[SAAT KITA CERITA NANTI] BAHKAN, DI KEDALAMAN MIMPIKU


Aku mengenalmu beberapa tahun lalu lewat sepucuk surat yang jatuh. Rupanya lembaran itu berisi namamu lengkap dengan tatapan yang tak ubahnya batu. Tidak ada senyum hangat. Hanya saja rekaman singkat itu terus berulang.

Aku menertawakan diriku, mengapa hanya dengan sepucuk surat, apa-apa yang berkaitan tentangmu selalu memutar tanpa aba-aba. Ah, aku salah, tatapan tanpa senyuman itu hanya pintu tanpa tanaman. Selebihnya, hijau daun telah tumbuh dalam ruang per ruang. Kamu meneduhkan, bahkan di saat diam dan sulit. Sepertinya, usai tatapan dingin yang lebih dingin dari bediding, hal-hal baik yang pernah kamu lakukan terekam dalam sepasang mataku. Membekas dalam ingatanku.

Kesekian kalinya, hadirmu yang tanpa banyak celoteh menjadi hal yang selalu kutunggu. Menenangkan. Aku sempat bertanya-tanya, apakah ada dari masing-masing kita menjadi hal yang sama-sama ditunggu? Untuk sekadar ramai yang selalu menjadi suara kesukaan, atau diam yang menemani dalam tenang.

Menyenangkan sekali mengingat-ingat itu semua. Sebelum akhirnya tersadar, kamu sudah melangkah jauh. Mungkin jika diperumpamakan jalan, tahun-tahun yang telah berlalu itu adalah simpangan jalan yang mempertemukan kita. Obrolan panjang yang tak ada habisnya atau jeda yang selalu kutunggu agar bisa berlama-lama berdiri disampingmu, adalah dua dari banyak hal. Rumah-rumah yang telah kita lewati dan taman yang terus tumbuh, atau kerumitan jalan yang bisa kita lewati dengan mudah.

Aku terkesima dan takjub. Ada Cinta disetiap langkah.

Benar, kamu sudah melangkah jauh. Langkahmu yang masih tegap seperti dulu perlahan tak terlihat dan bayanganmu mulai samar.

Aku kira kita akan bertemu lagi di persimpangan jalan yang lain. Nyatanya, sampai aku bertemu lagi denganmu di mimpi, kamu telah melangkah jauh—tak kembali.

Bahkan, di kedalaman mimpiku, kamu telah melangkah pergi.

Komentar