AKU, KOPI DAN KENANGAN




AKU, KOPI DAN KENANGAN
Oleh: Amaliya Khamdanah

“Karena kehidupan ini tak semuanya manis seperti gula, Le.”

            Menyeruput kopi hitam di pagi hari adalah kebiasaanku. Menikmatinya sembari menatap langit biru, melihat hijaunya desaku dan beberapa warga desa yang mulai beraktivitas. Menyeruput sedikit demi sedikit hingga habis satu cangkir.
Sugeng enjing, Bapak!”1 teriak pemuda berbaju lusuh dari tanggul. Aku mengangguk lalu tersenyum, beberapa gigi ompongku terlihat jelas. Aku meyeruput lagi kopi hitam buatanku.
Aku kembali mengamati sekitar. Sayang, kedua mataku tak setajam dahulu, penglihatanku sedikit buram, namun rasa yang sudah melekat di hati tentang kecintaanku pada desa ini tetap ada—takakan pernah buram—seperti kedua mataku. Aku meletakkan cangkir kopi, perlahan menhirup udara segar desaku.
Sugeng enjing, Bapak!”1 suaranya ramai dan kompak, aku melihatnya sedikit buram. Segerombolan pemuda berjas hijau menyapa, kata tetangga mereka sedang  mengadakan penelitian di desa ini. Mereka tersenyum, nampak gigi-gigi putih mereka berjejer rapi dengan jas hijaunya ditambah kilauan sinar matahari pagi. Aku tertawa lalu mengangguk. Menyeruput lagi kopi disampingku, kulihat kopi tinggal setengah cangkir. Aku terdiam lalu meletakkannya lagi. Menunggu waktu yang pas untuk meminumnya.
 Warga desa mulai ramai lalu lalang, melempar senyum dan sapaan kesana-kemari, membawa caping,  cangkul, arit, karung goni, bahkan sapi, kuda, lalu beraktivitas sebagai petani atau pun peternak. Disisi lain anak-anak kecil ikut berlarian kesana-kemari—membuntuti orang tua mereka, mencari capung, kumbang atau sekedar kejar-kejaran—aku tertawa renyah. Seduhan kopi hitam terakhir dan beraroma, aku menikmatinya—kenangan pait dan manisnya kehidupan.

***

Aku ingat perjalananku, lima puluh tahun silam. Saat aku duduk di bangku sekolah tingkat atas swasta di kecamatanku. Kecamatan terpencil yang hanya mampu dijangkau dengan jalan kaki dan sepeda, jaraknya ratusan kilo meter dari pusat kota. Pagi-pagi sekali—sebelum adzan subuh berkumandang—aku sudah bergegas, berpakaian rapi dan berdiri di dekat sepeda tua bapak. Menunggu bapak dari sawah peninggalan yang membawa sayur-sayuran segar untuk dijual. Mamak masih di belakang, menyiapkan beberapa nasi bungkus untuk aku titipkan nantinya di kantin sekolahan. Iya, aku dari keluarga kurang mampu ekonomi, kehidupan yang pas-pasan namun selalu bersyukur. Aku membersihkan sepeda tua ini, kuusap penuh harap dan kasih lalu memanjatkan doa kepada Sang Kuasa, kadang pula aku  mengajaknya berbicara lewat hati.
Le, iwangi  bapak!”2 suara itu dari tanggul. Aku bergeagas menuju tanggul, mengangkut beberapa sayur-sayuran segar, lalu meletakkannya di keranjang sepeda. Semuanya sudah siap. Mamak keluar membawa sekantung plastik hitam  yang didalamnya beberapa nasi bungkus. Segera kuambil tas hitam lusuhku, mencium telapak tangan bapak dan mamak, lalu berpamitan.
“Assalamu’alaikum!” aku berteriak dari tanggul, dengan semangat kukayuh sepeda tua ini. Adzan subuh belum berkumandang, langit-langit masih gelap menyisakan sedikit bintang sisa malam.
Embusan angin sangat segar, semakin semangat ku mengkayuh sepeda tua ini. Inilah hari-hariku, berangkat sekolah sembari berjualan di pasar. Sebenarnya bukan berjualan secara langsung, aku hanya menitipkan sayur-sayuran ini pada budheku, budheku-lah yang menjualkannya dan pulang sekolah aku mengambil uang jualannya. Sesampai di pasar aku langsung menjalankan ibadah, memohon ampun dan rizki yang halal untuk kami, selalu seperti itu. Dan satu lagi, sawah tempat menanam sayur-sayuran itu adalah peninggalan simbah, bapak dipercaya untuk merawatnya dan menanamnya.
“Assalamu’alaikum, budhe!” aku mencium tengannya. Seutas senyuman terlempar kearahku, “sayur-sayurannya delehke ngendi, budhe?”3 aku menujuk keranjang sepeda yang penuh sayur-sayuran.
“Kasihke sana Le4, nanti budhe sama pakhe yang mindahin.” Seutas senyuman terlempar lagi. Aku mengangguk dan bergegas meletakkan keranjang di tempat yang dimaksudkan. Setelah itu aku bergegas ke sekolah. Masih memperlukan waktu dua puluh menit lagi. Kembali kukayuh sepeda tua ini dengan penuh semangat.
Sinar mentari mulai tampak, kicauan burung yang bertengger didahan menjadi backsound setiap pagi, orang-orang mulai beraktivitas. Embusan angin menerpa mukaku yang sudah lusuh dan penuh keringat. Segar. Dan tepat jam tujuh aku sampai di sekolahan. Setiap hari dan selama tiga taun seperti itu, hingga akhirnya kelulusan tiba.

***

Aku menelan ludah, menatap cangkir kopi yang telah habis ku minum. “Alhamdulillah,” gumanku. Jalanan sudah ramai, warga desa sudah beraktivitas seperti biasanya. Sapaan, senyuman, obrolan ringan dan tawa renyah sudah mulai terdengar disetiap sudut sawah dan warung terdekat. Desaku yang jauh dari industri pabrik, semuanya masih asri. Disudut nan jauh disana terdapat  lahan luas untuk tanaman kopi, iya itu salah satu usahaku, mensejahterakan warga sekitar dengan bekerja sebagai petani kopi. Dan kopi yang habis kutengguk adalah kopi asli desaku, rasanya tak terkalahkan dengan merk luar negeri—ini asli buatan dalam negeri—dengan rasanya yang telah mendarah daging dan mengalir dalam hati.
Sejauh mata memandang, aku tersenyum. Ingatanku kembali pada lima puluh tahun silam usai hari kelulusan itu tiba.

***

Pedikat peraih EBTANAS terbaik ketiga se-kecamatan membuat bapak dan mamakku bangga. Mereka melemparkan senyum terbaiknya padaku. Mereka memelukku erat, dan aku menangis saat itu juga.
“Kamu harus sekolah lagi, Le. Bapak akan membiayai semua sekolahmu nanti.” bisik bapak padaku saat aku masih memeluknya.
Mboten usah, Bapak. Kula kerjo mawon.5 ucapku lirih. Seketika bapak menatapku tajam. Ibu dan tiga adik perempuanku menatap kami silih berganti, mereka terlalu kecil untuk paham akan hal ini.
Ojo, kamu pinter, Le. Harus dilanjutkan lagi.”6 Bapak bersikeras. Mamak hanya mengangguk, seolah dalam hatinya berkata: ikuti saja mau bapakmu, Le. Sing pinter yo sekolahe.7 Aku mengangguk, lekas kembali membersihkan sepeda tua ini. Seperti hari-hari sebelumnya, aku bedoa saat membersihkan sepada tua ini.
Di hari berikutnya bapak memberiku uang untuk ikut ujian masuk di perguruan tinggi negeri. Aku menerimanya, lusa aku berangkat ke pusat kota sendiri dan mengikuti ujian masuk jalur rapor. Diantar dengan sepeda tua ini dan menitipkannya di dekat stasiun. Bapak dan mamak mendoakanku, selalu. Dua minggu kemudian, aku dinyatakan gagal. Muka bapak dan mamakku sedikit kecewa. Saat itu aku hanya mampu diam.
Aku ngiwangi bapak ning sawah wae.8 ucapku lusa setelahnya. Bapak menatap tajam mataku. Aku menunduk ketakutan. Mamak duduk tak jauh disampingku, ketiga adikku masih belajar di ruang tamu. Saat itu hening rasanya, yang terdengar hanya seruputan kopi bapak beberapa detik yang lalu. Kopi hitam pekat asli desa.
“Kamu ikut ujian lagi, dan bapak percaya kamu lolos jalur yang ini, Le.” ucap bapak mengawali pembicaraan. Ibu hanya menatap bapak lalu aku silih berganti, “agar hidupmu kelak tak seperti kami, Le.” lanjut bapak, menyeruput lagi kopinya, “Bapak dan mamakmu tahu, Le, kamu anak yang pinter. Ujian perdikat terbaik. Bapak dan mamak bangga padamu, sanagt-sangat bangga. Bapak tahu, kita dari keluarga tak mampu, dan tak punya. Kerjaan bapak serabutan, mamakmu juga. Tapi hal itu takkan membuatmu patah semangat menggapai mimpimu, Le. Apapun akan bapak lakukan untuk keberhasilanmu, Le.” Bapak menyeruput kopinya lagi, “sekolaho meneh, Le.9 Bapak menghela napas. Lalu menatapku. Beberapa lembar uang ditangannya lalu beralih ke tanganku. Aku menatapnya, lalu mengangguk.
 Dua minggu kemudian aku kembali ke pusat kota. Kali ini beberapa buku pelajaran sengaja kubawa untuk belajar selama di perjalanan, sepeda tua ini kembali mengantarku dan kutitipkan di dekat stasiun. Kereta pun melaju. Suara bisingnya mesin dan ramainya obrolan membuatku sedikit terganggu, tapi apalah hal ini yang harus kulakukan. Belajar.
Doa bapak dan mamak menembus ‘Arsy. Sang Maha Pemberi memberikan hal ini kepadaku, aku dinyatakan lolos. Bulan depan aku berangkat, mulai belajar Teknik Pertanian di perguruan tinggi negeri di pusat kota. Restu bapak dan mamak mengiringi langkahku.
Satu semester berlalu, beasiswa belum juga dapat. Kudengar mamak mulai sakit-sakitan. Bapak tak memberitahuku  dan dua adik perempuanku juga diam, tapi adik sulungkulah yang memberitahuku lewat telepon milik kelurahan, katanya diam-diam. Aku tertinggal banyak informasi mengenai bapak dan mamak di desa. Selama satu semester pula aku tak pulang ke desa—biaya mahal. Kudengar dari adik sulungku lagi bapak menjual sawah peninggalan simbah, bapak bekerja serabutan di kebun kopi milik pak lurah.
Di pusat kota nan jauh dari orang tua, aku semakin giat.  Mengingat keadaan bapak dan mamakku. Tahun ini harus kudapat beasiswa. Giatlah belajarku dan kuatlah imanku.
Lusa, aku mendengar kabar dari adik sulungku, mamak sudah sembuh  dan sepeda tua itu kini dirawat adik sulungku. Aku senang, rasa syukurku pada Sang Pemberi manambah lagi.

***

Aku beranjak dari temapat dudukku. Mengambil tongkat penyangga lalu berjalan perlahan ke sudut desa nan jauh disana, kebun kopi milikku. Beberapa anak-anak berlarian di sekitarku, mengajakku berbicara lalu tertawa. Kupu-kupu, capung dan kumbang berterbangan kesana-kemari, beberapa anak pula mengejar lalu menangkapnya. Hal ini juga kebiasaanku setelah meminum kopi—mengunjungi kebun kopi. Sapaan dari sana-sini, tawaran untuk sekedar makan minum dari warga sekitar menghampiri. Aku hanya mengangguk lalu tersenyum, terlihat lagi beberapa gigi ompongku. Bebrapa anak pun tertawa melihatku.  Kehidupan ini tak perlu mewah-mewah, barbagi kesederhanaan membuat orang lain bahagia. Sampailah di sudut desa. Warga desa yang bekerja sebagai petani kopi telah beraktivitas tiga jam yang lalu, beberapa anak-anak tadi berlarian menghampiri bapak dan mamaknya. Mereka melempar senyum padaku, lagi-lagi beberapa gigi ompongku terlihat.
“Bapak-bapak, itu mabah No disana. Jadi aku berani kesini sendiri.” Anak kecil berbaju biru tua memeluk bapaknya, menunjuk-nunjuk kearahku, lalu tersenyum dan menganggukkan kepala kearahku. Beberapa anak tadi kembali berlari kerahku. Duduk di surau kecil dekat kebun kopi. Aku menatapnya lamat-lamat, lalu bercerita seperti biasa, dongeng tentang  kopi  dan kesederhanaan hidup yang penuh kebahagiaan.

***

Empat tahun sekolah, dan Sang Maha Pemberi mengabulkan doa-doa bapak dan mamak, kembali ku mendapat predikat lulusan terbaik di sekolah tinggi di pusat kota ini. Bapak dan mamak bangga padaku. Adik-adikku mereka sekolah di tempat yang sama sepertiku dulu, sekolah tingkat atas swasta yang jauh dari pusat kota. Bapak, mamak, dan ketiga adikku ke pusat kota semua, menghadiri wisuda anaknya—Aku sangat senang. Sang Maha Kuasa yang Kebaikannya melebihi segala Kebaikan, Alhamdulillah.
Bapak dan mamak sudah tua mereka bekarja semampunya, saatnya aku yang membiayai ketiga adik-adikku. Aku bekerja di pusat kota. Lusa, ketika Sang Pencipta mendengar doa-doaku.
            Di tahun-tahun berikutnya—sedikit lama—aku kembali ke desa, membeli lagi sawah peninggalan simbah untuk bapakku. Bapak meng-iya-kan dan senang. Lusa sawah peninggalan simbah itu di tambah sawah lainnya berubah fungsi sebagai kebun kopi—minuman favorit bapak.

***

            Aku mulai bercerita pada anak-anak kecil nan menggemaskan ini. Dongeng kancil dan pak tani, kancil dan buaya bahkan dongeng-dongen yang dulu pernah bapak ceritakan padaku sewaktu seusia meraka. Meraka tertawa, berbicara sendiri, diam, dan lain-lain. Cara mereka menghayati dongeng berbeda-beda dan tak kuambil pusing. Meraka sangat senang.
            Bahkan aku sempat bercerita tentang filosofi kopi—minuman favorit bapak—untuk mereka. Mareka menatapku tajam, penasaran, dan antusias. Aku menghela napas, menatap meraka lalu tersenyum.
            Desaku. Desa yang jauh dari pusat perkotaan, juga jauh dari pusat perindustrian. Kehidupan semua warga di desa ini sangat sederhana. Mereka bercocok tanam, berternak, berkebun, dan membuat kerajinan dari daun-daun kering. Semuanya dari alam. Bahkan kebun kopi ini takkan pernah ada jika tak ada alam. Sangat sederhana bukan?
“Kenapa harus kopi, mbah No?” tanya anak laki-laki yang duduk paling ujung. Kedua bola matanya membulat penasaran. Aku melihat sekeliling, tak ada kopi yang bisa ku seruput hanya ada tanamannya. Aku menghela napas.
“Kopi, perwujudan kesederhanaan, nak. Lihatlah, bapak dan mamakmu bekerja setiap harinya. Untuk apa? Mengasilkan kopi terbaik di kota ini. Lihatlah sepak terjang kopi ini, nak.” ucapku. Mereka belum mentalaah ucapanku matang-matang, terlihat jelas sorotan matanya yang belum paham.
“Menanam  pohon kopi juga perlu waktu, nak. Perlu waktu bertahun-tahun dan tumbuh buahnya. Hal itu akan menumbuhkan kesabaranmu. Lalu, memanennya dan memilah-milahnya, menyengrai biji kopinya. Dalam menyengrai biji kopi tersebut di butuhkan kesabaran ekstra, kalian tahu kan nak, bahwa kesabaran akan meperoleh kenikmatan. Sabar itu nikmat. Itulah kopi.” Aku menghela napas, lalu tersenyum. “Lain lagi. Kenapa kopi itu pahit?” Aku sengaja berhenti. Mengingat lagi perjalananku lima pulih tahun lalu—tentang bapak dan mamak—mereka masih menatap penasaran. “Karena kehidupan ini pahit, nak. Esok, saat kau beranjak dewasa kau kan tahu hal itu. Berusaha, berjuang, berdoa pada Sang Pencipta, dan restu bapak mamakmu. Ingat,  Kau tak dapat memperoleh keberhasilan dengan cara instan. Karena yang instan tak akan memperoleh keberhasilan sejati.” ucapku.
“Pahit itu kenikmatan, nak. Sang Pencipta menyanyangimu selalu. Jadi kau harus selalu bersyukur Pada-Nya. Setelah kopi pahit itu kau telan, kenikmatan akan muncul. Seperti itulah pait manisnya kehidupan.” Aku tersenyum. Mereka menatapku terpukau.

***

            “Bapak, kenapa suka sekali minum kopi?” tanyaku saat berusia lima tahun.
            Bapak menatapku, melihat sekeliling lalu tersenyum kearahku. Bukannya menjawab pertanyaanku malah menghabiskan setengah cangkir kopi di hadapannya. Aku hanya menelan ludah. Embusan angin sawah menerpa mukaku. Aku merentangkan kedua tangan, rambutku dan kaos oblongku berkibar-kibar. Bapak melihatku lalu tertawa.
“Karena kehidupan ini tak semuanya manis seperti gula, Le.” ucap Bapak tersenyum padaku.





Keterangan—
1. Selamat pagi, bapak!
2. Nak, bantu bapak!
3. Syur-sayurannya di letakkan mana, budhe?
4. Le: sebutan anak laki-laki dalam bahasa Jawa.
5. Tidak usah, bapak. Aku kerja saja.
6. Jangan, kamu pinter nak.
7. Nak, yang pinter  ya sekolahnya.
8. Aku bantu bapak di sawah saja.
9. Sekolah lagi, nak.




***


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Komentar

  1. ntap.. alhamdulillah dapat pencerahan saya. lanjutkan mbakhanda!!

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, menulis untuk kemaslahatan ummat :) *ehem *bijak*

    BalasHapus

Posting Komentar