkah kami, kuamati sekitar. Tiang-tiang yang menjulang tinggi nan kokoh sekokoh penjajahan dulu, jendela-jendela besar menjulang tinggi, setinggi semangat para pahlawan dahulu, cat dinding yang terkesan lama, seakan membawa pada masa lampau, ada getaran-getaran yang kan menyentuh hati.

 Aku sempat berpikir, “lusa atau kapankah itu dapatkah aku kembali lagi kesini? Walaupun hanya sekedar melewati jalan menuju balaikota, menyaksikan warak ngendok, atau bahkan peliputan lagi disini?” kenyataannya iya. Aku kembali melewati jalan menuju balaikota ini, bahkan setiap hari ketika ku menuju tempat sacral akan ilmu. Kau tahu selama perjalanan di sepanjang jalan itu terbesit dalam benakku, sebuah kisah yang takkan pernah kembali lagi.

 Setiap melewati tempat itu, aku selalu mengingatnya. Bukan berarti aku selalu baper ketika sampai di tempat itu. Bukan. Di setiap sudut tempat itu kini terlihat nyata bayangannya. Bahkan aroma khas siang itu menyerbak, menyapaku lalu bertanya padaku, “kau tak lupa padaku kan?” Aku mengangguk seolah semua kisah hari itu tak secuilpun kulupakan.

Sepanjang jalan itu pun aku selalu berguman. Entah, apa pun itu. Bisa jadi saat kuingat ketika kau berlari mendahuluiku karena mengejar kereta kuda, lantas terhenti menungguku yang kalah telak berlari denganmu, atau aku yang telah berlari jauh disana lantas terhenti menunggumu dengan kamera saku. Atau, selalu tertawa saat kami merasa diri sendiri banyak yang memperhatikan dengan rentetan gigi kami yang berjejer rapi akan kesilauan siang itu, lantas berdesak-desakkan dengan orang-orang, mungkin saat berfoto di trotoar jalan dengan background kontruksi gedung yang sampai saat ini belum jadi, dan mungkin tentang jalan bersama dengan tawa, cekikian lantas cerita ngalor-ngidul tentang apa saja sampai lupa tujuan hendak kemana kami?

Ada lagi, atau saat kami berhenti dan bertanya, “kami akan meliput acara ini.” Lantas ditolak mentah-mentah karena kami hanya abal-abal dan perusak acara. Kami diam dan patah—patah hati pun—langkah kami lemah tak berdaya, sisa minum hanya tinggal setetes tak memungkinkan untuk kami. Kami tetap berjalan. Menapaki langkah di tempat selain itu—masjid Agung Kauman Semarang—kedua bola mata kami memutar, mencari-cari sesuatu, memikirkan cara. Sempat ada adu tembakan omong antara kami, hingga akhirnya kami saling berdiam diri menatap mengahnya Mustaka Masjid Kauman.

Hingga putus asa pun menyapa. Jalan desa Kauman menjadi cerita, aspal panas menjadi bukti kami yang sempat terhenti langkah saat tak mendapatkan incaran utama. Kami melangkah menjauh, majalah tergeletak. Hingga kami sadar sesuatu hal yang kami inginkan haruslah perjuangankan.

Bukan hanya di balaikota Semarang, sepanjang jalan Pemuda bahkan sepanjang jalan di Kauman itu, Masjid bersejarah di Kauman itu pun adalah satu kisah yang indah, penuh kenangan. Satu kisah dengan tempat berbeda sekalipun, rangkaian kisah yang lusa kan menjadi kenangan terhebat di mana pun dan kapan pun.

Bukankah kau juga seperti itu? Ketika kau melewati jalan yang sama, berwisata kesuatu tempat, atau memang tempat itu adalah keseharianmu (read: sekolahan, pasar, took, organisasi, pabrik, rumah) dengan kisah indahmu dulu kau selalu ingin kembali pada masa itu, bahkan ada sekelebat bayangan atau bahkan embusan angin yang menyapamu, ia adalah kenangan.

Aku sama. Ketika melewati jalan dan dulu pernah ada kisah di tempat itu pun kenangan selalu menyapa. Sayang, sekarang bukan dahulu. Di sepanjang jalan yang sama dengan kenangan yang berbeda. Kini, jalan itu hanyalah sebatas jalan kenangan yang takkan pernah sirna… J

Cc: Riska Oktaviyani, Paskibra: M. Kurnia Sandy, Lilik Indriyani, Angga Dwi P, Qurrotul Aini, dkk.

Demak, 22 September 2016



[1]Hilangkan cengenngmu.

Komentar