[SAAT KITA CERITA NANTI] SENI MELIPAT BAJU DARI IBU
Aku cukup terkejut mendapati salah seorang teman perempuan dalam kelompok
KKN meletakkan baju di kursi ruang makan. Awalnya, aku tidak menyadari hal
tersebut. Tapi, teman-teman perempuan yang lain sering mengomel karena perilaku
itu. Tidak heran jika setiap hari selalu ada bisik-bisik dan paling parah
sampai terdengar dalam satu rumah, “Kamu kan, perempuan, kenapa tidak bisa
meletakkan baju yang sekali pakai pada tempatnya?!”
Setiap malam, ibu membawa tumpukan pakaian bersih ke ruang tengah. Di ruang
tengah memang tempat berkumpul kami satu keluarga, ada televisi, dipan kayu
berbentuk persegi, dan dua kursi anyaman rotan tua. Biasanya usai melaksanakan
kewajiban sholat dan mengaji, kami, tanpa arahan, akan bergegas duduk di dipan
dan menyalakan televisi.
Aku ikut mendekati ibu yang sedang melipat baju. Sesekali melihat sepasang
mata ibu menatap layar televisi. Ibu melipat baju dengan cekatan. Aku sering
melihat betapa cepat gerakan tangan ibu dengan pakaian-pakaian itu.
Lipatan-lipatan itu sangat rapi. Ibu menumpuk per bagian, sesuai dengan
kepemilikan dan lokasi penyimpanan.
“Bagaimana kalau kamu membantu Ibu?”
Ibu menyadari sedari tadi aku memperhatikannya. Aku mengangguk dan mencoba
mengingat satu demi satu langkah melipat baju yang telah ibu lakukan berulang
setiap malam. Sembari melipat baju, ibu memperhatikan tangan-tangan kecilku.
Sesekali terkekeh.
“Bukan begitu. Coba perhatikan Ibu lagi.”
Aku mengangguk. Sepasang mataku jatuh pada kedua tangannya. Satu kaos yang
biasa kukenakan sudah di tangannya. Perlahan jari-jemari ibu membagi dua
bagian, mendekatkan bagian lengan kanan dan kiri. Setelah berbentuk seperti
persegi panjang, kembali dibagi menjadi tiga atau empat bagian dan akan
berbentuk persegi panjang yang lebih kecil. Ketika satu baju sudah selesai
dilipat, ibu meletakkannya sesuai jenis dan ditumpuk. Aku terpukau.
Aku mencobanya lagi.
“Bukan begitu. Coba perhatikan Ibu lagi.”
Lagi dan lagi. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti
tahun.
“Bukan begitu. Coba perhatikan Ibu lagi.”
Aku sering mendengar ucapan itu. Template sekali! Toh, aku
sudah bukan lagi anak sekolah dasar yang akan mengulang hal-hal yang sama
berulang kali, termasuk melipat baju. Aku tidak bisa melipat baju seperti apa
yang ibu ajarkan. Itu terlalu rumit.
“Aku yang membalikkan pakaian-pakaian itu dan ibu yang melipat saja.”
Kataku jengkel.
Proses mencuci pakaian bagi ibu cukup berbeda, adalah bagian dalam yang
akan dikeluarkan, sedangkan bagian luar akan didalam. Baginya, itu akan
berpengaruh pada kualitas warna pakaian. “Biarkan yang dalam njepluk.”
Di tahun-tahun berikutnya tugasku dalam membantu ibu adalah membalikkan
baju. Aku belum siap jika harus mendengar ucapan ibu seperti yang sering
kudengar dulu. Itu menjengkelkan sekali. Semakin bertambah umur, pikiranku
bertambah saja. Misalnya tiba-tiba terpikirkan, kenapa ibu tidak berterima
kasih kepadaku karena telah membantu melipat baju, tapi malah memberiku koreksi
dan cerita lama itu? Lagi-lagi aku jengkel.
Ibu pernah muda, seperti kata lagu-lagu itu. Ibu menceritakan itu lagi dan
lagi.
Pondok pesantren pernah menjadi tempat tinggalnya selama kurang lebih tiga
tahun. Di tempat tersebut, ibu melakukan semua secara mandiri, termasuk melipat
baju. Setiap ruangan akan diisi lebih dari dua-puluh santriwati dan ada
beberapa lemari kayu kecil-kecil untuk menyimpan pakaian. Beberapa dari
santriwati harus berbagi lemari dengan yang lain dalam satu ruangan tersebut,
termasuk ibu.
“Kalau asal melipat, baju yang kubawa tidak akan muat di lemari ini.” Kata
ibu turut mengenang tahun-tahun itu.
Ada santriwati senior yang ditugaskan untuk satu ruangan ibu. Kata ibu, dia
perempuan yang cantik dan dipercaya Ibu Nyai. Namun, bukan itu yang menjadi
garis besar cerita yang terus diulang ibu, melainkan cara senior santriwati
tersebut saat melipat baju.
“Mbakyu selalu melipat baju dengan cepat dan rapi. Bahkan di dalam
lemarinya; baju-baju, kerudung-kerudung, sarung-sarung, jarik tapeh,
tersusun rapi, ukuran lipatannya sama dan terkadang sesuai warna. Sangat rapi,
seperti sudah disetrika.”
“Ibu belajar melipat baju dari mbakyu.”
Kuliah Kerja Nyata benar-benar memberiku banyak pelajaran dan pengalaman,
termasuk melipat dan menyimpan pakaian-pakaian. Kejengkelan teman-teman
perempuan di posko berhasil mengingatkan pada cerita ibu di pondok pesantren.
Pakaian, cara menyimpan baju, dan kejengkelanku pada ucapan ibu akan melipat
baju versinya.
Seusai KKN berlalu, aku bercerita hal tersebut padanya. Ibu tidak terkejut
dengan perilaku itu, malah tertawa. Aku yang ikut mengenang kejadian itu tidak
lupa tertawa, sekaligus mewanti-wanti diri agar tidak melakukan hal serupa.
“Terus aku lihat lagi cara orang lain melipat baju, Ibu. Terlihat tidak
rapi, bahkan ketika masuk lemari juga tidak simetris.”
Lagi-lagi ibu tertawa mendengar ucapanku dan kembali melipat baju di ruang
tengah sembari menonton acara Family 100.
“Tapi, sekarang aku senang, karena ibu tidak serutin dulu memberiku nasihat
perihal baju-baju yang kulipat kurang tepat. Revisi itu sekali atau dua kali
dan menurutku bisa ditoleransi.”
Ibu tertawa mendengarkanku. “Sebenarnya sama saja, peningkatanmu sedikit,
Nak.” Lanjut ibu menjawab sekenanya.
Aku sudah menduga jawaban ibu akan seperti itu. Sekarang, tentu saja
setelah melewati tahun-tahun yang panjang, aku lebih menerima dan siap
mendengarkan ucapan-ucapan seperti itu, terlebih dari ibu. Itu juga
untuk kebaikanku, kan? Tentu saja.
Komentar
Posting Komentar