CINTA DALAM AKSARA
CINTA DALAM AKSARA
@AmaliyaKh7
Sejak kapan kau menyukai puisi?
Sejak aku mengenalmu dan
mencintaimu dalam diamku.
***
Ia menatap langkah puluhan pasang sepatu yang lalu lalang
dihadapannya, ia berjalan sambil merundukkan kepala. Ia memejamkan mata,
khayalan, mimpi, angan, harapan, rindu saling bertabrakan menghancurkan suasana
pagi yang indah. Ia kembali membuka matanya, “Aku merindukanmu,” lirihnya pada
hati yang kritis rindu.
“Rezaa!” teriak seseorang dari kejauhan.
Ia
yang tak lain adalah Reza mengenal suara itu. Eva! teriaknya dalam hati. Reza menghentikan langkahnya, berusaha
menunggu dan mengendalikan detak jantungnya yang semakin tak menentu.
Eva
tersenyum. Aih dunia ini sangat indah! Reza terpaku sesaat. Dalam hitungan
detik ia berbalas senyum.
“Kenapa?
Mau bareng lagi masuk kelasnya? Atau takut dijewer guru lagi?” ledek Reza tak
tentu arah. Disisi lain, debar-debar dalam hati Reza juga semakin tak
menenentu. Ia salah tingkah seketika.
“Haha,
kau ini.” ucapnya memukul pelan tas ransel milik Reza yang masih dipunggungnya.
“Oh
iya Aku hamper lupa.” ucapnya lagi sembari membuka tas ransel miliknya.
Apa? Dia mau ngasih apa ke aku?
Kenapa suasana sekolah semakin ramai saja. Aku merasa asing berdiri
disampingnya. Ah, lupakan!
Tegagap-gagap
dalam batinnya, tetepi raut mukanya datar seperti biasanya. Hatinya masih saja
tak menentu, pikirannya pun ikut-ikutan tak menentu. Untung kesehariannya super
cuek dan judes kepada siapa pun. Eva? entah.
“Kemarin
aku ke gramedia, aku menemukan buku kumpulan puisi ini. Eh tiba-tiba keinget
Reza aja.” Ucapnya lagi menahan tawa.
“Eeeeh,
kamu keinget aku?” balas Reza tergagap-gagap seolah tak percaya.
“Hei,
apa harus aku ulangi lagi, Za? Iya aku keinget kamu!” teriaknya cepat dan tepat
di telinga Reza. Reza sempat terkejut dan membetulkan kacamatanya. Eva masih
tertawa melihat ekspresi Reza yang hamper tak percaya.
Suasana
koridor-koridor kelas semakin ramai, seperti pasar Legi di Bangetayu minggu
lalu. Ditambah bel masuk yang berbunyi nyaring, ramainya bukan main. Mereka
segera memasuki kelas. Kelas jurusan ilmu sosial yang terkenal akan
solidaritasnya.
Reza
duduk dibangku barisan belakang. Tangannya masih menggenggam buku kumpulan
puisi yang diberikan Eva beberapa menit yang lalu, “99 Mutiara Rindu.”
lirihnya. Reza memendang lekat cover buku itu, membukanya perlahan dan
merasakan hembusan angin yang tercipta diantara lembaran-lembaran buku. Ah kenapa harus rindu yang ada pada buku
kumpulan puisi ini. Apa dia sedang membaca pikiranku yang sedang terkena kritis
rindu pada seseorang entah siapa? Ah Eva, kau benar-benar…
“Edyan! Anyar wi, Za?1” ucap seseorang membuat Reza terkejut. Logat
Jawa ngoko menjadi khas bahasa sehari-hari di kota Semarang, terutama pada
teman sebaya.
“Eh awakmu to. Heeh iki anyar. Piye meh
jileh?2”
“Hahaa, ogak males. Luwih penak PSan, Za,
dari pada moco buku. Sek-sek iki judule opo?3” cerocos Ahmad
lalu mengambil alih buku yang ada dalam genggaman Reza.
“99 Mutiara Rindu. Apik ki, Za! Pas banget
gawe awakmu sing nembe mendem rindu kero cah kae. Haha!4” lanjut
Ahmad lagi, memberikan kode mata kearah Eva yang sedang duduk dibarisan paling
depan. Reza membalasnya dengan tersenyum. Ah
lagi-lagi kebawa omongan Ahmad. Jadi bawa perasaan membaca bukunya.
“Eva
Raindra Rahma.” batin Reza menatap halaman awal buku tersebut, “Tulisannya
terlihat rapi, indah sekali.” batin Reza lagi. Ia menatap lekat tulisan itu,
dari huruf awal E hingga huruf vokal
terakhir, A. Tertulis Semarang, 13 Desember 2015, “Berarti Eva
membelinya hari minggu kemarin. Apa dia sudah membacanya?”
***
“Fik, dicari adikmu tuh!” teriak salah
seorang dari ambang pintu kelas. Manusia yang dipanggil Fikri itu pun
menoleh, mencari sosok manusia lain yang dimaksud.
1.
Gila, itu baru, Za?
2.
Eh kamu ya, iya ini
baru. bagaimana mau pinjam?
3.
Haha, tidak ah, malas.
enakan main PS, Za dari pad abaca buku. Bentar-bentar ini judulnya apa?
4.
99 Mutiara Rindu, bagus
nih Za! Pas benget buat kamu yang sedang memendam rindu sama dia. Haha!
“Eva?” lirihnya menelan ludah. Yang dimaksud pun
tersenyum. Fikri sedikit kikuk. Sudah seminggu ia hilang kontak dengannya.
Biasanya pesan singkat, telpon, bbm, line, bahkan dolan bareng pun sering.
“Fik, eh maksudnya kak Fikri, Aku punya ini
untukmu.” ucapnya mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.
Fikri terdiam, menatap buku yang ada dihadapannya.
“Eeeeh, apa ini dik?” balas Fikri pelan dan tak mengerti.
“Kak Fikri baca aja. Nanti bakal suka.” ucap Eva, ditutup dengan senyuman.
“Eh, kamu menang lomba nulis lagi?” Tanya Fikri semakin
tak mengerti. Bodohnya, orang yang diajak bicara malah nyelonong pergi tanpa
permisi, hilang bersama manusia-manusia lain yang hendak menikmati istirahat
disela jam pelejaran. Ah, apa yang
sebenarnya dia mau? Mendiamkanku hamper seminggu tanpa kabar pula, dan
tiba-tiba member buku padaku? Dia menang lomba lagi? Lomba berebut mengisi
hatiku? Haha… Bodoh!
Fikri melengkah menuju tempat duduknya, senyum-senyum
sendiri seperti orang gila. Manusia-manusia penghuni kelas jurusan Alam 3 pun
menetap Fikri heran. Sedangkan Fikri
masih seperti tadi, senyum-senyum macam orang gila.
“Fikri dimabuk sastra! Gosipnya dia tetep memilih
mencintai sastra Indonesia sampai kapan pun, walau banyak cewek-cewek yang
berusaha mendekatinya!” certus seorang murid perempuan di bangku pojok.
“Katanya juga, Adik kelas banyak yang mengejarnya, tapi
tetap saja sastra Indonesia menjadi cinta sejatinya.” tambah murid lainnya,
geng gossip panasan.
“Faktanya lagi, Adik kelas banyak nembak dia, tapi
ditolak mentah-mentah! Tahu apa alasannya? Ngejar mimpi!” tandas yang lain
penuh semangat.
Kelas jurusan Alam 3 pun ramai membicarakann Fikri, jadi tranding topic guys! Yang namanya Fikri
pun hanya senyum-senyum tanpa dosa, membaca halaman perhalaman buku fiksi yang
diberikan Adiknya waktu istirahat tadi. Gosip dan fakta yang berterbangan
beredar cepat keseluruh penjuru kalas Alam 3. Ia tetap tenang, tak
menanggapinya, paling juga hanya senyum,
atau ‘Oh’ yang ia lontarkan.
Adiknya? Sebenarnya bukan Adik kandungnya, bahkan bukan
pula Adik saudaranya. Mereka sepantaran, sama-sama anak kelas XII SMA yang
sayangnya beda jurusan.
Cinta dalam Aksara #2
Cinta dalam Aksara #2
Komentar
Posting Komentar