[ESAI] KESEHATAN MENTAL DAN LITERASI: MEMBIASAKAN DIRI MEMBACA DI TENGAH PANDEMI COVID-19


Perkenalkan namaku Sunyi. Teman-teman menganggapku pendiam. Mungkin karena ketika tak larut dalam ramai, aku bisa bertemu dan mengenal diriku sendiri.*

Bertambah hari sepertinya kita semakin sibuk saja, mengerjakan ini-itu, mengejar sana-sini, menengok kanan-kiri, mendongak dan menunduk, seperti mencari sesuatu, atau hal-hal lainnya. Sampai di tengah keramaian bahkan sepi sekaligus, kita tak henti-hentinya untuk terus melaju. Apa tidak lelah? Lalu bagaimana dengan keadaan dirimu? Sesuatu yang tanpa kita sadari sudah ada, sudah kita miliki, dan sangat dekat sekali dengan diri sendiri.

Mengutip dari buku Mengheningkan Cinta karya Adjie Santosoputro di paragraf awal berhasil menumbuhkan sesuatu di kepala saya. Saya tidak dapat memastikan berapa banyak orang yang usai membaca buku ini merasa tertampar, merenung, atau respon-respon lainnya. Namun, ada saja argumen-argumen sekaligus beberapa pertanyaan dan pernyataan saling berdesakan dan segera ingin bertemu dengan jawaban. Namun, hal ini bukan soal pilihan ganda yang dengan mudah tersedia jawaban, atau isian singkat yang bebas kita isi dengan sederhana. Tentu lebih rumit dan ada proses serta waktu yang tidak singkat. Tetapi, bagi saya, halaman awal yang ada di buku ini berhasil melemparkan pertanyaan kepada diri saya, “Apa sudah mengenal dirimu?”

Di tengah keseharian yang selalu dipenuhi kegiatan dan aktivitas yang padat, ada sesuatu yang tak terduga terjadi di tahun ini. Sesuatu yang berhasil membuat kita memperlambat laju langkah, mengurangi aktivitas, mengambil jeda, bahkan tak jarang sampai memilih untuk berhenti bergerak. Kedatangannya belum pernah terpikirkan oleh masyarakat awam, begitu juga dampaknya. Seolah, tahun ini benar-benar menjadi pembeda dari tahun-tahun yang telah berlalu.

Pandemi Covid-19 menjadi cerita tersendiri di tahun ini. Dari jajaran pemerintahan sampai setiap individu memiliki cerita bahkan belajar dari sesuatu yang berbeda di tahun ini. Bagaimana tidak, pandemi Covid-19 berhasil membuat semua aktivitas secara langsung terhenti, segala rencana yang tersusun rapi di akhir tahun 2019 atau tahun-tahun sebelumnya untuk resolusi 2020 pun tergeser, bahkan tak jarang menjadi batal.

Penyebaran virus SARS-Cov-2 yang sederhana pun menjadi momok tersendiri bagi orang-orang. Dikutip dari laman Sehat Negeriku, penyakit ini menular melalui droplets atau tetesan cairan yang berasal dari batuk dan bersin, kontak pribadi seperti menyentuh dan berjabat tangan, menyentuh benda atau permukaan yang terpapar virus, kemudian menyentuh mulut, hidung, atau mata sebelum mencuci tangan. Sedangkan gejala-gelaja yang ada pada virus ini sangat beda tipis dengan penyakit flu biasa. Namun, WHO menyebutkan gejala Covid-19 yang paling umum adalah demam, kelelahan, dan batuk kering. Tetapi, ada juga yang mengalami sakit dan nyeri, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan, atau diare. Gejala-gejala ini bersifat ringan dan terjadi secara bertahap.

Tidak berjabat tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan melakukan aktivitas dari rumah menjadi salah satu cara memutus mata rantai penyebaran virus ini.

Terbatasnya ruang gerak untuk beraktivitas secara langsung ternyata menimbulkan keterkejutan banyak orang. Biasanya aktivitas dan kegiatan dilakukan secara langsung, kini hanya bisa dilakukan secara virtual. Namun, ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan turun lapangan dengan catatan penerapan protokol kesehatan secara ketat, seperti rutin mencuci tangan dengan sabun ataupun hand-sanitizer dan selalu memakai masker jika sakit atau ketika berada di tempat umum.

Hampir delapan bulan lebih dan bahkan kita belum bisa memastikan sampai kapan pandemi ini berakhir. Sebagian orang menghabiskan waktunya di rumah. Saya jadi teringat salah satu kicauan dari twitter yang kemudian mendapat banyak respon dan repost dari netizen, “2020 terdiri dari: Januari, Februari, Pandemi, dan Desember.” Cukup menggelitik tapi ada benarnya. Selama itu, sebagian aktivitas kita hanya dari rumah, rumah, dan rumah, atau paling jauh hanya berkeliling se-RT dan desa, kalaupun jika sangat terdesak untuk tetap beraktivitas di luar harus dengan batasan dan aturan protokol kesehatan yang ketat.

Pandemi Covid-19 memang membawa banyak dampak bagi semua sektor, termasuk yang melekat pada setiap orang. Iya, kesehatan yang ada pada setiap individu, karena jika kita tidak menjaga kesehatan fisik, efeknya akan rentan terkena penyakit. Namun, tidak hanya kesehatan fisik saja yang diperhatikan, tetapi, harus memperhatikan juga kesehatan psikis atau mental.

Brooks, dkk (2020) dalam Vibriyanti (2020) menyebutkan dampak psikologis selama pandemi di antaranya gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder), kebingungan, kegelisahan, frustasi, ketakutan akan infeksi, insomnia dan merasa tidak berdaya. Bahkan beberapa psikiatris dan psikolog mencatat hampir semua jenis gangguan mental ringan hingga berat dapat terjadi dalam kondisi pandemi ini. Para ahli bersepakat, bahwa kesehatan fisik dan mental saling berkaitan dan harus dikelola secara seimbang.

Bertambah hari, aktivitas yang dilakukan dari rumah pun mengalami kejenuhan dan kebosanan, terkadang juga diikuti emosi-emosi negatif yang memperburuk suasana. Bahkan sering muncul perasaan dan keinginan untuk keluar rumah atau sekadar merefreshkan diri dengan berekreasi. Tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan, karena pemberlakuan lockdown di setiap tempat, sampai penutupan tempat-tempat wisata. Namun demikian, apakah selama pandemi Covid-19 berlangsung, kita mengalami keterbatasan ruang untuk bergerak?

Ruang Gerak di Tengah Pandemi Covid-19

Aktivitas terbatas dilakukan dari rumah sudah menjadi keseharian di tahun ini, dari pekerjaan sampai pembelajaran sekolah yang dilakukan secara virtual. Misalnya yang dilakukan para pelajar, mereka tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa, tetapi dilangsungkan dari rumah secara virtual dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi yang tersedia, seperti whatsapp, zoom, google-meet, google class-room, dan masih banyak lagi.

Banyak kendala yang terjadi. Hal ini bisa kita amati dari lingkungan sekitar dan berita-berita yang tersaji di televisi maupun tersebar melalui media sosial. Dari pemakaian kuota yang cepat habis, penggunaan ponsel terlalu lama mengakibatkan cepat panas, dan sinyal yang terkadang tidak menentu. Bahkan, beberapa orang yang belum memiliki ponsel dengan fasilitas yang memadai.

Permasalahan tidak sampai disitu saja. Banyak orang tua yang mengeluhkan pembelajaran secara virtual, karena anak-anak mereka kurang memahami pelajaran yang disampaikan bahkan tak jarang dari mereka memilih menghabiskan waktu untuk bermain ataupun rebahan. Selain itu, banyaknya tugas yang diberikan bisa membuat pelajar tertekan, cemas karena tak kunjung memahami materi yang telah disampaikan, karena tidak semua orang tua bisa menedampingi anak-anaknya untuk belajar dari rumah.

Begitu juga bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan dari rumah. Mereka  mengalami kebosanan, kejenuhan, dan tak jarang emosi-emosi negatif lainnya muncul. Hal ini sangat mempengaruhi kesehatan mental individu. Namun, di sisi lain kita bertemu sesuatu hal baru yang sebelumnya sering kita abaikan, kini mendapat perhatian khusus. Iya, terkait diri sendiri, keberadaan diri kita; aku.

Seperti kutipan dalam buku Mengheningkan Cinta, “Perkenalkan namaku Sunyi. Teman-teman menganggapku pendiam. Mungkin karena ketika tak larut dalam ramai, aku bisa bertemu dan mengenal diriku sendiri.”

Hal ini bisa dilakukan siapa saja dan tentu sebagai peningkatan literasi pada setiap individu. Psikologi kognitif mendefinisikan literasi sebagai serangkaian pengetahuan dan keterampilan (membaca, menulis, menyimak, dan berbicara) yang diperoleh pada usia-usia tertentu dan harus diajarkan serta berkembang dengan cara yang sama (Lambirth, 2011).

Pandemi seolah memberikan waktu kepada kita untuk belajar sesuatu, termasuk memanfaatkan waktu untuk membaca. Pendapat lain mengenai makna literasi muncul dari perspektif sosiokultural juga relevan dengan keseharian, yang mana literasi sebagai cara bagaimana bahasa digunakan dan perkembangan keterampilan kognitif yang dikaitkan dengan praktik-praktik sosial (Street dalam Hossain 2014). Kemampuan literasi tidak hanya mengenai kemampuan menulis dan membaca simbol, tetapi juga kemampuan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam praktik-praktik sosial secara tepat (Hossain, 2014) dalam Hamida (2016).

Sejalan dengan itu, membaca mempunyai banyak manfaat, antara lain meningkatkan kemampuan berempati, menambah kemampuan berbahasa, mencegah penurunan fungsi kognitif, meningkatkan kualitas tidur, dan mengurangi stres.

Manfaat-manfaat tersebut berkaitan erat dengan kesehatan mental. Seperti dalam penjelasannya, Darajat (dalam Bukhori, 2012) menyebutkan ada banyak definisi tentang kesehatan mental, antara lain; terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan gejala-gejala penyakit jiwa (psychose); kemampuan bagi individu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat serta lingkungan; pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada dengan maksimal, sehingga membawa kebahagiaan diri, orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa; dan tercipta keharmonisan antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, serta merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Selanjutnya, Darajat (2001) dalam Bukhori (2012) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keberagamaan, sikap menghadapi problem hidup, kebermaknaan hidup, dan keseimbangan dalam berfikir. Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal antara lain: keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Namun, dari kedua faktor tersebut, faktor internal lah yang lebih memiliki peranan penting dalam kesehatan mental.

Pandemi Covid-19 yang belum bisa kita pastikan berakhirnya, akan terus menambah kecemasan, kegelisahan, serta perasaan-perasaan negatif lainnya. Tetapi, akan berbeda cerita jika kita bisa mengontrol dan mengendalikan hal tersebut dengan baik. Seperti yang sudah disebutkan, menjaga kesehatan mental sangatlah penting dan memiliki banyak manfaat yang bisa diperoleh untuk diri sendiri dan lebih-lebih bisa menularkan energi positif bagi sekitar. Salah satunya melalui membaca.

Sebenarnya tidak ada bedanya antara waktu luang sebelum pandemi dan masih dalam lingkup pandemi ini, hanya saja kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saat-saat seperti ini. Sehingga, waktu-waktu selow yang jarang sekali kita temukan saat sebelum pandemi ini, bisa dimanfaatkan dengan baik untuk diri sendiri. Seperti dengan mengenal diri sendiri.

Literasi Membaca untuk Mengenal Diri Sendiri

Self-Awareness atau mengenal diri sendiri, adalah pemahaman individu terkait menganalisa pikiran, perasaan, dan emosi yang ada dalam diri sendiri. Bisa diartikan juga seberapa jauh kita mengetahui dan mengenal diri, dengan begitu kita akan tahu tahapan apa saja yang harus dilakukan dan sesuai dengan diri sendiri. Misalnya melalui membaca, kita bisa menemukan dan bertemu dengan diri sendiri. Hal ini tentu tidak mudah. Semuanya diperlukan proses dan waktu yang tidak singkat. Namun, aktivitas ini akan memiliki dampak yang luar biasa dikemudian hari.

Dikutip dari pendapat Hersa Aranti (Psikolog Klinis Dewasa) ada beberapa cara untuk mengenal diri sendiri, yaitu: mengetahui value dan prioritas value, artinya kita menyadari peristiwa-peristiwa lalu yang berhasil membuat diri bahagia, bangga, dan merasa puas, dari peristiwa-peristiwa tersebut kita akan menilai mana yang penting, baik untuk diri sendiri, keluarga, ilmu pengetahuan, ataupun hal lainnya; mengetahui tujuan, karena tujuan berdampingan dengan value. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa tujuan tersebut ditunjukkan untuk diri sendiri bukan berdasar pikiran orang lain; mengetahui tantangan, baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungan; mengetahui kelebihan, bahwa setiap orang memiliki kelebihan baik dari kecerdasan sampai kreativitas; dan planning atau perencanaan untuk mencapai tujuan.

Atau jika memiliki cara-cara tersendiri, bisa kita kolaborasikan dengan pendapat-pendapat tersebut. Asal kita merasa nyaman dengan cara-cara tersebut, sehingga nantinya akan dengan mudah menjadi pembiasaan-pembiasaan.

Saya jadi teringat lagi akan pertanyaan yang saya lemparkan kepada diri saya sendiri, “Apa sudah mengenal dirimu?” Iya, proses. Seperti yang sudah tertulis di paragraf sebelumnya, untuk mengenal diri sendiri adalah bagian dari proses dan membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Layaknya membaca buku, sebenarnya kita masih membaca sebagian kecil dari diri yang luas. Ada banyak hal yang tidak terduga. Seperti yang ada dalam teori gunung es dari Sigmund Freud, bahwa pikiran manusia diibaratkan gunung es, yang mana bagian atas yang terlihat adalah pikiran sadar (conscious mind), sedangkan di bawah pikiran sadar terdapat bagian prasadar (subconscious mind), dan bagian terbesar dari gunung es yang berada di bawah permukaan adalah bagian pikiran tak sadar (unconscious mind).

Di perjalanannya, setiap individu yang belajar mengenal dan memahami diri sendiri, selalu memiliki porsi dan jatah yang berbeda-beda dengan individu yang lain. Ada yang memerlukan waktu yang singkat dan bahkan memakan waktu yang lama. Namun, tidak ada yang salah dan benar, karena semuanya adalah bagian dari belajar mengenal diri sendiri—sampai kapanpun. Setidaknya kita sudah berusaha dan konsisten menyediakan waktu untuk bertanya, membaca, dan memahami apa saja yang ada dalam diri.

Orang lain tidak akan memahami seperti apa diri, orang lain hanya akan menilai. Sesungguhnya, diri sendiri lah yang tahu dan paham akan hal tersebut. Ketika kita selalu berproses untuk terus belajar memahami, membaca, bertanya, merenung, bahkan memulai percakapan dengan diri sendiri, pasti akan menemukan sesuatu yang berbeda dari dalam diri, dari kebahagiaan, kesedihan, ataupun penerimaan-penerimaan emosi baik positif maupun negatif, peristiwa bahkan pengalaman-pengalaman dari masa lampau yang ada pada setiap diri individu.

Memang benar, untuk menyeimbangkan diri, kita perlu memperhatikan semua aspek yang ada dalam diri sendiri. Tidak selalu harus, tetapi sedikit demi sedikit.

Sedikit memperlambat laju atau mengambil jeda untuk kebaikan diri sendiri di masa yang serba sulit ini. Di ruang yang terbatas selama pandemi Covid-19 yang mengharuskan diri untuk memaksimalkan sesuatu yang ada disekitar dengan maksimal dan bijak. Agar tidak mudah cemas dan gelisah akan informasi-informasi yang membawa dampak negartif untuk diri.

Dengan demikian, ruang-ruang yang ada dalam diri yang selama ini kita abaikan ataupun tertutup, bisa kita kunjungi dengan leluasa.

 

DAFTAR PUSTAKA

Santosoputro, Adjie. 2020. Mengheningkan Cinta. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Bukhori, Baidi. 2012. Hubungan Kebermaknaan Hidup dan Dukungan Sosial Keluarga Dengan Kesehatan Mental Narapidana (Studi Kasus Narapidana Kota Semarang). Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012.

Hamida, Layli. 2016. Implikasi Sosialisasi Bahasa dan Perspektif Sosiokulturak utuk Instruksi Literasi: Studi Kasus Pada SD Negeri Jagir 2 Surabaya. Jurnal Mozaik Humaniora. Vol. 16 (2).

Vibriyanti, Deshinta. 2020. Kesehatan Mental Masyarakat: Mengelola Kecemasan di Tengah Pandemi Covid-19. Jurnal Kependudukan Indonesia. Edisi Khusus Demografi dan COVID-19. e-ISSN (Online): 2502-8537 dan p-ISSN (Print): 1907-2902.

Cara Cegah Penularan Covid-19 di Masyarakat. Diakses dari laman website: http://sehatnegeriku.kemenkes.go.id/baca/rilis-media/20200331/5133667/cara-cegah-penularan-covid-19-masyarakat/. Diakses pada 15 Desember 2020.

Self-Awareness, Cara Mengenal Diri Sendiri untuk Menjadi Lebih Bahagia. Diakses dari laman website: http://alpas.id/self-awareness-cara -mengenal-diri-sendiri/. Diakses pada 15 Desember 2020.

Teori Gunung Es dalam Psikologi. Diakses dari laman website: http://dosenpsikologi.com/teori-gunung-es-dalam-psikologi/. Diakses pada 16 Desember 2020.

Wikipedia Pandemi Covid-19. Diakses dari laman website: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pandemi_COVID-19. Diakses pada 15 Desember 2020.


* Kutipan dari buku Mengheningkan Cinta karya Adjie Santosoputro. Terbitan Bentang Pustaka, 2020.

Esai untuk Kompetisi Menulis Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Lebanon 2020 dan meraih Juara 3 Lomba Esai Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia Lebanon (PPI) 2020.

Komentar