[PSIKOLOGI] KHUSUS; CERITA PERTAMA KE SLB

KHUSUS; CERITA PERTAMA KE SLB



Assalamu’alaikum. Hai, apa kabar? Semoga kamu selalu dalam rahmat dan lindungan-Nya. Aamiin. November ini kayaknya saya ngegas banget nulis di blog-absurdnya, iya walaupun di bulan-bulan sebelumnya, saya sempat ngegas juga buat posting di sini. Bedanya sama beberapa bulan yang lalu, tulisan yang saya posting adalah berkaitan dengan tugas. Nah, khusus di bulan ini—dan bisa dibilang mulai Oktober lalu—tulisan-tulisan yang saya posting di blog-absurd ini masuk kategori pengalaman. Haha. Cieeeee…
Aku tak sengaja melihatmu, dalam hitam bola matamu, ada semesta yang selalu memelukmu.
Materi perkuliahan ARBK atau Psikologi Anak Remaja Berkebutuhan Khusus adalah salah satu mata kuliah di semester ini. Tentu selain mata kuliah tes-tes psikologi yang begitu luar biasa! Nah, tugas sekaligus piknik yang diberikan pun tak jauh-jauh dari hal tersebut. Yups, kami diizinkan melakukan observasi dan wawancara ke SLB! Yey, Alhamdulillah! Tahu, nggak, kalau memang sebelum perintah ini ada, dalam hati saya ada keinginan untuk dolan-dolan ke SLB, tapi karena saya bocah gembeng maka nggak berani ke sana sendirian. Dasar, jomlo! Haha.

SLB atau Sekolah Luar Biasa ini memang sangat berbeda dengan sekolah pada umumnya. Jelas ya, karena di sekolah ini sangat dikhususkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sedikit info aja, nih, selain SLB ada juga sekolah lainnya dengan sebutan sekolah inklusi. Kalau sekolah inklusi ini masih bisa untuk anak-anak normal. Jadi, dalam sekolah inklusi ada anak yang normal dan berkebutuhan khusus. Paham ya? Oke, kita lanjut.

Di Semarang sendiri, karena termasuk kota besar, karena memang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah, terdapat banyak SLB. Bahkan kalau tanya Mbah Google itu kebanyakan di daerah Semarang Atas, ya kayak di Gunungpati dan Semarang Kota, kalau di dekat perbatasan pasti sulit ditemukan.

SLB yang kami gunakan untuk observasi dan wawancara ada di kawasan Semarang Kota, tepatnya di Bulu Lor—lewatin jembatan Banjir Kanal Barat dan Semarang Indah. Sekolah Luar Biasa (SLB) Pelita Ilmu namanya. SLB ini terletak di jalan Erowati Utara, SLB ini tidak terlalu besar. Berbeda dengan SLB yang pernah saya kunjungi bersama salah seorang teman—juga hendak melakukan kunjungan—karena memang letak SLB ini berdekatan dengan rumah-rumah warga.

Pertama kali berhenti dan mematikan mesin motor matik, saya pikir sekolah dihadapan saya adalah TK. Kemudian saya sadar, kalau di depan saya terpampang tulisan besar SLB PELITA ILMU. Ya Rabb, mata saya yang bermasalah! Kami pun turun dari motor dan melepas helm, menyiapkan surat perizinan untuk observasi.

Oh iya, sebelumnya observasi ini dilakukan oleh 4 orang termasuk saya. Kami pun dipersilakan masuk ke SLB Pelita Ilmu. Seorang lelaki setengah baya menanyai kami, lalu mempersilakan kami masuk sekolah tersebut. Jujur saja, ketika melangkahkan kaki ke dalam, SLB ini terlihat sangat ramai. Dimulai dari anak-anaknya yang memilih bermain di ayunan dekat gerbang, orangtua murid yang menunggu di koridor kelas, dan sungguh jika saya tidak bisa menjaga ekspresi betapa terkejutnya saya, mungkin mulut saya sudah membentuk huruf O. Haha. Catat! Ini pertama kalinya saya bertemu langsung dengan anak-anak berkebutuhan khusus!

Kami sudah melewati koridor yang isinya orangtua murid. Selanjutnya beberapa anak, kalau tidak salah ada 3 anak yang tiba-tiba menghadang jalan kami. Satu laki-laki dan dua perempuan. Seketika tangan kanan mereka mengulur—seolah hendak berjabat tangan—sontak kami pun juga membalasnya dengan berjabat tangan. Senyum merekah keluar, sempurna melengkung keramahan. Hal ini secara tidak langsung membuat kami harus menyesuaikan diri, salah satunya tetap tersenyum saat berhadapan dengan mereka.

Lucunya, saat kami hendak melangkah, sengaja ditahan oleh anak laki-laki tersebut dengan banyak bicara, beberapa anak-anak di SLB tersebut yang melihat kedatangan kami langsung mendekat dan melakukan hal yang serupa; berjabat tangan. Kami sebagai orang baru di SLB tersebut sedikit kebingungan membalas ucapan mereka. Paling pol menjawab, “Oh iya? Bagaimana? Oh begitu? Yang mana?” iya, balasan kami tidak terlalu panjang. Heuheu.

Kami pun bertemu dengan salah satu guru, mejelaskan kedatangan dan memberikan surat izin. Oh iya, satu minggu sebelum ini, kami sudah melakukan survei mengenai perizinan tempat observasi.  Kami disuruh untuk duduk dahulu. Kami pun melakukan saran yang diberikan, duduk-duduk di koridor kelas dan bertepatan dengan jam istirahat.

Kami pun mengamati sekitar. Bahkan, beberapa anak perempuan mendekati kami, berbicara banyak hal mengenai dirinya, teman, atau kegiatan yang dilakukan. Saat awal-awal memilih duduk di koridor, kami sengaja bertanya-tanya dengan anak perempuan, dia terlihat sudah lebih besar ketimbang anak-anak lainnya. Namanya Widya, dengan rambut pendek. Nah, Widya ini—saya yakin, kalau dia tidak berkebutuhan khusus ia orang yang berani—saat itu, Widya selalu mengerjai temannya bernama Amel *bukansaya. Kalau Amel ini orangnya gembeng, *njirbukansayalagi, dia berkerudug. Widya mengerjai Amel dengan mengambil jaket atau botol minuman milik Amel dan menyembunyikannya. Nah, pas jaket atau botol minum di tangan Widya ini, si Amel merengek minta bantuan ke kami. Iya, karena kalau kami sepenuhnya menolong mereka, mereka juga akan gandul terus menerus, yang bisa kami lakukan hanya dengan ucapan, “Widya, ayo balikin punyanya Amel atau Widya yuk salaman dulu sama Amel, nah gitu kan bagus.” Dan berhasil! Uwuwu~

Selain dua perempuan tersebut, ada satu perempuan lagi yang menyita perhatian saya. namanya Hani. Nah, kalau Hani ini berambut pendek seperti Dora, beracamata, dan selalu membawa ponsel. Tapi, kalau Hani, saya nggak sempat mendekatinya, karena saat hendak ke sana, saya tertahankan oleh anak-anak yang lainnya. Berdasarkan penuturan teman, Hani lebih senang bermain gadget, ia memahami dan bisa berbahasa—tidak seperti Widya dan Amel—bahkan, Hani juga menunjukkan letak rumahnya melalui google-maps. Mantap!

Saat saya berdiri tiba-tiba dari kiri saya, seorang anak perempuan—dengan potongan rambut seperti Dora—seketika pula saya ingat sewaktu TK dengan potongan rambut yang serupa. Heuheu—menghampiri saya. Ia tersenyum pada saya dan tanpa basa basi saya ajak salaman dan berbalas senyum. Saya pun melakukan hal yang sama, menanyakan namanya. Nahas, karena faktor nggak pekanya aku atau memang anak perempuan ini tidak menyebutkan nama, saya tidak tahu namanya. Bahkan sampai saat ini. Heuheu. Parah banget nih aku.


Anak perempuan ini memegang tangan saya, saya juga tak mau kalah, saya pegang seperti saat saya memegang keponakan sendiri. Karena saya masih penasaran dengan namanya, saya kembali bertanya. Namun, jawaban yang diberikan masih sama, seolah dia berbicara dan mengajak saya membahas hal lainnya. Benar saja, melalui gerakan tangannya, beberapa kali ia menunjuk ke teman-temannya, termasuk Widya dan Amel.

Berhubung kedatangan kami di SLB tersebut menempati jam istirahat, semua penghuni sekolahan sibuk menyiapkan makan—bagi guru—dan anak-anak melakukan aktivitas di luar kelas; ada yang bermain, duduk di dekat orangtua, bahkan ada yang ikut nimbrung di dapur.

Masih di lokasi yang sama, seorang anak laki-laki mendekat. Di tangannya ada mangkuk yang isinya makanan. Anak laki-laki ini saya perkirakan masih SD antara kelas satu/dua. Saya tidak tahu pasti, karena pas saya ajak kenalan, anak laki-laki ini sibuk mengunyah makanan, malah menawarkan, “Makan, makan.” Lama sekali anak laki-laki yang ini makan. Tak lama, di hadapan kami—memang sebelumnya ada tikar yang digelar tak jauh dari kami—anak-anak lainnya mendekat dan makan di atas tikaran tersebut.

(7/11/18) Kegiatan rutin usai makan bersama; sikat gigi

Uniknya—mungkin karena saya belum pernah ke SLB sebelumnya—seusai makan, anak-anak dibiasakan untuk menyikat gigi. Mereka sangat antusias, terlihat dari kecepatan mereka waktu diberi aba-aba untuk menyiapkan kaleng plastik, pasta gigi, dan sikat gigi.

Nah, sampai di sini dulu ya, cerita khususnya. Semoga ada manfaat terselubung di baliknya. Salam.


Semarang, 29 November 2018.

Komentar