[REVIEW BUKU]--RINDU DARI TERE LIYE

RINDU DARI TERE LIYE
Oleh: Amaliya Khamdanah


            Assalamu’alaikum! Semoga kawan-kawan selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin. Tak terasa sudah memasuki Februari 2017. Satu bulan telah berlalu di tahun 2017. Hal apa sajakan yang sudah kawan-kawan lakukan? Semoga hal-hal baik, tentunya. Oh iya, sudah hampir dua pekan saya tidak mengunjungi blog absurd ini, menulis pun jarang. Ada yang kangen? Hak, gak ada! Baiklah, pada postingan pertama bulan Februari saya mau me-review salah satu novel best seller dari enulis terkemuka Indonesia. Yups, Darwis, pemilik nama pena Tere Liye.

“Apalah arti memiliki,
ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan,
ketika kami sebenarnya menemukan banyak sekali saat kehilangan,
dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta,
ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Puisi diatas adalah bagian belakang atau brulb dari novel Rindu karya Tere Liye. Saya berulang kali membacanya, hingga pada akhirnya nembe ngeh maknanya dan baper.

            Novel yang sekarang sudah berganti cover menjadi keoranyean masih bertengger menjadi novel best seller. Bagaimana tidak, novel karangan Darwis sangat memukau. Ketika kau membacanya kan segera dibuat takjub olehnya! Dengan tebal 544 halaman, novel Rindu menceritakan sebuah keluarga dari Makassar pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah Haji. Di halaman awal tertulis:

“Cerita ini bermula di suatu pagi di penghujung tahun 1938. Tepatnya tanggal 1 Desember 1938, bertepatan dengan 9 Syawal 1357 H. Matahari baru sepenggalah naik ketika pagi itu, sebuah kapal besar merapat di Pelabuhan Makassar.”

            Nah, paragraf awal saja sudah menuntun pembaca mengajak menyelami masa lampau pada 1938. Sebelum Indonesia ada dan masih menggunakan nama Hindia Belanda. Masih di bab satu, pembaca akan dijelaskan sedikit mengenai Hindia Belanda. Hingga akhirnya paragraf-demi-paragraf mengalir menuju satu kisah bersejarah yang sangat sederhana—setidaknya bagi yang terlibat di dalamnya.

            Dahulu sebelum adanya pasawat terbang orang-orang yang hendak menunaikan ibadah haji harus menaiki kapal hingga berbulan-bulan. Begitu pula pada kisah di dalam novel ini. Blitar Holand adalah nama kapal uap kargo terbesar di zaman itu. Dibuat di Eropa pada 1923 yang memiliki panjang 136 meter dengan lebar 16 meter, memiliki menara hitam lenggam yang menjulang tinggi.

            “Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorag yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.”—brulb.

Keluarga kecil itu adalah Anna, Elsa, Ibu dan Daeng Andipati. Tokoh Anna dan Elsa masih kecil, mereka berdua adalah kakak beradik. Elsa sebagai kakaknya. Keduanya sangat pandai, hanya saja Anna lebih cerewet dibandingkan Elsa. Daeng Andipati sangatlah bijak, hanya saja satu pertanyaan yang belum terjawab tuntas oleh dirinya.

Tokoh lainnya, seperti Ambo Uleng seorang kelasi rendahan yang memiliki masa lalu teramat suram. Seorang yang penuh misteri, setiap harinya selalu dirundung kegelisahan yang mendalam, hanya saja Ambo Uleng menikmatinya dengan melamun; menatap keluar jendela kapal.

Gurutta Ahmad Karaeng adalah kyai di Makassar, teramat terkenal. Ucapannya di dengar dan banyak dilaksanakan banyak orang. Gurutta Ahmad Karaeng juga menulis di sela-sela waktunya, menunggu kapal uap melaju menuju Tanah Mekkah. Beberapa karyanya juga telah dinikamti banyak orang bahkan sampai keluar Makassar. Sebijak apa pun Gurutta, tersimpan pula pertanyaan yang selama ini menggeluti pikirannya, membuat Gurutta tak tenang.

Bonda Upe, seorang keturunan Cina yang mempunyai masa lalu sangat suram. Hingga akhirnya Bonda Upe diselamatkan oleh seseorang yang sekarang telah menjadi suaminya. Di kapal Blitar Holand, Bonda Upe dengan suka rela membagi pengetahuannya pada anak-anak; mengaji saban sore.

Setelah melewati Pulau Jawa hadir tokoh sepuh, sepasang suami istri yang telah berumur. Disebutnya Mbah Kakung dan Mbah Putri, dalam novel juga tertulis mereka berdualah pasangan paling romantic selama perjalanan. Bahkan ketika mereka bercerita dalam masa lalunya semua hening dan khidmat menikmati. Sesekali celoteh Anna menghiasi diantara cerita romansa mereka.

Lima puluh bagian ditambah epilog. Pembaca akan disuguhkan banyak kisah menarik. Tentang lima perjalanan berbeda yang sebenarnya sempat kita (pembaca) alami. Sungguh, ketika kau menutup novel ini, akan terbayang begitu dahsyatnya kisah di dalam novel ini. bahasa yang ringan dan sangat cocok sebagai bekal mengingat masa lalu.

Bahkan di perjalanan menuju Tanah Arab, kapal Blitar Holand dibajak oleh Perompak Somalia. Serdadu Belanda penjaga kapal uap pun kalah, terkejutnya siasat melawan Perompak Somalia pun tercetus dari kelasi rendahan, Ambo Uleng.

Jujur saja setelah membaca novel Rindu saya mulai terinspirasi menulis dengan metode masa lalu sebagai sumbernya. Terlihat sangat enak dibaca dan tentunya baper. Hehe. Oh iya, kalau mampir Gramedia, Toko Agung, Togamas atau toko-toko buku lainnya jangan lupa untuk membeli novel ini atau ketika teman baikmu punya silakan pinjam saja, itu lebih berhemat.

Review kali ini sungguh amburadul, mohon dimaklumi karena liburan hampir selesai. Hehe. Semoga kawan-kawan terhibur dan langsung pinjam bukunya.

POTONGAN PERCAKAPAN PADA NOVEL RINDU.
Bab tiga pluh tujuh, tentang pertanyaan dari Daeng Andipati kepada Gurutta.
“Bagian yang pertama adalah, ketahuilah, Andi, Kita sebenarnya sedang membenci dari sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.”
Ada orang-orang yang kita benci. Ada orang- orang yang kita sukai. Hilir-mudik dalam kehidupan kita. Tapi apakah kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir segera? Misalnya pada ayah kau, seolah tidak nampak hukuman di muka bumi baginya. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi coba pikirkan hal ini. Pikirkan dala-dalam, kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain,kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri.”
“Kau benci ayahmu, Nak, karena kau membenci darimu sendiri yang tidak kuasa mencegahnya berbuat kasar pada ibumu. Kau membenci ayahmu karena kau membenci diri sendiri yang tidak mampu menghentikan, bahkan mengubah perilaku jahat ayahmu. Mau bagaimanapun dai tetap ayahmu. Dan yang menariknya, apakah ibumu membenci ayahmu? Dia ternyata memilih tidak. Dia memilih tetap setia berada  di sisi suaminya. Meski dipukul, ditendang, dijambak, ibumu memilih tetap menyayanginya. Kau tidak bisa memahami jalan pikiran ibumu karena bertolak belakang sekali. Tapi bagi ibumu, dia mudah sekali memahami keputusannya. Tidak membenci dirinya yang tetap bertahan, kenapa tidak sejak dulu pergi. Dia tidak benci itu semua. Dia terima sepenuh hati, maka dia bisa bahagia atas pilihannya. Kenapa kau memilih benci? Sedangkan ibumu tidak? Kenapa kau memilih benci, sedangkan orang lain memilih berdamai dengan situasi disekitarnya? Pikirkanlah!”
“Bagian yang kedua adalah terkait dengan berdamai tadi. Ketahuilah, Nak,saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
“Maafkanlah ayahmu, Nak, hanya dengan itu kita bisa merengkuh kedamaian. Dalam agama kita banyak sekali perintah agar kita senantiasa memaafkan. Ditulciis indah dalam kitab suci, diwasiatkan langsung oleh Nabi. Keburukan bisa dibalas dengan keburukan, tapi sungguh besar balasan Allah, jika kita memilih memaafkan. Lihatlah bahkan Allah tidak mengirim petir bagi Daeng Patoto, karena boleh jadi, Allah masih memberikan maaf di dunia ini, menangguhkan hukuman. Kau berhak atas kedamaian di hatimu. Maafkanlah seperti ibumu yang memilih memaafkan suaminya. Maafkanlah seperti ibumu yang hingga akhir hayatnya tetap berdiri di samping suaminya. Tidak pergi walau selangkah. Tidak mundur walau sejengkal.”
“Bagian ketiga, terakhir, bagian yang sangat penting karena kau punya perangai keras kepala, tidak mudah menyerah, dan selalu menyimpan sendiri semuanya. Maka ketahuilah, Andi,   kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apapun.tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”
“Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada tapi, tapi dan tapi. Tutup lembaran tidak menyenangkan itu. Apakah mudah melakukannya? Tidak mudah. Tapi jika kau sungguh-sungguh, jika kau berniat teguh, kau pasti bisa melakukannya. Mulailah hari ini. Mulailah detik ini.  …………………..” (Rindu: hal: 373-376)



Komentar