[PSIKOLOGI] MLANCONG KE KAMPUNG PECINAN
MLANCONG
KE KAMPUNG PECINAN
Oleh:
Amaliya Khamdanah
Halo,
Assalamu’alaikum! Selamat datang di tulisan kedua pada 2019 ini, uwuwu~ Apa
kabar nih? Sehat dan waras kan? Haha. Nggak kerasa banget ya, saya setahun
nggak nulis. Haha. Ada yang kangen tulisanku? Nggak Mal, aku kangen dia yang
nggak kangen aku. Huaaaa! Hadeeeh, sambaaaat terosssss!
Pada
postingan kali ini, saya mau nulis pengalaman Desember lalu saat jalan-jalan ke
Pecinan Semarang. Pasti sudah nggak asing lagi kan dengan Kampung Pecinan di
Semarang? Nah, kalau belum tahu dan baru denger atau ada keinginan ke sana tapi
belum terlaksana, baca deh, cerita sederhanaku pas observasi langsung ke
Kampung Pecinan, Semarang.
Selasa,
4 Desember 2018
Seperti
yang pernah saya singgung sebelumnya, materi kuliah di semester lima memang
penuh kejutan dan tentu menengangkan menyenangkan. Dimulai dari belajar
mengenali diri sendiri, cari orang yang mau dijadiin subjek buat tugas, ke
sekolah luar biasa, sampai observasi rasa panik piknik! Yups tepat
banget, salah satu mata kuliah psikologi, lebih tepatnya Psikologi Ulayat itu mendapat
tugas akhir—sebelum UAS—untuk mengobservasi suatu tempat—bebas—yang terpenting
ada unsur kebudayaan dan psikologinya. Oh iya, Psikologi Ulayat itu sama seperti
Psikologi Lintas Budaya.
Satu
kelas dibagi menjadi dua kelompok, cukup besar sih, jadi satu kelompok terdiri
dari 20 orang. Kebayang kan betapa banyak orang saat itu, kalau misal terjun ke
lapangan pasti dikira banget turis atau lagi studi wisata! Haha.
Singkat
cerita, kelompok kami memilih Kampung Pecinan Semarang sebagai destinasi wisata
sekaligus observasi, sedangkan kelompok kedua memilih Goa Kreo yang terletak di
Jatibarang, Desa Kandri, Gunungpati, Semarang, sebagai target observasi dan
wisata.
Kampung
Pecinan Semarang terletak di dekat Pasar Johar Semarang, lewat jalan Pemuda sih
kalau mau ke Pecinan, atau nggak lewat jalan Gajahmada terus belok kiri pas ada
bangjo. Cek google-maps aja wes.
Kp. Pecinan Semarang (4/12/18) |
Kami
pun berkumpul di depan kafe dekat tugu Pecinan. Oh iya, ketika mau memasuki
kawasan Pecinan ini bakal ada gapura besar berwarna merah dihiasi lampu-lampu
khas Cina itu. Jangan kaget ya, sebelum dan sesudah memasuki Kampung Pecinan
sepanjang mata memandang adalah barisan toko dan ruko-ruko, dan orang-orang
yang berjualan. Ehehe.
Suasana siang di Kp. Pecinan Semarang (4/12/18) |
Terus
pemukiman warganya di mana, Mal? Kalem gaes, kalem, bakal
aku bahas sedikit di sini. Nah, setelah hampir separuh lebih teman-teman
sekelompok berkumpul, kami pun bergegas membentuk kelompok yang sudah
disepakati di grup whatsapp dan benar-benar mencari narasumber terkait
materi yang telah dibagikan sebelumnya.
Oh
iya, patner saya saat itu Diyah—perempuan yang berjibaku di dunia pers, seneng
nyastra, banyak tulisannya yang sudah tersebar di majalah, tabloid, sampai
website, wes pokoke akeh—teman saya ini ngajakin langsung ke kelurahan Pecinan.
Sekadar infornmasi, Kampung Pecinan ini termasuk dalam Desa Kranggan, jadi di
Kranggan itu ada beberapa dukuh—atau apalah itu istilahnya. Wkwk. Cukup jauh
juga sih kalau jalan, tapi kalau naik motor pun nggak bisa menikmati indahnya
Kampung Pecinan.
Seperti
yang saya tulis di awal, ketika memasuki Kampung Pecinan ini bakal banyak
ditemukan toko dan ruko yang berjejer rapi di kanan kiri jalan. Tapi setelah
memasuki gang-gang akan ketemu rumah-rumah warga, warung makan (tapi ini jarang
sih), usaha rumahan (ini juga jarang), sampai klenteng.
Masih
ingat film Kukejar Cinta Sampai Negeri Cina, nggak? Nah, salah satu
tempat syuting yang digunakan adalah klenteng yang ada di kawasan Kampung
Pecinan ini. Tapi pas saya muter-muter di sana nggak nemu, heuheu, ajakindongkesana~
cariangelfoto~ hadeeehhhhh.
Memang
benar sih, selama kami melakukan perjalanan panjang menuju kantor Kelurahan
Kranggan ini, kami disuguhkan pemandangan khas, ya ada rumah bertingkat,
toko-toko, klenteng, kantor bank, tapi uniknya itu banyak ditemui rumah atau
bangunan yang masih khas banget dengan masa kolonial gitu. Pun pada jalannya,
bukan aspalan atau beton tapi dengan paving. Nah ini juga menambah suasana khas
banget.
Cek
link video ini kalau mau gambaran berjalannya. Like dan subscribe juga, ya.
Wkwk.
Nah,
setelah berjalan dan muter-muter cukup jauh, kami berhenti di bagunan berlantai
dua. Sebenernya saya nggak ngeh pas Diyah menyuruh berhenti di tempat ini,
sampai akhirnya bilang, “ini kantor kelurahannya, Mal.”
Kami
pun masuk, bertanya-tanya sedikit pada petugas. Nah, kunjungan observasi kami
kali ini itu pas banget, karena Pak Lurah Desa Kranggan ada di tempat. Jadi,
kita bisa tanya-tanya langsung ke pimpinan desanya.
Namanya
Pak Agus (kalau nggak lupa nama), beliau banyak bercerita, di mulai dari
kegiatan-kegiatan yang sering diadakan di Kampung Pecinan sampai sejarahnya. Berdasarkan
cerita yang kami peroleh dari sini, kalau orang Pecinan yang ada di Kampung
Pecinan ini termasuk Cina peranakan. Iya karena dulu bangeeet, orang-orang Cina
yang berdagang ke Semarang menikah dengan pribumi.
Nah,
untuk wisatanya juga ada. Diadakan setiap Sabtu dan Minggu malam, namanya Pasar
Semawis. Di Pasar Semawis ini dijajakan beraneka macam jajanan khas Semarangan.
Saya belum pernah ke sana sih, tapi sepertinya bisa dimasukkan list ketika
teman-teman berkunjung ke Semarang pada malam hari.
Acara
tahunan juga ada, yaitu pas mau imlek (saya lupa acaranya), dan uniknya lagi
sewaktu Ramadan tiba, masyarakat di Kampung Pecinan ini sangat toleransi. “Bahkan
warga (non) juga ikut membagikan takjil gratis.”
Wow,
sangat luar biasa. Masyarakat berbeda keyakinan yang hidup saling berdampingan,
saling menebar kebaikan pada sesama. Itulah Indonesia.
Oh
iya, selama blusuk-blusuk di Kampung Pecinan alias pas kami jalan kaki menuju
kantor kelurahan sampai balik lagi ke Tugu (dekat gapura Kampung Pecinan)
warga-warga yang kami temui dan simpangi (berpas-pasan) itu ramah-ramah.
Sudah
ya, sampai di sini dulu cerita yang sebenarnya ingin saya posting beberapa
bulan yang lalu. Tunggu cerita-cerita lainnya, ya.
Salam.
Komentar
Posting Komentar