[BUKU] IBUK, BUKU YANG SEDIH DAN GETAR-GETIR


Sudah pernah membaca novel atau menonton film 9 Summers 10 Autumns? Kalau belum, tak apa, kamu bisa menontonnya melalui streaming film di Netflix atau membaca novelnya. Mungkin, beberapa toko buku masih menyediakan novel terbitan tahun 2011 dan kamu bisa membelinya atau membaca legal melalui aplikasi iPusnas (atau lewat aplikasi baca legal lainnya). Tersedia banyak sekali. Namun, untuk kali ini, aku tidak membahas novel itu, tetapi, Ibuk, novel lainnya karya Iwan Setyawan.

Ibuk, menjadi novel yang terbit pada 2012 di Gramedia Pustaka Utama, dengan 308 halaman termasuk kover belakang. Kalau ada kurang tepat penyebutan halaman, mohon dimaafkan, ya, aku membaca novel ini melalui aplikasi perpus digital, iPusnas. Mungkin ada beda jumlah halaman? Tenang saja, untuk cerita akan tetap sama, baik cetak maupun versi digital.

Boleh aku menyebut buku ini sebagai buku sedih yang penuh getar-getir? Ah ya, aku sudah menulis begitu di paragraf ketiga ini. Memang begitu, setidaknya menurutku. Aku seperti membaca perjalananku sendiri. Ah tidak, lebih tepatnya sesuatu yang dekat denganku. Beberapa cerita mirip sekali. Tak sanggup untuk tidak nyesek dan menitihkan air mata. Malesi, aku sempat menahan air mata untuk tak tampak menangis saat membaca novel ini di tempat umum. Novel sederhana yang tak banyak bumbu drama, tapi, kehidupan itu sendiri penuh dengan 'drama'. Terasa nyata betul. Aku jadi teringat, saat tokoh aku memutuskan menulis sejarah keluarganya, agar tidak hilang begitu saja. Doa-doa dan perjuangan Ibuk dan Bapak. Malam itu, Bayek berjanji menulis sejarah keluarga buat keponakan-keponakannya. Agar mereka tidak terputus dengan sejarah keluarga, agar mereka tahu perjuangan kakek, nenek, dan ibu-bapak mereka. Agar mereka lebih menghargai hidup yang mereka lalui sekarang. Agar mereka lebih mencintai ibu, bapak, dan kakek-nenek mereka (hlm: 234).

Alur yang digunakan dalam novel ini alur maju, tetapi, bab awal kan membawamu pada masa silam, kisah Tinah dan keluarga yang tinggal di desa, hidup serba pas-pasan. Dia tak bisa melanjutkan sekolah, SD saja tidak lulus. Tetapi, lambat laun dalam perjalanan hidupnya, dia tidak ingin anak-anaknya bernasib sama, harus bisa sekolah dan berpendidikan tinggi. Narasi yang ditulis dalam novel ini sangat sederhana dan tenang, aku merasa, ada hawa dingin yang ikut merasuk atau ketenangan desa, serta sumpeknya pasar tradisional yang setiap hari dikunjungi Tinah, dia menghabiskan masa remajanya dengan membantu berjualan jarik di pasar bersama Mbah Pah. Mbah Pah seorang wanita sepuh yang tak lain adalah nenek Tinah. Mbah Pah banyak mengajari Tinah, dari tawar-menawar belanjaan sampai berdagang. Tetapi, Tinah bukan remaja yang aktif, dia pemalu, waktu-waktu tanpa ada pembeli dihabiskan di balik tumpukan jarik. Membeli makanan? Mbah Pah yang melakukannya. Obrolan khas desa sekali, apalagi ketika seseorang mulai menunjukkan keertarikannya pada Tinah. Cak Ali, penjual tempe yang kiosnya berdekatan dengan Mbah Pah. Dideskripsikan, Tinah atau bernama lengkap Ngatinah memiliki tatapan mata yang teduh, orang lain yang melihatnya pun akan merasakan begitu. Termasuk seseorang yang tiba-tiba datang pagi itu tanpa sengaja.

Playboy pasar menjadi julukannya, seorang laki-laki berambut klimis. Dia berhenti di warung makan tak jauh dari kios kecil Mbah Pah. Sepasang mata yang saling bertautan dalam diam. Ah, syem, menarasikan kisah roman ala-ala zaman dulu yang penuh kepolosan memang selalu menggelitik dan lucu. Termasuk kisah cinta yang satu ini. Aku sempat menebak-nebak dengan siapa Tinah membuka hati? Pasalnya, beberapa laki-laki memberikan sinyal dan tembungan langsung padanya maupun keluarga. Lek Har, seorang pria yang mapan dari desa langsung menemui Mbah Pah. Aku juga sempat was-was, jangan-jangan banyak drama setelah Tinah membuka hatinya untuk seorang. Hahaaa! Memang, ya, pikiran pembaca selalu saja sok tahu alur cerita di buku yang dibaca. Padahal, apa susahnya menikmatinya tanpa menebak-nebak? Capek, kan? Gak tuh! Haha!

Cinta membutuhkan sebuah keberanian untuk membuka pintu hati  
(hlm: 18).

Abdul Hasyim dan Ngatinah menikah, setelah perjalanan kurang dari setahun mereka lalui. Keluarga kecil itu masih menumpang di rumah Mbak Gik dan dikaruniai seorang anak perempuan, Isa namanya. Sungguh, cerita Ibuk, ini sangat zaman dulu sekali, walaupun mungkin mendekati masa-masa peralihan menuju reformasi. Bagaimana tidak, ketika Tinah sudah melahirkan kelima anaknya, informasi dan anjuran pemerintah tentang program Keluarga Berencana baru didengarnya. Membacanya seperti ada penyesalan, tetapi, tokoh Tinah menerima itu dengan hati yang lapang. Keluarga kecil itu dikaruniai lima orang anak, empat perempuan dan satu laki-laki di tengah. Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira.

Isa menjadi anak perempuan pertama dalam keluarga itu sekaligus menjadi panutan untuk adik-adiknya. Tak hanya pintar, dia juga sangat rajin dan tekun. Bahkan, disela-sela belajarnya, dia selalu membiasakan diri membersihkan rumah, dari mengepel dan membersihkan kaca jendela. Rumah keluarga itu tak besar, mereka menyebutnya rumah kecil yang cukup menampung mereka dari terik dan hujan, walaupun saat-saat musim penghujan, terocoh. Kebiasaan-kebiasaan itu mulai tumbuh, Nani, juga mengikuti jejak kakaknya, sering membantu. Terkadang Bayek juga sama, tetapi, sedikit berbeda dengan yang lain, dia akan terus merengek ketika meminta sesuatu, seperti bocah saja, Yek! Iya, memang bocah kecil, mereka masih SD. Oh iya, aku sampai lupa menuliskan pekerjaan Bapak di review ini, dia seorang supir angkot. Dari kenek, nyupir angkot orang lain, sampai nyupir angkot miliknya sendiri. Bapak sangat mencintai pekerjaannya, bahkan angkot bekas yang dibelinya, dia merawat seperti anak sendiri.


Beberapa halaman, alur dalam novel ini rasanya cepat, beberapa halaman pula, rasanya lambat. Campur aduk sekali. Tetapi, yang jelas, kisah silamnya membawa semakin maju, ke titik hari itu. Keluarga Hasyim hidup pas-pasan, tidak kepikiran mau beli jajanan luar apa selanjutnya, hanya saja, sudah sangat bersyukur ada uang untuk mangan esok hari. Menggadaikan cicin emas, menjual baju bekas, atau hutang ke Bang Udin. Ibuk dan Bapak tak pernah membeli baju Lebaran untuk mereka sendiri. Yang penting anak-anaknya bisa tersenyum dan mendatangi kerabat dengan bangga (hlm: 102). Bolak-balik anak-anaknya telat membayar SPP, bahkan, rapor Bayek sempat ditahan sekolah karena belum lunas administrasi. Teman-teman tahu? Dalam cerita, Isa, Nani, dan Bayek selalu mendapat peringkat. Bagaimana dengan adik-adiknya, aku kurang jelas, tetapi sama-sama pintar seperti kakak-kakaknya. Aku ingat, ketika mereka masih bayi, Ibuk, selalu rutin membuat adonan masakan dengan beras merah, katanya agar pinter dan sehat. Ikhtiar yang dilakukannya berbuah. Haru gak sih bacanya? Heuheu. Ibuk, selalu mengakali semua hal, dari urusan dapur sampai kamar mandi. Urusan makan, lauk setiap harinya terbatas, Ibuk, membagi dua telur dadar menjadi tujuh bagian, atau tempe satu iris untuk satu orang dan nasi harus selalu habis. Itu wajib. Atau ketika urusan kamar mandi, sampo dua saset untuk tujuh orang dan menyediakan 10-15 gayung yang sudah berisi air hangat. Gang Buntu di Kota Batu yang dingin.


Tokoh yang menceritakan semua ini perlahan naik ke permukaan, tetapi, masih penuh dengan teka-teki. Tidak banyak kata kiasan yang digunakannya dalam menceritakan sejarah keluarga ini, tetapi narasinya begitu mengalir, dan kutipan-kutipan Cinta begitu pas. Aku suka, ketika membalik halaman pertama bertemu sajak cinta dari Sapardi, puisinya yang selalu aku dengungkan dan kagumi. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...


Kekuatan doa. Begitulah yang dinarasikan tokoh aku dalam novel ini. Buk, doakan ujianku lancar, ya. Doakan aku bisa*. Begitulah pinta Bayek kepada Ibuk, semenjak SD sampai kuliah. Bahkan, sampai saat dia harus tinggal jauh dari keluarga. Oh iya, aku sampai lupa menulisnya lagi, anak-anak Tinah bukan anak yang cerewet, mereka pendiam, tetapi, Bayek-lah yang paling pendiam di antara saudari-saudarinya. Dia sering memegang ujung daster dan mengekor ke Ibuk, kemanapun pergi. Bahkan, ketika SD harus ditunggui Ibuk, di luar kelas sampai berakhir pelajaran. Bayek hidup dalam doa Ibuk,* (hlm: 138).

Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang sepenuh hati 
(hlm: 134).

Novel Ibuk, mengajarkan perjuangan. Di salah satu bagian, ada ungkapan begini, Ibuk, tidak melihat kehidupan susahnya sebagai penderitaan, tetapi sebagai perjuangan. Anak-anaknya, menjadi orang. Penuh dengan Cinta. Kasih sayang. Rindu juga yang menuntun kembali pulang. Ah, perjuangan yang dilakukan mereka sangat-sangat menyedihkan. Ada berat yang dipikul semuanya. Aku pikir, novel ini benar-benar cerita tanpa privilege orang tua. Mereka benar-benar mengusahakannya selalu, berdoa dan saling mendoakan. Mereka hidup dalam doa Ibuk, termasuk Bayek yang kemudian menjadi perantau paling jauh, New York. Ibuk, tidak pernah tahu di mana New York berada, dia hanya mendengarkan cerita Bayek setiap hari, melalui telepon wartel.

Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tidak melihatnya sebagai penderitaan 
(hlm: 240).

New York menjadi cerita lanjutan Bayek, anak paling penakut yang kemudian bekerja jauh dari keluarga. Dia mempunyai banyak misi, membahagiakan Ibuk, Bapaknya. Mbak Isa, Mbak Nani, Rini, dan Mira. Kakek-neneknya, dan yang tingal di Gang Buntu, Batu. Caranya berbicara Bahasa Inggris masih menjadi kendala, Bayek terus berlatih, dari sering mendengarkan TV dan membaca buku. Dia masih pemalu, tapi, lambat-laun percaya dirinya tumbuh, merekah. Wis, terus belajar ae. Jangan takut ngomong. Selama kisahnya di New York, banyak kejadian terjadi, bahkan perampokan yang menimpa dirinya dan tragedi 11 September yang memilukan banyak orang. Ibuk, sangat cemas.

Mungkin untuk bagian di New York ini bisa kamu lanjut dengan membaca novel 9 Summers 10 Autumns. Saling terhubung satu sama lain. Merantau dan merasakan kangennya dengan rumah. Narasi yang ditulis sewaktu bekerja di New York yang jauh dari pusat kota juga sempat disinggung, kehidupan orang-orang di sana secara sekilas. Kota yang ramai dengan kesepian panjang. Restoran mewah, cepat saji, pertunjukan musik, opera, dan masih banyak lagi. Manhattan juga menjadi salah satu lokasi penting dalam novel ini. Kamu yang punya cita-cita berkunjung ke kota-kota ini, mungkin akan seru membacanya.

Review novel Ibuk, cukup sampai di sini. Aku masih tetap mengatakan, novel sedih yang penuh getar-getir. Kupikir lagi, beberapa kutipan pendek yang ada di buku sangat pas sekali. Indah dan penuh kedalaman. Oh inikah kehangatan keluarga yang per orangnya telah terikat darah dan kelembutan doa. Inikah bagian dari Cinta-Mu. Semoga. Oh iya, kamu penasaran, kah, siapa yang akhirnya memenangkan hati Tinah? Baiklah, selamat membaca, ya~

Love is sacred silence 
(Orhan Pamuk)

Komentar