[REVIEW BUKU]--AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG
Oleh: Amaliya Khamdanah

            Assalamu’alaikum, gimana kabarnya? Semoga selalu dalam lindungan-Nya, aamiin J Saya kembali lagi, kawan! *seketikalari* *Eh! Episode kali ini saya mau membacakan, eh bukan tepatnya saya mau posting tentang buku yang usai saya baca. Resensi Mal? Bukan. Terus? Gak tahu juga, haahhaa. Intinya nulis, nulis apa juga gak tahu penting blog super absurd saya gak terbengkalai. Mau nulis resensi masih bingung mulainya, review kali ya? Atau mungkin curhatan? *Eh!

            Pada episode kali ini saya mau bahas salah satu novel yang udah pernah saya baca sebelumnya *mestilah* dari sekian koleksi novel yang pernah tak baca, yups judulnya “Ayahku (Bukan) Pembohong”  karya Tere Liye. Novel ini terbitan GPU, itu lho penerbit mayor ternama di negeri ini. Novel ini adalah karya kesekian Tere Liye. “Ayahku (Bukan) Pembohong” terbitan tahun 2011, dan saat ini sudah mencapai cetakan ke-12. Woow! Next ya!



            Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan,  tertawa gelak, bercengkrama, lentas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh sayang padanya?
            Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesedrehanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kita tidak menemukan rumus itu di novel ini, tak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.
            …………. TereLiye, “Ayahku (Bukan) Pembohong”

            Nah, dua paragraph diatas adalah blurb novel ini. Novel dengan tebal 304 hlm ini berhasil menyuguhkan cerita yang luar biasaaa! Kau tak penasaran dengan novel ini? Ditahun lalu saya di rekomendasikan teman  untuk membaca novel ini, saya hanya mengiyakan, beberapa hari setelahnya saya searching di goodreads, saya menemukan blurbnya dan saya tidak tertarik membacanya. Ditahun ini, sebagai penumpas rasa galau, saya meminjam novel ini ke teman saya, dan terima kasih untuk kawan saya yang berbaik hati meminjamkan novel ini ke saya, gak sia-sia pokoknya *pancalRizkaF*

            “Ayahku (Bukan) Pembohong” terdiri dari 32 bab. Alur cerita maju mundur. Pada bab pertama kita akan dibawa ke masa dimana Dam—tokoh anak dalam novel—sudah bekerja sebagai seorang arsitek, memiliki dua monster kecil Zas dan Qon. Alur maju di bab pertama hanya berlangsung beberapa lembar saja, dan di bab kedua kita kan dibawa ke masa tiga puluh tahun silam ketika Dam masih SD. Dam sangat mengidolakan pemain legendaris—sang Kapten. Ayah Dam selalu menceritakan tentang sang Kapten. Semuanya,  baik perjuangannya ketika  harus terus berlatih bermain bola dengan bola kasti dibelakang restoran, ditolak audisi salah satu klub sepak bola karena kurang tinggi, dipanggil si keriting oleh orang-orang, bahkan ketika sang Kapten bekerja sebagai pengantar sup di salah satu restoran. Ayah Dam mengenal baik bahkan mereka sahabat baik. “Seperti yang kau tahu, Dam. Ayah pernah mendapat beasiswa untuk sekolah di luar negeri. Nah, apartemen Ayah tidak jauh letaknya dari flat sempit milik keluarga sang Kapten.”—Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 13.



            Di bab-bab selanjutnya kita akan dibawa ke masa lalu Dam, ketika Dam bergabung dengan klub renang, bertengkar  dengan Jarjit teman SD Dam, Taani satu-satunya teman yang tak memanggilnya si Penegcut dan si Keriting dan cerita-cerita Ayah Dam lainnya, salah satunya Suku Penguasa Angin. “Padang penggembalaan mereka dikuasai beratus tahun, Dam. Rumput subur, mata air, domba-domba gemuk dan bersusu banyak. Semua sumber penghidupan mereka dijajah lima generasi , dimusnahkan, diganti jadi ladang tembakau, tumbuhan yang amat mereka benci turun-temurun. Tetapi mereka tetap bisa bersabar, bisa mengendalikan diri dengan baik.”—Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 35.



           Bab 13. Usia Dam 15 tahun, Dam sekolah di Akademi Gajah. Kedengaran aneh bukan? Di bab ini juga saya mengutip beberapa kalimat, tentu saja yang membuat saya tertarik untuk mencatatnya. Kalian belajar tentang petir, bukan?  Kepala sekolah tidak membacakan teori apa itu petir. Ia menyuruh kami berdiri diatas menara sekolah. Hujan badai dan semburat kilat terlihat mengerikan. Kami sibuk menjulurkan laying-layang keatas, mengulang penelitian legandaris itu. Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 114.

           “Kalian pikir ide gravitasi hanya gurauan di kepala Newton? Hukuman kalian baru berakhir jika ada buah apel yang jatuh. Dan semoga saat itu terjadi, kalian paham bahwa ilmu pengetahuan adalah proses kontemplasi panjang. Katika kepala kalian digunakan untuk merenung, berpikir terus menerus, bukan sekedar hiasan atau lelucon. Mengerti?”Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 119.

            “—Suku Penguasa Angin terlalu bijak untuk melawan kekerasan dengan kekerasan. Membalas penhinaan dengan penghinaan. Apa bedanya kau dengan penjajah, jika sama-sama saling mendzalimi, saling merendahkan?—”—Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm:157.


            Di bab ke-20, Si Raja Tidur. Si Raja Tidur adalah seorang hakim yang jujur, Ayah Dam juga mengenal baik si Raja Tidur. “Kekuasaan itu cenderung jahat dan ekuasaan yang terlalu  lama itu cenderung lebih jahat lagi. Semua orang cenderung pembantah, bahkan untuk sebuah kritikan yang positif, apalagi sebuah tuduhan serius berimplikasi hukum, lebih keras lagi bantahannya. Bangsa yang korup  bukan karena pendidikan formal anak-anaknya rendah, tetapi karena pendidikan moralnya tertinggal, dan tidak ada yang lebih merusak dibandingkan anak pintar yang tumbuh jahat. Orang-orang dewasa yang jahat sulit diperbaiki meski dihukum seratus tahun, jadi berharaplah dari generasi berikutnya perbaikan akan datang. Istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi kejahatan , dan sebaliknya  juga bisa menjadi motivasi besar kebaikan. Ada banyak sekali kata-kata bijak si Raja Tidur, Dam.”—Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 185.

            Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biarkan waktu yang menjadi obat.—Kepala Sekolah Akademi Gajah, Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 242

            Di bab hampir akhir, 31—Danau Para Sufi. Ketika Ayah Dam bercerita lagi, setelah sekian lama Dam tak mempercayai cerita-cerita Ayahnya. Ayah Dam terbaring lemah di rumah sakit. “Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam,  dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau keruh berkepanjangan.
            “Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, kerena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak pernah terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.
            “Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sungguh-sungguh, dan atas pilihannya sendiri memaksa hati kau berlatih.
“………… --Ayahku (Bukan) Pembohong, hlm: 292.

            Sampailah pada penghujung acara, eh emang ini acara apa ya? Abaikan. Tertarik baca novel ini? Tertarik sih, tapi pinjemin dong, yah sama aja. Saya, harus membaca berulang kali novel ini, memahami lagi isinya. Saya sangat suka gaya tulisan Tere Liye, enak gitu. Dua tahun yang lalu, saya kira novel yang saya baca (read: Rindu) adalah novel terjemahan. Eh, ke-kepoan saya akut, searching sana sini cari tahu, ternyata karangan  Tere Liye, penulis asli Indonesia. Tere Liye sendiri adalah nama pena. Nama aslinya? Lihat dibeberapa karyanya pasti ada.


            Semoga bermanfaat review absurd saya, salam J

Komentar