[BUKU] AUTUMN IN PARIS: SURAT MUSIM GUGUR UNTUK SESEORANG DALAM RADIO


AUTUMN IN PARIS, merupakan karya Ilana Tan yang terbit di Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007 dengan tebal 264 halaman. Novel yang juga tersedia di aplikasi iPusnas—dengan antrean yang panjang.

Novel Autumn in Paris menjadi karya Ilana Tan selanjutnya yang kubaca setelah In a Blue Moon. Aku merasa harus membaca semua karya Ilana Tan, karena setelah khatam dua novel tersebut, ternyata menarik dan ringan. Terlebih lagi, ada hal khusus yang menarik perhatianku, seperti beliau senang memasukkan tokoh berlatar belakang orang Asia.

Autumn in Paris bahkan ada dua tokoh yang memiliki darah Asia, sedangkan untuk setting cerita dalam novel berada di Prancis. Siapa sajakah mereka? Akan kuperkenalkan. Dia bernama Tara Dumpont, seorang perempuan blesteran Prancis-Indonesia yang memilih menetap di Paris bersama ayahnya. Tara bekerja sebagai penyiar di salah satu radio ternama di Paris. 

Tokoh selanjutnya ada Sebastien Giraudeau, orang asli Prancis yang berteman baik dengan Tara. Mungkin orang lain yang melihat dan pembaca yang membaca kisah ini akan berpikir berbeda. Mereka ini seperti sepasang kekasih? Ah, mungkin. Sebastien bekerja bersama ayahnya. Kalau dalam cerita dia sedang memiliki proyek besar yang bekerjasama dengan perusahaan di Jepang. Dan satu tokoh lagi yang akan kusebut dalam perkenalan ini adalah Elise, teman kantor Tara. Dia juga berprofesi sebagai penyiar, hanya saja di acara yang berbeda. Menurutku acara ini juga sangat menarik. Je me souviens, yang berisi pembacaan surat-surat yang dikirim para pendengar.

Je me souviens seperti benang yang menghubungkan antara surat-surat dan pendengar. Elise membacakan surat-surat itu dengan apik, dia sangat lihai sekali. Tapi, ada satu surat yang berhasil menarik perhatiannya sekaligus pendengar. "Aku baru tiba di Paris hari itu," (27). Begitulah pembuka dari surat yang dibacakan Elise, pengirim itu mengaku sebagai Fujitatsu. Namun, Tara yang sedang asik mendengarkan siaran tersebut merasa tidak asing. Semakin bertambah hari para pendengar acara radio je me souviens penasaran, bagaimana kelanjutan cerita Monsieur Fujitatsu dengan gadis yang ditemuinya tanpa sengaja di bandara. Saat membaca bagian ini, aku merasakan juga apa yang dirasakan pendengar radio tersebut, penasaran tingkat akut! Apalagi belum juga diketahui siapa pemilik nama Fujitatsu. Ibarat membaca novel, rasanya ingin sekali segera menghabiskan sekali duduk.

Tara hanya menatap malas sahabatnya, Sebastien. Aneh. Seharian tidak bisa dihubungi dan tiba-tiba mengajaknya makan di malam harinya. Bukankah ini menjengkelkan? Tapi, Sebastien sudah memahami Tara. Namun, hal menjengkelkan kembali lagi, Sebastien tanpa persetujuan Tara malah mengajak teman barunya untuk makan malam bersama. Seorang arsitek dari Jepang, Tatsuya Fujisawa. Kamu bisa menebak bagaimana reaksi Tara? Tentu saja, mukanya tertekuk berkali lipat! Aku yakin Sebastien menahan tawa karena melihat ekspresi tersebut. Perkenalan yang biasa. Eh, tunggu!

Menyenangkannya membaca novel berlatar luar negeri itu bisa sekalian ikut jalan-jalan, termasuk dalam novel Autumn in Paris. Tara atas permintaan seseorang menjadi pemandu wisata yang cerewet. "Aku bertemu dengan seorang gadis kemarin. Dan aku berterima kasih kepada gadis yang kutemui kemarin. Dia sudah berbaik hati menemaniku ke museum, tapi aku malah membuatnya bosan setengah mati. Walaupun dia tidak berkata apa-apa, tapi tanpa sadar aku menghitung berapa kali dia menguap di dalam museum. Sebelas kali dalam dua jam." (64). Ada beberapa museum yang sempat disebut dalam novel ini, seperti Louvre, Musee Rodin, dan Musee d'Orsay. Ada tempat lain lagi yang menjadi rekomendasi Tara, yaitu Arc de Triomphe. Bagi Tara, di tempat ini dia bisa melihat pemandangan Kota Paris yang indah. Puncak Arc de Triomphe adalah yang terbaik. Bisa membuatmu sulit bernapas (54).

Paris saat musim gugur sangat menyenangkan, begitulah kata Tara pada Tatsuya. Dia resmi menjadi tur-guide seorang lelaki dari Jepang.

"Hari yang indah sekali," katanya pada diri sendiri, lalu menyiku lengan Tatsuya pelan. "Lihat, daun-daun sudah mulai berwarna cokelat. Bagus sekali bukan?"
Tatsuya memandang gadis itu sambil tersenyum samar.
"Kami—Sebastien dan aku, maksudku—suka sekali musim gugur," desah Tara. Ia menoleh menatap Tatsuya. "Kau tahu bagian yang paling menyenangkan?"
Tatsuya menggeleng, masih tetap memandangi gadis itu.
"Aku paling suka merasakan angin musim gugur di wajahku. Membuat ujung hidung dan kedua pipiku terasa dingin." (57-58)

Tatsuya merasa senang satu hari itu di musim gugur, dia seperti bertemu kebahagiaan lagi setelah kejadian buruk menimpanya, tepat setahun lalu di musim gugur.

Membaca novel Autumn in Paris juga seperti memperkenalkan Jepang, beberapa tentang Jepang juga disebut, seperti makanan khas dan kata tambahan pada nama orang.

"Kalau tidak salah, dalam bahasa Jepang kau harus menambahkan kata -san pada nama orang, bukan?" Tatsuya mengangguk. "Kalau kau sudah mengenalnya dengan baik, kau boleh memakai kata -chan." (60) Pada obrolan ini juga berhasil membuat tersenyum, bahkan Tara mengatakannya. Menyenangkan sekali menyimak cerita mereka, ditambah cerita sekilas tentang Sebastien yang playboy atau Elise yang sangat perhatian dengan Tara.

Surat-surat dari Fujitatsu terus dibacakan saat je me souviens berlangsung. Bahkan lebih mirip catatan harian seseorang bernama samaran Fujitatsu. Para pendengar juga semakin penasaran dan menunggu kisah-kisah lanjutan. Saat membaca bagian ini, aku merasa kalau seperti kembali ke masa lampau, saat di mana berkirim surat dan menyapa seseorang melalui radio adalah hal yang menyenangkan dan dinanti-nanti. Klasik dan unik. Bagian rawan baper banget!

Semakin bertambah halaman, cerita Autumn in Paris semakin menarik. Aku tidak akan menyebutkan bagaimana akhir dari cerita di Paris ini. Pokoknya, Tara, Sebastien, Tatsuya, Elise, dan seseorang bernama samaran Fujitatsu yang dalam surat-suratnya selalu menyebut Gadis Musim Gugur akan menemukan jalan masing-masing. Sebagai penutup ulasan Autumn in Paris aku mengutip satu pembuka surat yang dikirim Fujitatsu untuk je me souviens. "Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu."

Komentar