Surat, "Budayaku, Identitasku"
Demak,
17 Mei 2015
Kawan
seperjuangan, Nusantara.
Assalamu’alaikum wr. wb
Untuk kawan-kawanku sebangsa dan setanah air. Apa kabar kawanku? Aku selalu
berharap engkau, kawanku selalu baik dan senantiasa dalam Lindungan-Nya. Amiin.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Amaliya Khamdanah. Mereka sering menyapaku Liya,
dan Mal. Aku lahir di kota yang penuh akan sejarah, yaitu Kota Demak. Sekarang
aku melanjutkan study menengah atas di kota Semarang, tepatnya MAN 2 Semarang
kelas XI IPS 1. Namun tenang saja, kita masih dalam ruang lingkup yang
sama, Negara Indonesia.
Untuk kali
ini ijinkan aku tuk merangkai sebuah kata menjadi sebuah surat, tentang Aku,
Kamu, Dia, Mereka, dan Bangsa ini. Menghidupkan kembali budaya, sebagai
budayaku identitasku.
Bolehkah aku menyapa kawan seperjuanganku yan tersebar luas di Indonesia untuk
mengawali isi surat ini? Aku, Kamu, Dia, dan Mereka adalah seperjuangan,
sepenanggungan. Kita sama-sama lahir di tanah yang sama, Indonesia. Leluhur
kita juga pernah bersama-sama menjaga, melinungi, dan merebut tanah ini dari
para penjajah. Kita sedarah, diantara kita juga erat ekali ikatan batinnya.
Negeri
Katulistiwa adalah salah satu sebutan untuk tanah pertiwi ini. Negeri yang
dimana tersebar luas berbagai budaya, dari Sabang sampai Marauke, dan dari
pulau Rote sampai pulau We, berjajar pulau-pulau. Entah pulau besar sampai
terkecil semuanya ada. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya
beserta pulau kecil lainnya. Hebatnya disetiap pulau atau daerah terdapat
puluhan bahkan ribuan kebudayaan. Dimulai dari tari-tarian, alat musik, lagu
daerah, bahasa, bahkan setiap daerah memiliki adat istiadat sendiri dan
tentunya sangat unik.
Seperti di
Pulau Jawa, ada Jawa Barat yang memiliki Angklung, bahkan alat musik yang satu
ini telah Go to
International. Selain Angklung juga ada tari-tarian, seperti tari Jaipong.
Jawa Tengah yang terkenal akan keluwesan dan kelembutannya. Batik Pekalongan,
batik Solo juga telah merambah dunia Internasional, motif-motif dari setiap
daerah menjadi ciri kahas yang sangat menarik. Jawa Timur, Reog Ponorogo,
semacam Barongshai dari Cina. Namun Reog Ponorogo lebih unik, menarik,
dan tentunya lekat ditelinga masyarakat akan cerita mistisnya. Selain dalam
bentuk kesenian, alat musik dan tari-tarian. Negeri Katulistiwa ini memiliki
puluhan bahasa. Bahasa Melayu, Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, dan masih banyak
lagi. Namun para leluhur berhasil mempersatukannya menjadi bahasa yang satu,
Bahasa Indonesia. Selain dalam segi bahasa ada satu hal lagi yang perlu kita
ketahui sebagai remaja generasi bangsa yaitu tata krama atau prilaku,
unggah-ungguh. Namun, sangat disayangkan kebanyakan remaja banyak yang lupa
tata krama.
Bebarapa hari
yang lalu sebelum aku menuliskan surat ini, aku menemukan sedikit informasi
tentang budaya kita dan negeri sebrang, klaim. Ada beberapa warisan leluhur
kita yang telah diklaim oleh mereka, seperti batik dari Jawa yang diklaim oleh
Adidas, tempe dari Jawa oleh Jepang, Reog Ponorogo, tari piring, tari pendet,
gamelan, wayang, angklung, lagu jali-jali diklaim oleh Malaysia, dan mungkin
masih banyak lagi. Namun, sayangnya kita tak mengetahuinya.
Sebenarnya aku ragu menuliskan surat ini. Aku berani menulis tetapi tak berani
bertindak. Aku berani berkoar-koar hanya lewat tulisan. Apakah mereka akan
mendengar jeritanku dalam surat ini? Ah rasanya mustahil! Entah ketika membaca
dan mengingat negeriku yang sangat kaya raya, aku menangis. Seperti ada luapan
ombak dari samudera pasifik yang menghantam. Pulau kecil diperbatasan telah
hilang, dimanfaatkan negara lain. Kebudayaan asri negeri ini terpendam sendiri
oleh kelakuan remaja generasiku yang terjajah budaya lain, termasuk aku!
Hei apa yang bisa kulakukan lewat surat ini! Masa depan negara ada di tangan
kami, genersi emas negeri katulistiwa. Aku tak ingin melihat Seokarno-Hatta
sang prolamator Indonesia menangis. Aku juga tak ingi melihat para Wali songo
menangis akan tingkah remaja masa kini yang melampaui batas! Dan aku tak ingin
melihat mereka para pahlawan dan leluhur bangsa ini menyesal dan menangis
tersendu-sendu karena telah memerdekakan Nusantara dari penjajah.
Aku lemah, aku bukan siapa-siapa. Aku butuh kalian, kawan! Ayolah kurangi ego
kalian. Ayolah kita bersama-sama menjaga, melindungi tanah ini. Kebudayaan itu
milik kita, bukan mereka. Mereka hanya mengaku bukan yang menciptakan. Kata
guruku, generasi kita adalah generasi emas. Kita nantinya yang akan memegang
semua peranan penting untuk negeri ini. Boleh dan sah-sah saja belajar di luar
negeri tapi ingatlah kawan, serap ilmunya dan pertahankan budaya milik kita.
Bukankah sesuatu hal yang membanggakan jika negeri ini bisa maju melebihi
Amerika Serikat? Kita punya segalanya. Lautan luas membentang lengkap denagan
isinya, daratan yang tak kalah luasnya dengan tanah yang sangat subur. Bahkan
ribuan budaya telah tersebar, bukankah seperti surga?
Budayaku identitasku. Banyak hal yang harus ku pelajari saat ini. Kelak aku
bersama kawan seperjuanganku akan mendapat giliran menjaga, merawat, melindungi
negeri dan budaya bangsa ini. Budaya adalah cerminan bangsa ini, identitas yang
tak akan musnah walau termakan zaman.
Untaian kata yang telah menjadi surat ini, mungkin cukup sampai disini, kawan.
Pasti kita akan bertemu lagi! Mungkin surat ini banyak menyimpan kesalahan,
namun aku selaku penulis surat ini meminta maaf sebesar-besarnya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Perangkai
Aksara
Amaliya
Khamdanah
Komentar
Posting Komentar