[BUKU] SANG RAJA, MELINTASI ZAMAN

Masih ingat dengan porselen cangkir dengan gambar Bal Tiga milik Idroes Moeria yang disimpan dengan baik dan hati-hati itu? Sungguh, suatu kejutan dan merasa sangat beruntung karena setelah membaca bagian itu dari novel Gadis Kretek, kemudian bertemu dengan novel Sang Raja. Iya, seperti diizinkan untuk membaca kisah sejarah lagi melalui novel ini. Keduanya sama-sama membahas tentang tembakau dan kretek, walaupun lahir dari tangan penulis yang berbeda. Tak masalah, yang terpenting bisa menyimak dan belajar melalui kedua novel ini.

SANG RAJA, sebuah novel karya Iksaka Banu, terbit pada tahun 2017 di Penerbit KPG dengan tebal 383 halaman. Novel yang dikatakan berlatar tahun sangat panjang, 1900-1953.

Apakah sudah bisa ditebak latar tempat dalam novel ini? Ah, tidak apa jika belum, mari, kita sama-sama membacanya. Oh iya, Sang Raja juga tersedia versi digital di iPusnas, antrean tidak cukup panjang, dan kamu bisa meminjamnya kapan saja. Iksaka Banu memang lihai menulis cerita histori, ya. Banyak karyanya yang menggunakan 'sejarah' sebagai pelengkap bahkan cerita itu sendiri. Jangan salah, seperti buku Semua untuk Hindia, novel Sang Raja patut kamu baca juga.

Sang Raja bercerita tentang kretek dan Kudus. Pertanyaan tentang mengapa Kabupaten Kudus dijuluki sebagai Kota Kretek, akan terjawab perlahan melalui novel ini. Sebagai pembukaan, kita akan dibawa pada keterkejutan, sesuatu yang hening dan masih menyisakan suasana kelabu. Aku tidak akan menuliskan apa itu, tetapi, kan langsung beralih menuju sesuatu lain yang diincar wartawan Matahari Timur. Seorang pria Jawa dengan surjan lurik cokelat hitam, kain bermotif kawung, serta blangkon Yogya. Dan seorang pria kulit putih berbaju safari dengan topi pandan berwarna gading (hlm: 9). Siapakah mereka?

Novel ini menggunakan sudut pandang campuran. Begini, kujelaskan sedikit, awal dan akhir menggunakan sudut pandang ketiga, serba tahu, sedangkan dipertengahan mengunakan sudut pandang orang pertama: aku. Lalu, siapakah yang memerankan tokoh aku dalam novel ini? Namanya Filipus Gerardus Rechterhand dan Goenawan Wirosoeseno. Kedua orang ini ternyata pernah memiliki peranan penting di pabrik rokok milik Sang Raja. Aku yakin ketika dua orang ini jika ditanya kembali, pasti akan menjawab serupa bahkan lebih panjang dari apa yang diungkapkan oleh Oei Wie Gwan, seorang pengusaha asal Rembang yang sempat membeli NV Moeroep yang kemudian berkembang menjadi Djarum, "Pak Nitisemito itu seorang mahaguru," (hlm 3).

Filipus Gerardus Rechterhand lahir dari pasangan Belanda totok yang tinggal di Hindia Belanda, tepatnya Batavia. Mereka bukan tergolong keluarga kaya, tetapi memiliki hotel sederhana dengan nama Gordel van Smaragd. Semasa kanak-kanak, Filip sering berbaur dengan para rewang yang kebanyakan pribumi di hotel milik sang ayah, dari ikut blusukan ke pasar atau sekadar membantu membersihkan taman. Bertambah usia, Filip lebih menjaga jarak, selain itu kesibukan di HBS atau Hogere Burgershool membuatnya jarang di rumah, ditambah dia pernah menjabat sebagai hoofdredactie atau kepala redaksi ekskul mading. Ayah dan mama Filip tentu saja senang, anak semata wayangnya tumbuh menjadi remaja semestinya. Setiap mengobrol keduanya selalu terhubung, nyambung satu sama lain, antara ayah dan anak, tetapi, baik dari ayah dan Filip bisa memahami, walaupun masih terseok-seok bagi remaja berkulit putih itu. Mengutip obrolan di halaman 27, "Mestinya kau paham. Ini siklus alami belaka," gumamnya. "Seperti air, yang mengalir deras ke tempat curam, lalu berhenti setelah mencapai ketinggian permukaan yang setara."

Goenawan Wirosoeseno lahir di Yogyakarta, terletak di dusun yang jauh dari kota. Dia sempat punya nama kecil, yaitu Warso, yang kemudian diganti ketika kelulusan sekolah. Dia pernah mengenyam pendidikan Sekolah Angka Loro alias Tweede Klasse School yang kemudian dilanjutkan sekolah lagi ke sekolah dagang atau Handels Onderwijs. Keluarga mereka termasuk golongan priayi. Karena hal ini, rama tak pernah bosan mengulang-ulang cerita tentang kakek-buyut-canggah-dan para leluhur, beliau ingin kedua anaknya tahu dan menghormati para sesepuh, serta menjadi priayi yang tahu seluk-beluk keluarga. Rama menjabat sebagai mantri ulu-ulu yang dalam istilah Belanda-nya waterbeheer atau mantri pengairan, suatu jabatan setingkat di bawah kepala desa. Bisa dikatakan juga, keluarga ini juga sangat disegani masyarakat sekitar. Sedikit informasi, mantri ulu-ulu tidak bergaji, tetapi menerima tanah dari pemerintah yang disebut tanah bengkok. Luasnya sekitar satu patok, atau sekitar 2.300 m2. Tanah itu bisa diolah tanpa terkena potongan apapun saat panen (hlm: 37). 

Meloncat sangat jauh ke 'pertemuan ilmiah' antara Filip dan Wirosoeseno yang sangat kebetulan. "Sedikit kalium nitrat mungkin bisa membantu," kata Filip yang tiba-tiba berdiri tak jauh dari pintu ruang kerja divisi keuangan. Jauh sebelum terjadi pertemuan tersebut, keduanya punya cerita menyedihkan, dan kamu harus membacanya juga. Bagaimana cara Filip dan istrinya lekas-lekas berdiri lagi, atau Wiro yang harus meluluhkan hati rama yang keras. Tarik napas, embuskan. Memang, membaca novel bergenre history-fiction selalu begini, berat tapi sayang untuk berhenti di tengah jalan.

Perjalanan menuju Kudus, baik dari Batavia kemudian Meester Cornelis atau dari Yogyakarta sampai di Stasiun Tawang, Semarang. Sempat ada kendala yang membuat cemas dan was-was, sepertinya narasi-narasi dalam novel ini berhasil membuat pembaca juga ikut merasakan apa yang ditakutkan tokoh aku selama perjalanan menuju Kudus. Khusus bagian ini, aku melayangkan foto koleksiku, dua lokasi yang beberapa kali tersebut dalam cerita, yaitu Stasiun Tawang Semarang dan Menara Kudus di masa sekarang.

Ada dua lokasi untuk NV Nitisemito, di Langgardalem dan Jongenstreet, tapi, sesuatu terjadi dan mengharuskan membuka lokasi lain di Jati, Kudus. Aku sempat penasaran dengan tiga lokasi ini, untuk mencari Jongenstraat dan Jati di masa lampau belum kutemukan. Namun, untuk Langgardalem, melalui peta masa lalu tersedia secara digital bisa diketahui. Aku baru menemukannya seperti ini. Setidaknya penasaranku akan hal ini mulai terjawab.

Filip resmi sebagai asisten akuntan di NV Nitisemito dan dan tinggal di Kudus seorang diri, Walini dan Hans masih tetap di Batavia mengurus Gordel van Smaragd. Selama membaca bagian sudut pandang Filip bagian ini, dia banyak belajar dari rekan kerja sekaligus teman ayahnya, seorang Belanda totok bernama Christiaan Poolman. Tuan akuntan ini juga baik, banyak hal yang dibicarakan dengan Filip, dari urusan pekerjaan sampai cerita yang berkembang di masyarakat. Salah satu yang membuatku tertegun, saat Poolman bercerita tentang Kudus yang diambil dari kata Al-Quds, bagaimana legenda ini berkembang di masyarakat, dan paten menjadi nama satu kabupaten di Jawa Tengah. Ada di halaman 100-101. Lanjut lagi, terkait ruang kerja Poolman yang menurut Filip sangat berkelas. Aku mengutipnya dari halaman 101-102.

Aku melihat lampu gantung, penyekat ruangan, lemari buku, kursi, dan meja kerja yang digarap dengan campuran antara unsur-unsur pokok Nieuwe Kunst, Cina, dan elemen tradisional Jawa. "Ruang kerja yang bergaya," aku menyatakan kekagumanku. "Aku suka selera senimu, Tuan." kemudian Poolman menjawab, "Bukan aku. Sejak aku masuk, benda-benda itu sudah ada di sini. Nitisemito memang pandai menggabungkan banyak unsur seni. Indah. Tidak seperti rumah seorang parvenue (orang kaya baru) pada umumnya."

Sekilas tentang Pak Nitisemito yang aku kutip dari halaman 104. Beliau seorang anak kepala desa. Nama kecilnya Roesdi bin Soelaiman. Meski tergolong berdarah biru, konon dia buta huruf, karena tidak pernah mengenyam pendidikan resmi. Lalu di halaman lain juga menyebutkan, Pak Niti muda sempat mencoba berbagai usaha, dari membuka  usaha konveksi, lalu minyak kelapa, ternak kerbau, sampai menjadi juragan dokar tetapi belum tidak berhasil, sampai suatu ketika dia dan istrinya memilih membuka usaha rokok. Oh iya, di halaman 85, ada keterangan nama pabrik, yaitu Sigareten Fabriek 'M. Nitisemito', Koedoes.

Pengenalan tentang NV Nitisemito juga diterima Wiro saat menjadi karyawan baru di sana. Saat bagian ini, eh dari dimulai nyuwun izin ke rama, melaksanakan tes wawancara, pengumuman, sampai pengenalan pabrik, dari divisi ke divisi hingga tempat pembuatan produk NV Nitisemito. Rasanya kayak ikutan jalan, mendengarkan Pak Atmosoewito yang menjelaskan banyak hal, salah satunya tentang proses pemilihan tembakau. Ternyata daun tembakau memiliki tingkatan rasa yang berbeda, sepertinya aku harus mengutip ilmu dari halaman 87 ini. "Pemetikan dilakukan 5 sampai 7 kali dengan selang waktu 2 sampai 7 hari sekali. Tidak bisa dilakukan bersamaan, karena dalam satu batang pohon terdapat tingkatan mutu daun yang berbeda. Yang paling bawah disebut koseran atau kapal. Jumlah daunnya sekitar 4 atau 5 lembar. Itu menjadi tembakau kelas bawah. Lalu di atasnya, disebut bagian kaki, berjumlah 4 atau 5 helai juga. Bagian tengah, disebut tengahan, bermutu sedang. Sekitar 6 sampai 8 lembar. Setelah itu, bagian atas, berjumlah sekitar 4 atau 5 helai. Dan terakhir, bagian pucuk, disebut kitir. Inilah daun yang paling baik mutunya dan paling mahal."

Wiro dan Filip menjadi sahabat, banyak yang mereka bicarakan dan perdebatkan, tetapi, akhir dari perdebatan-perdebatan itu selalu menyenangkan, mereka kembali berbaikan. Kalau menurutku, persahabatan keduanya sangat saling mendukung, suka dan duka. Walaupun terlihat jelas ada perbedaan, sebagai orang berkulit putih dan orang Jawa. Namun, melalui kisah Filip dan Wiro, seolah bisa melebur. Jadi teringat ucapan Walini pada Filip, bahwa kami bisa bersatu dan saling menghargai. Timur dan Barat. Ah iya, tak jarang juga Pak Poolman dan Pak Soedjoko ikut menimbrung obrolan mereka, jadi semakin lengkap. Informasi yang diperoleh atau gosip-gosip yang beredar di masyarakat seperti saling mengisi. Aku baru ngeh, obrolan bapak-bapak zaman dulu juga bisa seserius ini. Haha.

Mengutip dari halaman 375. "Aku baru menyadari, ternyata Pak Soedjoko benar, kita tidak bisa melepaskan diri dari Bal Tiga. Setiap kali bicara, apapun topiknya, pasti kembali ke Bal Tiga," ujar Wirosoeseno. "Tentu saja. Kita menghabiskan sebagian besar umur kita di tempat itu. Orang tua itu, Pak Niti, diakui atau tidak, telah ikut membentuk pribadi kita. Walau aku juga tidak bisa mengabaikan peran Tuan Poolman dalam hal itu, " jawab Filipus.

Novel Sang Raja memang unik, ada dua sudut pandang, salah satunya dari seorang Belanda totok yang sejak kecil sudah di Hindia Belanda. Cara pandang terhadap suatu hal akan sangat berbeda dengan bumiputera. Aku menyimpan beberapa pendapat tersebut, ada di halaman 156, "... walau kurasa untuk beberapa hal ia belum sanggup keluar dari cara pikir kebanyakan priayi Jawa. Di mata mereka, seorang pemimpin adalah sumber kebaikan, mata air welas asih, sekaligus bayang-bayang keadilan. Tidak mungkin berbuat salah."

Lanjut lagi ke bagian lain, sekitar tahun 1923, rokok putih bawaan luar negeri masuk Hindia Belanda, BAT atau British American Tobacco oleh kongsi perusahaan Britania dan Amerika Serikat yang membuka cabang di Cirebon, rokok putih ini lebih disukai orang-orang berkulit putih. NV Nitisemito tidak tinggal diam mendengar berita tersebut, produksi terus berjalan dan promosi semakin gencar. Setelah sukses kerjasama dengan rombongan stamboel Bangsawan Melajoe, beberapa tahun kemudian NV Nitisemito kembali melebarkan sayap ke Jawa Barat dan Surabaya, promosi menggunakan pesawat Fokker F.VIIb. Tiga Mesin. Dengan moncong berwarna putih, dengan nomor punggung: PK-AFC. Di tahun-tahun itu, cara promosi yang dilakukan NV Nitisemito terbilang jauh berbeda dengan yang lain, sangat inovatif dan berbiaya banyak. Namun, sudah bisa diduga, semakin maju perusahaan milik Pak Niti. Ratu Belanda bahkan menyebut Nitisemito sebagai De Kretekkoning. Sang Raja.

Wirosoeseno bisa dikatakan karyawan yang memiliki banyak ide dan sangat kreatif, banyak ide promosi juga berasal darinya dan menantu Pak Niti, M. Karmain. Oh iya, saking fokusnya cerita Pak Niti, Filip, Walini, Wiro, Poolman, dan Soedjoko sampai lupa kalau ada tokoh lain penting bernama Karmain, Akoean Markoem, Marwoto, Soemadji, Dalidjoe, Nasilah, Lasinah, Noerman, dan Hans. Lengkapnya kamu harus membaca novel ini. Tenang saja, Sang Raja bukan novel romance yang menye-menye, lebih dari itu, romansa dalam novel ini sangat khas dan mengapa aku bisa tertawa dan ikut tersipu malu saat Lasinah digoda temannya, dengan siapa itu? Wiro? Haha. Ikutin ceritanya, deh. Seru banget!

Masih ingat pelajaran sejarah tentang kedatangan pasukan Jepang ke Indonesia? Penjelasannya terlalu deskriptif banget, kan? Nah, aku sarankan, agar melengkapi kepingan-kepingan deskripsi itu dengan menyenangkan dan mudah dipahami, bisa melalui novel Sang Raja, ada bagian khusus tentang ini. Bagaimana Jepang bisa merangsek masuk Hindia Belanda dengan cepat padahal pertahanan militer di Singapura sangat kuat, bagaimana keadaan Kudus saat orang-orang berkulit kuning itu menginjakkan kaki pertama kalinya, atau hal-hal plot-twist lainnya yang terjadi? Akan terjawab melalui novel ini. Iring-iringan menyambut bala tentara Jepang, penghormatan setiap pagi dan senam, atau kebiasaan Jepang lain yang mulai dipaksakan di bumi khatulistiwa pada saat itu. Penangkapan orang-orang berkulit putih, termasuk Poolman, Filip, dan Hans. Tentu saja kesedihan keluarga Indo sangat terasa. Hans sebagai pasukan KNIL tertangkap militer Jepang, dan entah diasingkan di mana, sampai akhir cerita, ini sangat menyedihkan. Hampa. Kamu masih ingat salah satu adegan di novel Laut Bercerita yang mana Laut, Alex, Daniel, dan Sunu ditahan di sel bawah tanah yang entah dimana lokasinya itu? Nah, tepat sekali, dalam novel ini, bagian pengasingan bagi orang-orang berkulit putih juga demikian. Sangat tidak berperikemanusiaan dan sangat menjijikkan. Ah, sial, tragis sekali. Padahal, penjara ini dulu dibuat oleh orang-orang militer Hindia Belanda, setelah mereka tidak lagi menguasai malah berbalik ditempati orang-orang mereka. Menyedihkan. Heuheu.

Sebelum melanjutkan ke akhir review, aku ingin mengutip percakapan rama pada Wiro muda saat masih di Jogja, ada di halaman 211. Siapa bisa menebak nasib? Siapa bisa mengetahui jalannya sejarah? Berkali-kali sewaktu kecil aku mendengar ucapan rama, bahwa hidup manusia teramat singkat sehingga seringkali kita gagal atau tidak sempat menyaksikan, bahwa suatu peristiwa sederhana yang terjadi pada suatu titik masa lalu ternyata sering kali punya kaitan dengan sebuah perkara besar yang berlangsung di masa berikutnya. Ada kalanya kita diberi kesempatan melihat tanda-tanda kecil semacam peringatan dini yang samar, agar waspada. Tetapi dalam banyak kejadian, kita abai. Mungkin karena tanda itu terlalu asing untuk dikenali, atau barangkali lantaran kita terlalu sibuk dengan urusan lain, melulu melihat yang kasat mata, berukuran lebih besar, atau yang berada sangat dekat dengan kita. Sehingga kelak, saat peristiwa itu datang, ada sebagian dari hati dan pikiran kita yang berteriak dengan rasa sesal tak tertangguhkan: "bukankah aku sudah pernah memikirkan ini? Bukankah dugaanku benar belaka? Mengapa aku tidak melakukan sesuatu untuk mencegah ini?"

Satu paragraf yang agak panjang sepertinya cukup untuk menutup review novel yang akan selalu aku rekomendasikan pada Teman-teman, Sang Raja. Oh iya, ada yang membuat terkagum lagi dari halaman 344, ketika salah satu lokasi NV Nitisemito dijadikan markas TNI (saat itu), bahkan fasilitas Koedoes Radio Vereeninging Bal Tiga dipinjamkan untuk keperluan tersebut, sisi lain yang bisa dirasakan juga, keadaan yang mencekam dan sangat genting itu terjadi sekitar tahun 1947.

Pak Niti ngendikan, "Sejak mulai berniaga, tak terhitung berapa kali saya mengalami jatuh lalu bangun, jatuh lagi, bangun lagi. Asal diberi umur dan kesehatan cukup, ditambah tekun berikhtiar, pasti keadaan tak menguntungkan itu akan lekas berlalu." (hlm: 367). NV Nitisemito melintasi peralihan zaman yang kontras, jatuh dan bangun, dari masa-masa berat penjajahan Belanda, virus Flu Spanyol, krisis ekonomi akibat Perang Dunia, penjajahan Jepang, dan beberapa hal lain yang membuat keadaan NV Nitisemito diambang kegoyahan. Sungguh, dua halaman pada bab Perjuangan Terakhi, seperti terasa ikut mengulang beberapa hal yang diceritakan pada bab-bab sebelumnya.

"Lha, itu. Apik. Semangat!" Pak Niti mengacungkan kepalan tangan kanan ke dada. Ia meminta agar Mas Soemadji mendorong kursi roda ke pintu depan agar beliau bisa melihat kepergian kami berempat. Sampai jauh, kami masih melihat tangan beliau melambai-lambai.

Komentar