LINTANG



LINTANG
Oleh: Amaliya Khamdanah

T
erdengar sayup-sayup orang berbicara diseberang jalan sana. Lantunan musik nasyid, Sepotong Episode menjadi pengiring malam yang penuh akan titi-titik bercahaya. “Lintang” lirihnya menatap jauh diawang-awang. Ia tersenyum tulus sembari membalas tatapan hangat tersebut.
            “Sepertinya hari ini kau sanagt bahagia. Gerengan apakah itu, nak?” tanyanya sembari mengipaskan pelan kipas dalam genggamannya itu. Ia kembali tersenyum dengan penuh ketulusan, terlihat jelas dari raut mukanya yang mengembang seperti adonan kue yang baru matang, bersemu merah merona.
            “Benar, hari ini pasti sangat spesial untukmu. Buktinya kau tersenyum saat aku tanyai.” lanjutnya menatap Lintang yang sedari tadi duduk disampingnya.
            Angin malam sepertinya membuat semuanya terasa lebih sempurna, terlebih kejadian pagi tadi yang tak pernah ia duga sebelumnya. Puluhan puisi cinta berhamburan di laci dan loker miliknya. Entah siapa pengirim puisi-puisi tersebut, kebanyakan dari puisi tersebut adalah ungkapan hati.
Kenangan lalu, dalam ilusi lama…
***
            Setiba di kelas, ia segera mengambil beberapa buku yang sengaja ia tinggal di laci mejanya. Ekonomi, sosiologi, bahasa Indonesia, buku super tebal yang wajib dibaca setiap harinya. Setelah merogoh kedalam laci, ia menemukan beberapa lembar kertas dengan variasi warna dan ukuran yang terjatuh dari mejanya.
            “Ini apa?” tanyanya dalam hati. Kembali ia mengambil satu diantara sepuluh lembar puisi yang ada di lacinya.
            “Untuk Lintang.”
            “Inikan namaku? Kok?” guman Lintang penasran.
Bait demi bait ia baca. Penasaran yang ia rasakan beberapa detik yang lalu serasa terbayar lunas ketika membaca puisi tersebut.
            Namanya memeng sangat  unik, diambil dari nama lain bintang dalam bahasa Jawa, Lintang. Ia tumbuh menjadi remaja yang pandai, ceria, dan baik hati. Namun, dibalik  keceriaannya ia menimpan sejuta lebih rahasia yang tak pernah disangka sebelumnya. Ayah dan Ibunya  telah pergi, semenjak ia berumur lima tahun. Saat ini ia hanya tinggal bersama nenek dan kakak perempuannya, Desi.
            “Lintang, apa kau menyukai puisinya?” sapanya saat bersimpangan dengan Lintang didepan kantin sekolah.
***
            “Jadi itu alasannmu merasa bahagia, nak?” tanyanya lagi menatap Lintang, penuh kasih sayang.
Lintang hanya terdiam, tersipu malu. Walau sedikit gelap namun rona wajah memerah itu terlihat jelas dimatanya.
            “Jangan-jangan kau suka dengannya?” sambungnya terkekeh geli. Seakan-akan sang nenek juga merasakan apa yang dirasakan cucunya saat ini. Cinta.

Demak, 10 Februari 2015
Kelas XI IPS 2

Komentar