BELAJAR DARI MASA LALU (Vers. 2)
BELAJAR DARI MASA LALU
Oleh: Amaliya Khamdanah
“Ku belajar dari kesalahan hidupku,
dari lelahnya masa lalu. Agar ku bisa kembali membuka mataku…” –Muezza, Belajar
dari Kesalahan.
Ia menatap langit biru, tak ada
teman pagi ini. Tempat sakral menuntut ilmu masih legang, belum ramai jika jam
tujuh tepat. Hijaunya pepohonan yang berada di sepanjang tepi lapangan sangatlah rimbun, membuatnya semakin
terdiam, enggan rasanya tuk beranjak dari singgasana yang telah membuat hatinya
tenang dan damai.
Ia masih terdiam, menatap
rumput-rumput lapangan dan embun pagi yang saling bercengkrama bersama kicauan
burung. Pelahan, secercah sinar mentari
pagi telah menyapa, mencoba memesuki celah-celah dedaunan yang rimbun itu,
angin berembus pelan bahkan sangat bersahabat.
Ia lagi-lagi masih terdiam. Namun siapa sangka, kali ini
pikirannya telah menjalar kesana kemari seperti akar-akar rumput yang tumbuh di
lapangan. Berita tadi pagi, ulasan sejarah masa kerajaan Hindu-Budha di
Nusantara, Atlantis yang hilang dan kini masih simpang siur, pembegalan,
perampokan, narkoba, bahkan anak sekolah tawuran, dan tak lupa para petinggi
negeri yang selalu mencari sensasi dengan korupsi. Untung hanya itu, tidak
sampai pada berita cintanya yang harus
putus ditengah jalan seperti yang ia alami seminggu yang lalu. Cinta kandas ia pun diam, hampir setengah hati mau mati,
untung saja dukun tak ia kerahkan, bahkan arak tak diminumnya. Ia masih punya akal sehat!
“14,4 juta remaja Indonesia pernah
konsumsi miras. Mungkin bukan hanya miras saja yang dikonsumsi tapi narkoba,
ekstasi, dan sebangsanya pun juga dikonsumsi. Aih, menjijikan sekali!”
lirihnya, “kenapa jika putus cinta mengakibatkan remajanya seperti itu?” Ia
berbicara pada hatinya sendiri. Berusaha mencari jawaban atas pikirannya yang
masih kesana kemari, angin masih bersahabat dengan embusannya.
“Majapahit pernah menguasai hampir
seluruh Nusantara dan Asia Tenggara. Sumpah Patih Gajah Mada mempersatukan Nusantara dibawah
panji-panji Majapahit.” lirihnya lagi pada hati. Tempat sakral akan ilmu masih
legang, jarum jam belum menunjuk angka tujuh. Ia termenung. Maklum saja, ia
adalah siswa jurusan kelas sosial yang tengah dirundung kegalauan, menurutnya
etis sekali jika disangkut pautkan dengan hal-hal masa lalu.
Ia menepuk pelan jidadnya, merasa
bahwa telah melakukan kesalahan akhir-akhir ini. Yups, hampir mati ketika ia
diputuskan oleh sang kekasih. Kini ia beralih memandang secercah cahaya mentari
dicelah-celah dedaunan.
“Bung Karno, bung Hatta, bung Tomo,
Jendral Soedirman dan pahlawan lainnya rela mati untuk bumi pertiwi, merebut
dari tangan para penjajah.” lirihnya
untuk ketiga kalinya, diakhir perkataannya ia menelan ludah. Tak percaya,
menyesal, ia rasakan. Hatinya pun berdesis, “Aneh sekali jika Aku harus galau
karena di putus pacar. Lantas? Sedangkan Aku adalah pelajar, yang harus giat
belajar.”
Ia
bergumam lagi, semakin lama argumen-argumen dalam otaknya terkumpul, membentuk
rangkaian kata yang menurutnya tepat menjadi alasan. Kenapa Aku harus begalau ria? Padahal Allah telah menyelamatkanku,
menyadarkanku? Secercah sinar mentari nampak memasuki celah-celah dedaunan, terlihat menyilaukan, layaknya
sebuah mimpi yang harus ia gapai. “Baiklah, Aku akan akan bangkit. Tak ada
gunanya untukku bergalau ria dalam kesedihan, sangat menyiksa. Menjadi generasi
cerdas untuk Negeriku. Belajar dari masa lalu.” Ia pun tersenyum.
Baca juga di web; http://www.storial.co/book/belajar-dari-masa-lalu
Komentar
Posting Komentar