[BUKU] TEMBAKAU, KENANGAN, DAN GADIS KRETEK

Menjelang akhir September sengaja buka iPusnas karena suatu keperluan—meminjam buku—setelah sekian hari tidak membuka aplikasi perpustakaan digital tersebut. Cek notifikasi, ada beberapa buku incaran yang sudah 'ada stok'. Aku cek satu per satu. Bukunya Eyang Carl G. Jung yang Mencari Kedamaian Jiwa masih tersedia satu buku. Lanjut lagi. Eh? Seperti mimpi, salah satu novel yang naik daun ini masih tersedia satu buku. Iya, novel Gadis Kretek. Whaaaa! Cepat-cepat meminjam karena takut keduluan orang lain. Alhamdulillah, memang rezekiku untuk meminjam buku tersebut. Setelah satu hari mengendap di iPusnas, Jumat siang kuputuskan untuk membacanya. Sebenarnya agak eman kalau dibaca sekali duduk, tapi, seketika ingat, kalau antrean panjang untuk membaca novel ini sangatlah tak wajar. Sekelas bacaan novel, biasanya kuhabiskan dalam satu minggu, kadang bisa lebih. Namun, Gadis Kretek berbeda, satu hari langsung khatam! Haha. Apa karena pinjam, ya? Digital, kan.

GADIS KRETEK, menjadi novel history-fiction yang kubaca di penghujung September. Aku tidak menyangka, novel ini sarat akan sejarah. Salah satu genre yang masih jadi favoritku!

Gadis Kretek karya Ratih Kumala, terbit pertama kali pada tahun 2012 di Gramedia Pustaka Utama, dengan tebal 288 halaman. Sepertinya tiga kali ganti cover, dua kali berwarna merah, dan terakhir biru. Tapi, gambar utama seorang perempuan berkebaya masih utuh, menjadi ciri khas novel ini. Kabarnya, Gadis Kretek akan alihwana ke series dan tayang di Netflix Indonesia. Kapan, ya? Semoga segera, deh. Ayo kita tunggu.

Novel berlatar tempat di Jawa Tengah, tanpa menyebut jelas nama kota/kabupaten, hanya tersirat sebagai Kota M. Kota ini menjadi cerita panjang kretek yang terkenal. Gadis Kretek menggunakan dua sudut pandang berbeda; aku sebagai tokoh bernama Lebas, dan tokoh serba tahu. Sudut pandang Lebas akan membawa kita pada kisah masa sekarang, Djagad Raja yang menjadi kretek terkenal. Menuju bab dua, kita akan mulai menebak-nebak ke mana arah konflik ini mengalir. Tapi, ya, begitulah, seperti yang diharapkan dari novel history-fiction, arahnya tidak tentu, tapi, akan tetap membuat penasaran sampai akhir. Aku sempat kebingungan ketika mengingat nama-nama merek kretek dalam novel ini. Banyak sekali yang mirip, bahkan, nama-nama tokoh yang menggunakan ejaan lama—yang kalau bacanya kurang serius, dirasa akan sama. Soe dan Soe lainnya. Haha.

Idroes Moeria dan Soedjagad menjadi teman masa kecil. Mereka bekerja di tempat yang sama, sebagai buruh pelinting kelobot milik Pak Trisno. Namun, semakin bertambah usia, Idroes dan Djagad menjadi rival. Mereka ternyata jatuh cinta dengan orang yang sama, menyadari hal itu, keduanya bersaing secara tak langsung untuk mendapatkan hati anak perempuan Juru Tulis. Juru Tulis yang bekerja di pemerintahan Belanda tidak ingin anaknya hidup menderita, setidaknya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi menantunya. Apa saja kah? Mungkin untuk syarat semacam itu di masa kini tampak mudah, tetapi, jika dibayangkan terjadi di masa lalu, akan terasa sulit. Bagaimana tidak, novel Gadis Kretek berlatar zaman penjajahan Belanda, walaupun mendekati masa peralihan penjajahan Jepang. Kalau sudah membaca sejarah tentang ini, pasti akan paham. Setuju, kan? Pendidikan saat itu juga termasuk sesuatu yang mahal, bisa baca tulis huruf gedrik saja sudah bagus pol. Kalau dari keterangan dalam novel, Idroes memang bisa membaca, tapi, huruf hijaiyah, karena setiap sore dia dan teman-temannya mengaji di Langgar.

Idroes Moeria benar-benar di belakang Roemaisa. Lelaki itu hanya memandangi punggung Roemaisa. Tiba-tiba, keajaiban terjadi, Roemaisa menghentikan langkah dan perlahan ia membalikkan tubuhnya. Idroes Moeria bengong takjub dengan keadaan itu. Tenggorokannya masih tercekat, meski ia ingin berkata sesuatu lebih dulu. Roemaisa berkata-suara paling merdu yang pernah didengar Idroes Moeria pada usia belia-"belajar membaca," Lalu Roemaisa berbalik dan melanjutkan langkahnya. Kali ini ia benar-benar pergi (hlm: 56).

Tegar, Karim, dan Lebas menjadi tokoh penting dalam novel ini. Seperti yang aku tulis sebelumnya, kita akan dibawa pada Djagad Raja masa kini, Tegar menempati posisi dibawah romo dan Karim dibawahnya. Bagaimana dengan Lebas? Dia berulang kali menegaskan tak ingin bekerja seperti kedua kakaknya, Lebas ingin bebas dengan jalannya, sebagai seorang sineas. Benar saja, beberapa film, sinetron, dan iklan telah dibuatnya, tetapi, belum dikategori A. Karena hal ini, Lebas dipandang sebelah mata oleh kakaknya, Tegar. Jangan kaget, beberapa dialog menggunakan bahasa jawa ngoko dan umpatan kasar. Obrolan antar kakak beradik ini memang hiburan banget. Apalagi ketika si serius Tegar berhadapan dengan si urakkan Lebas, adu mulut tak terbantahkan. Aku bisa merasa, Tegar ini sangat jengkel pada adiknya, mau gak jengkel bagaimana, diumur yang (tidak disebut berapa dalam novel) dia masih sembarangan, tidak teratur, masih seperti anak-anak. Padahal, menurut Lebas, dirinya tidak begitu, tapi, untuk bangun yang terlalu kesiangan memang, parah! Suatu ketika yang membuat Tegar, Karim, dan Lebas akhirnya meluangkan waktu, ketika romo dalam tidurnya memanggil Jeng Yah berulang kali. Siapakah dia?

"Kok berhenti?" kakaknya protes. "Kalau kalian belum akur, aku bali wae ning Jakarta!" ancamnya. Ia benar-benar akan balik ke Jakarta. Sumpah! "Konyol kamu, naik apa?" dijawab Karim, "Naik bis!" Karim keluar mobil, berdiri di tepi jalan, menunggu bis apapun untuk selanjutnya dia bisa cari bis ke Jakarta. "Mas Karim!" Lebas ikut keluar, mencoba membujuk Karim. "Mas, ayo masuk!" tapi, Karim membalasnya, "Kowe wae terusno kono! Aku wes wegah nengahi kalian!" Kalau lagi marah, memang Jawa-nya keluar. Karim bosan jadi penengah. "Koyok cah cilik wae kowe." Tegar bersungut-sungut. Ia tak keluar, tetapi, tetap di dalam mobil. Kepalanya nongol dari jendela depan. "Yo ben!" (hlm: 188).

Istri pemilik Kretek Djagad Raja sangat marah ketika nama Jeng Yah disebut. Bahkan, romo pun cemas akan hal itu dengan kondisinya yang sekarang. Wong gerah pun sing ngopeni aku, uduk kae! Kurang lebih begitulah sambatan wanita paruh baya itu kepada tiga anak laki-lakinya. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu sampai membuat ibunya bersungut merah ketika nama itu disebut. Lebas sempat menduga, jangan-jangan Jeng Yah adalah mantan pacar romo. Tentu saja hal ini langsung disangkal Tegar dan Karim. Ada-ada saja. Sampai suatu hari, igauan itu berlanjut. Mereka berinisiasi untuk mencari Jeng Yah. Namun, dimulai dari mana? Paling jelas dengan bertanya pada romo, tapi, beliau stroke. Apa bisa? Bagaimana dengan ibu? Mau menyulut api dalam rumah? Akhirnya mereka bertiga berunding, rencana apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan. Deal! Tapi, kalau kamu baca novel ini, ketemu kata deal ini gak mudah, ketiganya saling usuk-usuk-an, mudahnya, saling menimpali satu sama lain, alias kurang berani madhep ibu. Satu-satunya yang paling disayang ibu, ya, Mas Tegar, dia pewaris!

Kembali lagi ke masa lalu, seperti yang diramalkan oleh seorang sepuh, Indonesia akan bebas dari penjajahan bangsa kulit jagung dengan kedatangan saudara tua. Namun, semakin bertambah hari usai datangnya saudara tua, malah sebaliknya, banyak orang yang ditawan, termasuk Idroes yang telah menikah dan memiliki usaha sendiri. Kata Idroes, mereka lebih mirip kakak tiri yang jahat. Selama dua tahun Idroes menghilang dari Kota M. Lelaki lain yang masih mencintai Roemaisa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dia melamarnya. Salut juga dengan tokoh Roemaisa, dia tetap teguh pendirian dan tegas pada dirinya dan orang lain. Bagaimana responnya ketika orang lain julid tentang dirinya. Bodoamat! Kedudukan Jepang berakhir. Indonesia merdeka. Idroes dan beberapa orang yang bertahan kembali lagi ke Kota M. Roemaisa sangat bahagia. Sepasang suami istri itu kembali menjalani hari-hari dengan menyenangkan, mereka sama-sama berusaha mengembangkan kelobotnya menjadi kretek yang berbeda. Persaingan dimulai!

Soedjagad dan Idroes kembali bersaing di dunia pertembakauan. Kalau dalam novel, ide-ide Idroes banyak sekali, dan Soedjagad selalu meniru, atau hanya kebetulan sama? Entahlah. Mari baca lagi novel Gadis Kretek. Kalau pernah membaca dan menonton film Filosofi Kopi, mungkin, Gadis Kretek adalah versi kreteknya. Jujur, aku tidak paham tentang ini, tapi, ternyata, melalui novel Gadis Kretek, diubah menyenangkan dan mudah dipahami. Oh iya, Ratih Kumala menuliskan cerita history-fiction ini dengan sederhana dan tidak njlimet. Cara mengolah tembakau dari dikeringkan sampai ke olahan yang lebih dalam (maksudku menjadi sebatang kretek) sangat berbeda. Takaran tembakau dan cengkeh juga mempengaruhi. Kalau diawal-awal menyebut kulit jangung yang digunakan sebagai kelobot, kemudian diganti dengan kertas atau apalah kertas khusus itu namanya. Ada lagi, ketika sari tembakau yang masih menempel pada telapak tangan pelinting kretek yang bisa dimanfaatkan kembali. Kalau dalam novel, ada inovasi baru dibuat Idroes yang kemudian ditiru Dasiyah. Sangat unik dan rasanya berbeda dengan yang lain.

Beberapa kali romo dan Tegar mengunjungi Temanggung, membeli langsung tembakau pada petani. Ternyata, tiap tembakau yang ada dalam petak sampai gudang-gudang memiliki rasa yang beda. Rasa atau tingkatan, ya? Pokoknya akan mempengaruhi cita rasa. Apalagi yang sempat kejatuhan bintang. Konon, harganya semakin melambung dan siapa yang membelinya akan semakin masyhur. Soeraja berkunjung ke petani langganannya dan mengadakan kesepakatan jual beli. Tegar kecil melihat semuanya. Dia sudah terbiasa akan hal ini, walaupun menjengkelkan dan mengambil jatah libur sekolahnya. Kata romo, di masa mendatang, yang mewarisi Djagad Raja adalah dirinya. Berbeda dengan Karim dan Lebas yang bebas, bisa dolan kesana kemari dan liburan di rumah simbah, Mbah Djagad.

Jakarta menjadi lokasi tempat tinggal keluarga Soeraja dan kantor utama Djagad Raja, sedangkan pabriknya berada di Kudus. Selama pencarian Jeng Yah, mereka juga menginjakkan kaki di Kudus. Selama perjalanan, konflik juga terjadi, bahkan didamprat seorang rentenir. Lagi-lagi Lebas yang menjadi tokoh di sini. Kan, sudah kubilang, jangan main-main dengan anak sini! Tegar mengatakannya dengan bersungut. Lebas yang notabene bocah luwes, hanya menyahut iya dan sedikit tertawa. Sebenarnya Lebas tahu, kakaknya sedang marah dan memperhatikan keselamatan dirinya. Oh iya, ancaman tercoret dari warisan juga pernah diterima Lebas. Wkwkwk, sabar, Bas.

"Kamu tahu sejarah kretek?" Dasiyah menggeleng. Soeraja mengisap tingwe-nya nikmat. Pemuda itu melanjutkan omongannya: Dulu, di Kudus ada Pak Haji Jamari. Dia hidup tahun 1880-an. Bagaimana lelaki yang bernama Jamari itu sesak napas, dan mencari cara memasukkan woor (cengkeh) ke paru-parunya. Dia pun merajang cengkeh dan mencampurkannya dengan tembakau rajang yang lalu dilinting dengan kelobot. Ketika api menyulut dan menghabiskan batang lintingan itu, terdengar suara 'kretek-kretek' akibat terbakarnya cengkeh rajangan. Itulah asal mula kretek (hlm: 179). Entah benar atau tidak, tapi, bagi Dasiyah ingin mempercayainya. 

Mbok Marem menjadi tokoh yang tahu masa lalu keluarga Soeraja. Ketiga anak romo bertemu dengan beliau di Kudus, masih sebagai buruh pelinting kretek di perusahaannya. Mereka mengutarakan maksud dan tujuan, bahkan, Mbok Marem sedikit terkejut dan takut, kalau-kalau Pur datang secara tiba-tiba. Bersyukur, yang ditakutkan tidak terjadi. Ketiganya semakin tercerahkan, dan kembali melanjutkan perjalanan lusa, pagi-pagi sekali untuk menuju Kota M, tanah kelahiran Mbah Jagad. Di antara ketiga anak Soeraja, Karim-lah yang paling tahu seluk beluk sejarah keluarga Soedjagad. Hanya saja, sangat disayangkan, menjelang akhir, beberapa hal yang diplintir Djagad, tidak mendapat 'pelurusan' dari sudut pandang keluarga Idroes. Aduh, malah spoiler.

Bagaimana kelanjutannya, apakah mereka bertemu dengan Jeng Yah? Siapakah Jeng Yah itu? Apa kaitan Jeng Yah dengan romo dan ibunya di hari pernikahan itu? Bagaimana dengan Idroes Moeria? Ah, iya, kelamnya September di tahun 1965 juga menjadi latar dalam cerita Gadis Kretek dan kedua kalinya bagi Idroes tinggal jauh dari keluarga. Sepertinya review tentang novel yang bakal segera tayang di Netflix Indonesia ini cukup sampai di sini. Lebih lengkap, jangan lupa untuk membaca Gadis Kretek. Kataku, kamu tidak akan menyesal, apalagi kalau sudah tak asing dengan rokok dan kretek. Aku senang bisa membaca novel history-fiction ini, walaupun, tidak paham sepenuhnya, tapi, menyenangkan, ada tambahan sudut pandang baru tentang hal ini. Teman-teman yang sudah membaca, pasti akan setuju dengan ini. Tentu saja. Selamat membaca, ya~

Ia telah mengenal akar. Selain itu, entah kenapa dia selalu merasa, jika mengetahui sejarah keluarga mereka, suatu hari pasti akan berguna.*

*Kutipan dari novel Gadis Kretek di halaman 191

 

Komentar