MENENGOK PERJALANAN PANJANG REMPAH


Siang itu rasanya seperti menemukan harta karun, bagaimana tidak, di antara kardus yang diterima dari Banten ternyata membawa satu buku, lebih tepatnya majalah.

Merapah Rempah, begitulah tulisan besar dari kover majalah ini, dengan gambar peta Asia di masa lampau. Awalnya, aku mengira gambar peta ini adalah wilayah Asia Selatan, di India, tetapi setelah kulihat lagi dengan agak konsentrasi, "Oh, ini terlihat Sumatera, Jawa di masa lalu." Majalah National Geographic Indonesia edisi ini terbit pada Januari 2021, sebagai edisi khusus Jalur Rempah.

Aku tidak akan mereview secara lengkap isi dari majalah ini, tetapi, akan lebih mengarah ke beberapa respon personalku ketika membaca majalah ini. Aku merasa sungguh sangat beruntung bisa membaca majalah ini. Terdengar berlebihan, iya, tetapi tidak juga, dan aku akan berkata, selama perjalanan dan merampungkan membaca ini, perasaanku tak karuan, ada senang sekaligus bangga, tetapi menyesakkan dan sedih.

Dibuka dengan esai dari editor in chiefnya National Geographic Indonesia, Pak Didi, yang di kalimat penutup esainya tertulis, "Kita adalah sanubari-sanubari yang terbentuk oleh perjumpaan-perjumpaan sejak ribuan tahun silam." Terdengar begitu dalam dan bermakna. Begitu pikirku. Kembali melanjutkan ke halaman-halaman selanjutnya yang semakin bertambah halaman semakin menarik dan sungguh, aku baru tahu hal ini, selama ini kemana saja.

Aku suka penyajian dari majalah ini, dari tulisan-tulisan serius tapi terasa ringan, liputan-liputan yang seolah mengajak pembaca berada di tempat terkait, serta foto-foto dan lukisan-lukisan yang disajikan. Cara jawanya, aku mbumun. Haha.

Aku seketika ingat, sewaktu SMP menerima materi IPS tentang Perdagangan Internasional. Tidak ada kaitan, sih, maksudku, saat membaca bagian awal majalah ini membahas tentang Rute Perjalanan Rempah yang juga disajikan peta dunia, yang mana didalamnya terdapat banyak jalur perdagangan. Tetapi, perdagangan di masa silam. Ternyata, di masa silam, banyak sekali jalur perdagangan, salah satunya jalur sutra, dan melalui majalah ini menyebutkan adanya jalur rempah.

Mengutip dari tulisan Agni (tulisan lengkap ada di majalah edisi khusus Jalur Rempah, National Geographic Indonesia), rempah telah diperdagangkan manusia masa Neolitikum mulai 2.000 SM. Sungguh, sangat takjub, dan semakin takjub lagi ketika membaca lanjutan, rempah-rempah (lengkap/paling banyak) itu berasal dari Nusantara (Indonesia) yang diperdagangkan ke seluruh dunia.

Lagi-lagi aku teringat pada dua buku yang pernah aku baca tahun lalu, novel karya Ust Salim Fillah, Sang Pangeran dan Janissary Terakhir, yang salah satu babnya membahas perdagangan dunia dan Konstantinopel memiliki peranan penting dalam impor rempah saat itu. Atau buku kumpulan cerpen Berburu Buaya di Hindia Timur karya Risda Nur Widia, ada salah satu cerpen yang bercerita tentang pelaut Portugis menuju ke Hindia, selama perjalanan bersama para awak kapal bertemu banyak kejadian, dari perompak, hantu, sampai terdampar di sebuah pulau.

Melalui buku-buku yang kusebutkan tadi, seperti memberi jalan untuk cerita selanjutnya. Iya, melalui majalah NatGeo edisi khusus ini. Salah satu esai dengan judul Takdir Ekspedisi Compagnie van Verre yang cukup panjang, berhasil menjawab teka-teki yang menurutku sempat kuragukan. Singkatnya, sebelum Belanda mutuskan berlayar mencari rempah-rempah, mereka harus mencari 'peta rahasia', dan saat itu 'peta rahasia' hanya dimiliki Portugis. Tetapi, suatu kejadian (dalam esai disebut saat di India) 'peta rahasia'--yang dirahasiakan lebih dari satu abad--itu berhasil disalin seorang dari kewarganegaraan Belanda dan kemudian diterjemahkan dalam beberapa bahasa di Eropa.

Foto-foto yang terdapat di majalah NatGeo ini sangat memukau. Berapa terlihat minimalis dan ramai, tetapi dengan porsi foto yang pas. Lagi-lagi, seperti saat membaca novel dengan membebaskan imajinasi, membaca majalah ini pun demikian, hanya beda sedikit pada foto. Aku bisa melihat foto-foto dari tempat yang jauh dan belum pernah kukunjungi.

Semakin halaman terlalui, pembaca akan dibawa pada wilayah-wilayah Indonesia yang memiliki tanaman khas rempah. Pala, sirih, cengkih, kayu manis, akar wangi, sereh, dan banyak lain dari rempah-rempah yang belum tersebut. Tak lupa juga, foto-foto maupun ilustrasi dari rempah-rempah. Semakin menarik!

Oh iya, apalagi saat membaca bagian Atas Nama Pala yang membahas khusus tentang pala. Di Banda, Maluku, akan bertemu dengan tanaman khas ini, yang menjadi primadona sepenjuru dunia. Banda dan pulau-pulau kecil lainnya, yang memiliki cerita panjang di masa lampau. Mengutip dari halaman lima-puluh, "Desa Rhun tidak ada sumber air tawar. Di malam hari, listrik hanya menyala beberapa jam dari generator kecil. Dahulu pulau ini sumber perselisihan antara Inggris dan Belanda. Pada 1667, Inggris menyerahkannya pada Belanda dengan imbalan Manhattan."

Usai menutup majalah ini, rasa haru sekaligus sedih menyelimuti. Ada sesak yang tertinggal. Dulu, sekarang, dan nanti. Tetapi, lebih dari itu, 114 halaman yang berhasil membuatku penasaran lagi dan lagi. Terima kasih.

Sebagai penutup, izin mengutip fakta menarik dari Tutur Leluhur Ternate, "Ma fo makati nyinga doka gosora sa balawa om doro yo mamote ma gogoru fo ma dodara." artinya mari bersatu hati bagaikan biji pala dengan fulinya, dilandasi sifat kasih dan sayang agar silaturahmi dan hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan manusia bisa saling merangkul seperti biji pala dengan bunganya.

Komentar