[CERPEN]--AKU (TAK) PERGI

AKU (TAK) PERGI
Oleh: Amaliya Khamdanah


“Biarkan aku jadi sesuatu yang berarti untukmu tapi tidak untuk sesaat. Biarkan aku jadi tempat untuk bersandar disaat kau terpuruk rapuh…”—Ada Aku Disini, Dhyo Haw.

Menjadi sahabat baikmu adalah salah satu mimpiku hidup di dunia. Aku sudah dua puluh tahun  menginjakkan kaki di dunia ini, Tuhan menyanyangiku. Aku Rendi Winata, mahasiswa Teknik Sipil di perguruan tinggi swasta. Dan sekali lagi aku sangat senang bisa menjadi sahabat baikmu.—2017

***

“Kau melihat siapa, Rin?” tanyaku menoleh kearahnya. Taman tampak lengang tak seramai pagi tadi. Perempuan itu hanya menggeleng tanpa menoleh kearahku. Aku mengangguk paham. Perempuan itu adalah Karina Putri mahasiswi seangkatanku dengan program studi Akuntansi. Aku sudah lama mengenalnya, dan aku—

“Ke kantin yuk, Ren?” ajaknya lalu beranjak dari bangku taman. Aku hanya mengangguk lantas mengikuti arah langkahnya menuju kantin. Kantin juga tampak lengang tak seperti biasanya, “biar Aku yang traktir,” lanjutnya setelah kami sampai di kantin. Aku hanya mengangguk. Dengan cekatan, segera aku mencari tempat untuk menikmati santapan siang ini.

Aku melihatnya dari kejauhan, perempuan berbaju lengan panjang dengan celana kain warna hitam, rambutnya hanya diikat kuncir kuda. Ia adalah perempuan berkacamata yang menurutku sangat manis saat tersenyum.

Aku masih mengamatinya, mengamati cara bicara saat memesan santapan siang, tersenyum saat penjaga kantin sedikit budhek dan menyapa teman-temannya yang tak sengaja bertemu saat hendak membayar makanan. Aku menghela napas perlahan.

Selalu seperti itu, di hari-hari berikutnya pun sama. Kami sengaja bertemu untuk sekadar mengobrol maupun makan bersama walau pun jarak fakultas kami terbilang agak jauh. Terkadang aku yang menungguinya di taman dekat fakultas ekonomi atau ia yang menungguku. Lebih tepatnya kami sudah bersahabat sejak SMA.
Dua tahun telah berlalu, aku sudah tak bersamanya lagi—Karina Putri—teman baikku sejak SMA. Ia telah memiliki pasangan, ah bukan, lebih tepatnya ia sudah memiliki pacar. Patah hati? Tidak, hanya saja aku tak lagi mempunyai teman baik seperti Rin lagi. Ah sudahlah, yang paling terpenting, Karina sudah bahagia, telah menemukan sepotong hatinya dan tentu sebagai sahabat Karina, aku ikut senang.

Hari-hari banyak kulakukan di area fakultas teknik, mengunjungi fakultas lain sudah tidak menjadi kebiasaanku. Kenapa kesana? Toh tak ada yang mengenalku. Batinku selalu mengelak. Bukan hanya itu saja, tugas-tugas saling bertumpang-tindih, menumpuk menjadi gunung buku.

***

“Apa selingkuh?!” kejutku setelah mendengar pengakuan Desi—teman baik Karina. Perempuan berjilbab biru tua mengangguk, lantas melihatku penuh harap.  Sungguh, aku tak menyangka. Sahabatku yang sudah lama berpacaran kini diduakan oleh orang yang sangat dicintainya. Sungguh keterlaluan! Pekikku dalam hati.

“Maafkan Aku, Ren, Karina memintaku agar menjaga rahasia ini. Tapi, Aku tak tega melihatnya…” Desi kembali berucap, suaranya tertahan diakhir ucapannya.

Di lubuk hati yang teramat dalam, ada rasa nyeri yang tertahan, sedikit-demi-sedikit mengelupas dan berdarah. Pikiranku kacau, bagaimana tidak? Sahabatku—Karina Putri—dikhianati oleh orang yang paling dicintainya, bahkan sahabatnya sendiri rela ia tinggalkan. Walau sudah dua tahun aku tak bertemu dengannya, sungguh rasa sakit di hati semakin menganga.

“Sejak kapan?” tanyaku memastikan.

“Sudah satu bulan, Ren. Berkali-kali Aku memintanya untuk putus dengan Fery, hanya saja pendirian Rin terlalu kokoh, selalu saja beralibi, Fery akan bertaubat dan melupakan perempuan itu, Des,” ujar Desi mengingat ucapan Rin, kedua matanya tampak cemas.

“Apa Rin sudah tak lagi mengingatku, Des?” tanyaku tiba-tiba. Pandanganku jatuh pada sepasang sepatu ketsku, kedua bola mataku terasa perih. Pertanyaan yang selalu saja menggelayuti pikiranku—selama dua tahun. Hatiku sedikit sesak, apa mungkin Rin sudah tak megenalku lagi dan benar-benar lupa kalau Aku pernah menjadi sahabatnya?

“Ren…” lirihnya. Kedua bola mata Desi tampak berembun, mungkin hatinya sudah tak kuasa menahan tangis, “ia benar melupakanmu, Ren,” lirih Desi lagi.

Tumpukan batu besar seakan menuruni lereng, jatuh tepat pada hati yang berusaha bangkit. Semuanya sia-sia, dua tahun berlalu dengan mudahnya perempuan pemilik senyum manis melupakanku. Seketika ucapan Desi membuat semau terpatahkan, koyak tanpa sisa. Kedua bola mataku tambah merasakan perih, sedikit memerah. Aku patah hati kah?

“Kumohon, tolonglah Rin! Berbagai macam cara telah kulakukan untuk melepaskan Rin dari Fery, mungkin denganmu Rin akan luluh,” pintanya, kedua mata perempuan berjilbab biru masih berembun. Kulihatnya sinar harapan menyala terang di matanya, hanya saja semuanya tertutupi oleh patah hati yang kualami.

“Rin sudah tak lagi mengenalku, Des, untuk apa Aku membantunya? Bisa-bisa Fery malah mengancamku,” balasku seketika. Padahal hatiku sangat ingin menolong Rin, tapi karena patah hati, semua kebaikan tertutupi.

“Maafkan Aku, jika Aku salah memintamu,” balasnya lalu melangkah menjauh.

***

Dua hari sudah berlalu, pikiranku masih kacau akan kondisinya. Ingin ku membantunya, hanya saja semuanya akan sia-sia. Rin tak lagi mengenalku. Rin telah melupakanku sejak lama. Oh Tuhan!
Hatiku berkecamuk, semuanya terasa berat. Egois dalam diri mengajakku untuk balas dendam, dengan membiarkannya luka—seperti yang kualami. Ah tidak! Aku sahabat Rin, tidak lebih. Tak ada perasaan lainnya selain Rin sahabatku!

Taman fakultas teknik lengang, hanya terdengar suara burung yang saling menyapa. Terik matahari yang menyengat membuat para mahasiswa enggan menikmati siang di taman fakultas. Namun hal tersebut tak berlaku untukku yang tengah dilanda panas dalam diri.

“Sudahlah bantu Rin, setelahnya lupakan mantan sahabatmu!” Hingga akhirnya suara terdalam dari hatiku menggetarkan seluruh saraf tubuh. Aku mengangguk, lantas beranjak pergi dari taman fakultas.

***

 “Bukankah itu, Rin?” gumanku mendekat. Kulihat ia sedang melamun di taman fakultas ekonomi. Entahlah, sepertinya sorotan matanya kosong tak berpenghuni. Ini gila, sebegitukah seseorang ketika mencintai orang yang hatinya tak lagi memilih orang yang sangat mencintai? Oh Tuhan!

“Coba dengar lagu ini, Rin,” ujarku sembari memasangkan headshet di telinga kanannya.
Kini, kami kembali duduk bersebelahan, kebiasaan lama yang kembali terulang. Pikiranku masih kacau. Sedangkan Rin masih terdiam menatap kosong layar ponselnya.

“Biarkan aku jadi sesuatu yang berarti untukmu tapi tidak untuk sesaat. Biarkan aku jadi tempat untuk bersandar disaat kau terpuruk rapuh. Jangan sampai kau lemah, kuyakin kau pasti bisa bangkit, jangan anggap kau sendiri hadapi, ada aku di sini...”

“Aku tak berharap kau selalu mengingatku, Rin. Melupakanku untuk selamanya pun tak akan menjadi masalah buatku. Tapi, ingatlah, ketika kau mengalami banyak masalah, Aku akan bersamamu.” Aku menoleh kearahnya. Rin masih terdiam menatap layar ponsel yang sedari tadi menyisakan kegelapan.
Sinar matahari semakin menyengat. Aku merasakan secercah sinar matahari yang memasuki kulit lenganku, panas. begitu pula dengan hati dan pikiranku. Aku akan mencobanya, menguatkan diriku untuk sahabat lamaku. 

“Walau dia kini telah lama di hidupmu, namun sampai kini tak bahagiakan kamu, lupakan semuanya tinggalkan saja percuma. Bukalah matamu selebar dunia ini dan rasakan banyak orang yang peduli, jangan ingat lagi jangan kau sesali ada aku disini. Biarkan aku yang bisa dapat menuntunmu disaat kau dilanda ragu, dan biarkan aku membuatmu tertawa lepas dan biarkan semuanya berlalu…”

“Aku tahu, kau sangat membenciku, Rin. Tapi untuk pertama kali dan terakhir kalinya setelah dua tahun berlalu, izinkan Aku menjadi tempat berbagi kesedihanmu. Ah tidak, teman-temanmu sangat merindukanmu, merindukan senyum manis dan hangat darimu. Tak selamanya kau mengurung diri, menguncinya rapat-rapat perkara orang yang kau sayangi tak bersamamu. Rin, Aku tetap—” lanjutku melihatnya. Perempuan yang dulu memiliki senyum indah, hingga membuatku terpesona. Tatapan Rin masih tertuju pada ponsel yang ada dalam genggamannya.

Telinga kami masih mendengarkan lagu yang sama. Aku masih menunggu jawabannya, mendengar segala ocehan atau pun curhatannya. Sungguh, Rin, Aku sangar merindukanmu…

Rin menoleh, melihatku lantas tersenyum. Hatiku semakin tak karuan, antara senang dan sedih. Kulihat sinar dalam matanya bercampur dengan air mata. Rin menangis dalam. Senyuman manis dan hangatnya berusaha menutupi segalanya. Rin, tapi Aku tak mungkin bisa kau bohongi. Aku Rendy, sahabat baikmu sejak SMA!

“Ren, maafkan Aku. Terima kasih hingga detik ini, kau tak melupakanku dan mau menjadi temanku. Tapi Aku harus pergi.” lirihnya lantas beranjak dari kursi taman. Aku terperanjat. Langkahnya begitu cepat menjauh.


Aku terpaku, mematung menatap langkahnya yang menjauh. Tanpa kusadari butiran bening memaksa untuk keluar. Aku menangis lahir batin. Hatiku kembali tersayat. Hal yang takkan pernah kuduga sebelumnya terjadi. Rin telah melupakanku, memilih setia dengan orang yang dicintainya. Nyatanya benar. Sungguh, ragamu sudah melupakanku jauh-jauh hari hingga detik ini, kalimat buruk yang tak kusangka akan keluar dari mulutmu menghujam tepat di hatiku. Aku membencimu, tapi tidak untuk rasa ini.

Komentar