[ARTIKEL] SRIWULAN, BANJIR ROB, DAN POHON-POHON BAKAU YANG BERTAHAN
Jika saya mendapat pertanyaan seperti,
“Coba ceritakan perubahan yang telah terjadi di sekitarmu!” Saya dengan penuh
percaya diri akan bercerita tentang desa tempat tinggal yang telah mengalami
banyak perubahan.
Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak, Jawa Tengah menjadi salah satu desa yang mengalami perubahan
dalam tiga-puluh tahun terakhir. Sebelum melanjutkan, saya harap teman-teman
tidak membayangkan ‘perubahan’ seperti yang ada dalam imajinasi, seperti
gedung-gedung pencakar langit, jalan bebas hambatan, atau tempat wisata
populer.
Tidak ada tempat wisata populer, jalan
raya yang hampir macet setiap hari, atau gedung-gedung tinggi adalah rumah
berlantai dua dan pabrik-pabrik. Bahkan, pohon-pohon yang tumbuh di setiap sisi
jalan sudah tidak lagi bertahan dan hanya menyisakan batang-batang lapuk. Hal
tersebut terjadi bukan tanpa alasan, faktor alam dan faktor-faktor karena ulah
manusia yang saling berkesinambungan.
Contoh-contoh tersebut kini diperparah
dengan kehadiran banjir rob atau yang dikenal sebagai banjir pasang surut air
laut. Di Jawa Tengah, air pasang yang berlebihan lebih dikenal dengan sebutan
banjir rob. Banjir rob merupakan banjir yang terjadi di tepi pantai atau
wilayah pesisir karena permukaan air laut lebih tinggi dari daratan di pesisir
pantai.
Membaca beberapa sumber, banjir rob
menjadi salah satu bencana yang terjadi karena faktor kolaborasi keduanya,
seperti pemanasan global, erosi dan abrasi, penurunan muka tanah, dan reklamasi
lahan. Sehingga menimbulkan banyak perubahan dan dampak lingkungan yang
berkepanjangan.
Sriwulan, Alihfungsi dari Sawah-sawah ke Tambak-tambak
Desa Sriwulan terletak di pesisir
utara dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Berdasarkan buku Urip
Dioyak-oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung,
banjir rob telah lama terjadi di desa tersebut, tercatat sekitar tahun 1991.
Masih dari sumber yang sama, sekitar
tahun 2000, Tahap 3, Desa Sriwulan, masih bisa ditanami palawija, padi, dan
kelapa, namun perlahan tanaman-tanaman tersebut beralih menjadi bakau-bakau.
Lahan persawahan beralihfungsi menjadi tambak-tambak ikan.
Sejak peralihan fungsi lahan tersebut,
tambak-tambak ikan menjadi sumber penghasilan baru di Desa Sriwulan. Kakek
adalah salah satu orang yang akhirnya ikut beralih berporfesi sebagai petani
tambak ikan, karena sawah-sawah miliknya telah menjadi tambak-tambak. Ikan-ikan
yang dibudidayakan adalah ikan bandeng, hal tersebut sama dengan kebanyakan
para petani tambak di Desa Sriwulan.
Ada yang cukup menarik dari proses
merawat tambak ikan tetap utuh dan menjaga ikan-ikan tidak melompat ke
tambak-tambak milik orang lain. Saya ingat, kakek sering mengeruk tanah lumpur
yang kemudian diletakkan di bagian pematang guna menambal dan meninggikan
pembatas tambak. Saat itu saya tidak berani mendekat, selain karena bau lumpur
yang terendam air sangat menyengat, adalah kondisi air tambak yang asin dan
sedikit lengket di kulit, sehingga bisa membuat tubuh gatal-gatal.
Kakek memanen ikan-ikan bandeng cukup
lama, kurang lebih selama enam bulan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan
ikan-ikan yang berukuran besar. Terkadang yang didapat dari satu petak tambak
tidak hanya ikan bandeng, tetapi ada ikan sepat, mujahir, lundu, udang-udang,
dan kepiting-kepiting. Hasil panen tersebut nantinya dijual ke pasar kecamatan.
Ternyata saya memiliki ingatan lagi
selain di hari itu. Tepatnya di tahun 2006, saya ingat hari itu, ketika banjir
rob pertama kali datang secara cepat. Siang dengan cuaca cukup terik dan angin
yang berembus tidak kencang. Air datang dari petak tambak bagian barat kemudian
mengisi petak-petak tambak lain sampai meluber. Pematang tambak yang terbuat
dari tanah semakin terlihat rendah dan tidak perlu menunggu lama, antar tambak
dengan tambak yang lain rata tertutup air. Ikan-ikan saling berhamburan. Pemandangan
saat itu memang begitu menakjubkan. Namun, siapa sangka jika sejak hari itu
perubahan di Desa Sriwulan bukan lagi sekadar cerita orang tua.
Pohon Bakau Sebagai Pelindung Tambak-tambak Ikan
Banjir rob selalu datang dengan
ketinggian yang berbeda-beda. Kakek kembali melakukan hal yang sama, mengeruk
lumpur dan meletakkan di bagian atas pematang tambak. Namun, ada beberapa hari
di tahun yang sama tidak melakukan aktivitas tersebut. Sesuatu yang cukup
berbeda.
Saya masih ingat, kakek berdiri di
tepian tambak, tangan-tangannya cekatan meletakkan tanaman seperti kacang
panjang di pematang tambak. Saya baru mengetahui setelah malam tiba, tanaman
seperti kacang panjang itu adalah bibit pohon bakau. Kakek bercerita kalau
pemilik tambak sebelah mengajak untuk menaman bakau, katanya untuk memperkuat
kondisi tanah pada pematang tambak agar tidak mudah longsor. Pohon-pohon bakau
itu masih kecil dengan dua atau tiga daun di bagian pucuk. Di tahun-tahun
tersebut, setiap petak tambak dikelilingi pohon-pohon bakau.
Penanaman pohon bakau tidak hanya dilakukan oleh para petani
tambak di Desa Sriwulan. Tetapi, di wilayah-wilayah yang terdampak banjir rob,
seperti di Jakarta. Berdasarkan artikel yang dimuat dalam website kehati[dot]or[dot]id,
melalui Solusi Agar Jakarta Tak Tenggelam, menyebut salah satu cara untuk menjaga
ekosistem tetap lestari dengan membuat hutan mangrove yang didalamnya meliputi
pohon-pohon bakau dan spesies tanaman lain. Indonesia menjadi salah satu negara
yang memiliki luas mangrove terbesar di dunia, yaitu sekitar 3,31 juta hektar.
KEHATI menyebut,
sekumpulan pohon bakau yang menjadi hutan mangrove memiliki banyak manfaat,
antara lain sebagai tempat tinggal ikan-ikan dan makhluk air lainnya, penahan
abrasi karena memiliki akar yang kokoh sehingga mampu menahan tanah dari
pengikisan akibat terjangan ombak dan arus laut, selain itu mangrove
yang populer dengan blue carbon diketahui dapat menyerap
karbon lebih banyak dari tanaman tropis. Karbon di atmosfer diserap dan
disimpan sebagai biomassa di tegakan pohon serta di tanah atau sedimen.
Berdasarkan data dari buku Urip
Dioyak-oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung,
menyebut, di tahun 2015 luas wilayah mangrove di Kecamatan Sayung cukup
beragam. Desa pemilik hutan mangrove terbanyak adalah Desa Bedono dengan luas
154,46 hektare. Kemudian disusul oleh Desa Surodadi sebanyak 111,96 hektare,
Desa Timbulsloko seluas 99,42 hektare, Desa Sidogemah seluas 32,75 hektare,
Desa Banjarsari seluas 32,32 hektare, Desa Purwosari 16,46 hektare, Desa
Sidorejo 7,91 hektare, dan Desa Sriwulan sebanyak 0,51 hektare. Bahkan
sepanjang tahun 2009-2019, area mangrove di Desa Bedono justru mengalami
penambahan sebanyak 74,76 hektare: dari semula 122,58 hektare menjadi 197,19
hektare.
Banjir Rob dan Pohon-pohon Bakau yang Tersisa di Sriwulan
Desa Sriwulan salah satu desa yang
cukup luas di Kecamatan Sayung, terdiri dari empat dukuh dan ditambah perumnas
tiga bagian, atau lebih dikenal dengan Tahap 1, 2, dan 3. Selain itu, lokasi
sangat strategis, persis di jalur utama Pantura dan berdekatan dengan Kota
Semarang. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk tinggal dan menetap.
Saya ingat lagi, jauh sebelum tiba di
2024. Sepanjang jalan penghubung antara Tahap 2 dan Tahap 3, kanan kirinya
ditumbuhi pohon-pohon bakau dengan ketinggian dua meter lebih. Daun-daun yang
hijau, cukup lebat, dan akar-akar mencengkam kuat ke dalam tanah. Ikan-ikan,
kerang, dan spesies kepiting banyak yang berteduh di sana. Bahkan, ada yang
memanfaatkan teduhnya pohon-pohon bakau sebagai lokasi pemancingan. Kapan lagi
bisa memancing ikan segar di tambak dengan peneduh alami, kan?
Begitu juga dengan pohon bakau yang
ditanam kakek. Pohon-pohon bakau tersebut tumbuh tinggi, berakar kuat, rimbun,
dan hijau. Selain hewan air yang tinggal di sela-sela akar bakau, burung-burung
terlihat sering bertengger di ranting-ranting. Ketika pagi tiba dan sore
menyapa, nyanyian khas alam dari hewan-hewan kecil terdengar menenangkan.
Kini di tahun 2024 pohon-pohon bakau
tidak serimbun sepuluh tahun lalu. Pohon bakau yang ditanam kakek telah banyak
yang tumbang, bahkan, di sepanjang jalan penghubung antara Tahap 2 dan 3, tidak
lagi tersisa. Pohon-pohon bakau kalah dengan gelombang dan arus laut, ditambah
dengan penurunan permukaan tanah yang terjadi secara bersamaan dan terus
berulang.
Perubahan itu benar-benar nyata.
Banjir rob dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh tahun telah mengubah bagian
per bagian dari Desa Sriwulan. Sawah-sawah tinggal cerita, hanya menyisakan
petak-petak tambak yang telah menyatu dengan lautan, rumah-rumah tidak lagi
berjejer seperti pada umumnya, beberapa telah ditinggal dan rusak atau dipaksa
tetap tinggal, jalan per jalan yang terus diurug tanah padas yang seringkali
tergenang ketika banjir rob mengalami kenaikan atau pasang, dan banjir rob
belum berhenti sampai hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Karmilah, Mia., Eka Handriana., dkk.
2023. Urip Dioyak-oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan
Infrastruktur di Sayung. Mata Kata Inspirasi.
Komentar
Posting Komentar