IBUKU GURUKU
IBUKU
GURUKU
Oleh: Amaliya Khamdanah
Miris sekali mendengar berita yang
tersebar luas di media masa, tentang anak-anak yang diterlantarkan oleh orang
tuanya. Entah di ibukota atau desa terpencil sekali pun. Sepertinya semakin kesini,
manusia-manusia tak lagi mempunyai peri kemanusiaan pada sesamanya, padahal
rasa kemanusiaan itu sejak dulu telah tertanam
dalam diri manusia. Ah, entahlah. Menekan tombol remot pada channel tv manapun, entah berita di channel tv A sampai Z pun, hasilnya
sama, menterlantarkan anak, membunuh anak dan sebangsanya. Mirisnya negeriku!
Di sekolahan pun juga. Biasa anak
remaja putih abu-abu apalagi perempuan
yang doyan nge-gossip. Hal yang dibahas pun sama, membunuh,
membuang, menterlantarkan anak dan sebangsanya. Katanya itu terjadi pada
tetengga-tetangganya atau kutipan berita yang didapat tadi pagi sebelum
berengkat menuntut ilmu ketempat sakral ini.
Aku
pun teringat dengan kedua orang tuaku. Entah aku terus saja mendengarkan
teman-temanku mengoceh kesana-kemari tentang hal yang sama. Aku diam tanpa
komentar. Menetap langit-langit yang kupijak –ubin.
“Ah, untungnya Ibuku tak sekejam
itu, dia sangat baik.” cetus salah satu temanku, ikut tertarik mengomentari pembahasan. Ada beberapa yang mengangguk setuju, bahkan
ada sedikit yang terdiam, menimbang-nimbang pernyataan salah satu temanku
beberapa detik yang lalu.
“Kau enak, Riz, punya Ibu yang baik
hati, sedangakan aku? Tak tahu masalahnya pun, Ibu mendiamkanku sehari bahkan
sampai tiga hari. Menjengkelkan!” umpat
salah satu temanku lagi dengan
menggeramkan tangan kanannya.
Lagi-lagi aku masih diam, menyimak
semua ocehan teman-temanku, tanpa
berkomentar sepatah kata pun. Aku ingat nasehat dari Masku –kakak laki-laki dalam bahasa Jawa, Ibu kita itu berbeda dengan Ibu lainnya. Ibu kita pmempunyai rasa welas
asih, cinta kasih, bahkan segalanya
untuk kita. Segala perhatiannya selalu untuk anak-anaknya, kau ingat itu kan,
Dik?
Aku lagi-lagi menyimak pembahasan
teman-temanku lagi, kali ini lebih seru. Teman-teman yang berkumpul sampai
banyak, hampir semua murid perempuan satu kelas. Kadang, pembahasan itu
diselingi guyonan oleh temanku. Agar
lebih hidup katanya.
“Iya jujur, Aku kurang perhatian
dari Mamaku. Ayahku pergi keluar kota. Tinggal Aku dan Adikku yang berumur dua
tahun, itu saja Adikku dititipkan di rumah Nenek yang rumahnya di agak jauh
dari rumah. Ah malas kalau Aku suruh menunggiu Adik sendirian, dan ogah banget
jika harus main kerumah nenek. Aku kan sudah besar!” cerita salah dua temanku
lagi, nyerocos terus. Bahkan ketika temanku bercerita panjang lebar, ada
beebrapa temanku juga yang tak memperhatikan, berbicara seenaknya sendiri.
Maklumlah anak ini tak terlalu disegani teman sekalas. Aku mengangguk-angguk seolah mengerti permasalahan dan perasaannya. Sedidaknya aku
menghormati orang lain berbicara.
***
Usiaku masih terpaut kecil untuk
masuk sekolah formal saat itu, empat tahun.
Masuk TK di desaku terbilang lima tahun baru boleh diizinkan mendaftar,
saat itu tahun 2002, Belum ada PAUD yang tersebar seperti sekarang ini. Baru ditahun
2003 Aku menginjakkan kaki di salah satu TK di desaku. sebelum Aku masuk TK
pun, Aku telah belajar dari Ibu.
Ibuku guruku, saat itu aku belajar
banyak dari Ibu. Bahkan setiap malam usai sholat maghrib, ibu selalu mengenakanku
mukena kecil lalu mengajarkanku membaca huruf yang semapat asing dipikiranku.
Huruf hijaiyah. Dari membaca, menulis, menjadi Adik yang baik bahkan menjadi manusia yang baik pun Ibu ajarkan padaku.
“Alif,
Ba, Ta, Tsa…” ucap Ibu perlahan tapi pasti. Memegang erat tangan kecilku
waktu itu. Menuntunku membaca huruf-huruf suci dihadapanku. Awalnya Aku hanya
mengingat ucapan Ibu, sesudah itu lupa. Tapi, cara Ibu mengajariku berbeda, Ibu
punya cara tersendiri untuk mengingat semua huruf-huruf itu tanpa kesulitan bahkan tanpa pemaksaan sekali
pun.
Malam-malam berikutnya pun sama.
Usai menjalankan sholat maghrib Ibu selalu mengajariku mengaji. Ditemani lampu neon yang bisa dikatakan agak redup
untuk sebuah penerangan malam hari. Tapi semanagt Ibu untuk mengajari
anak-anaknya –termasuk Aku, tak pernah redup seperti sinar lampu neon malam
itu. Terus bersinar abadi sepanjang masa.
Bosan! Terkadang
rasa bosan dan jengkel pun mengunjungi pikiran kecilku, bayangan anak
kecil. Katanya asik bermain di depan bareng Nur dan Fiazah, dari pada mengaji
jilid satu terus yang tak kunjung tamat! Ibu hanya tersenyum padaku, ketika Aku
merengek meminta berhenti mengaji dan bergegas
bermain di rumah teman kecilku, “Sebentar nduk,
kurang sedikit.”
***
Aku tersenyum menatap langit siang
ini. Tiba-tiba bayangan lama, tepatnya tiga belas tahun lalu menyapa.
Membukakan almari penyimpan kenangan di tahun 2002. Aku tersenyum lagi. Langit
biru diatas sana berkolaborasi indah dengan awan putih yang terus
berarak-arakan. Sang mentari juga
bersahabat siang ini.
Ibuku adalah seorang Ibu rumah
tangga. Bukan seorang wanita karir. Sungguh, dulu Aku sempat ingin bertanya kenapa Ibu tak bekerja? Tetapi
lambat laun pertanyaan itu terjawab. Alasan Ibuku sangat ringkas dan sederhana,
“Perhatian dan segala kasih sayang kucurahkan semuanya untukmu, nduk, nang!” Aku terdiam lagi menatap langit biru untuk kesekian kalinya,
mencoba mengingat-ingat perkataan Ibu kepada
ketiga anaknya –termasuk Aku. “Agar kelak nduk, nang, kalian tumbuh menjadi orang yang berguna.”
Bel pulang sekolah pun berbunyi.
Bergegaslah aku tuk mengambil tas ransel di kelas, dan pulang kerumah. Melihat
senyum sempurna dari guru kehidupanku,
Ibu.
“Layin, Ma’ruf, Liya, cepatlah
kemari, ayo kita makan bersama!” teriak Ibu dari dapur.
***
“Ibu
adaah manusia pertama yang mengajarkan segalanya padaku. Bukan hanya padaku,
tapi pada Mbak dan Masku juga. Takarannya pun sama, bahkan kasih sayangnya pun
sama lebihnya. Tak ada yang kurang atau kekurangan.” –Aksara.
#DearMama
Catatan :
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang
diselenggarakanNulisbuku.com dan Storial.co
Komentar
Posting Komentar