[BUKU] DARI PALA MENUJU AMAI SETIA MELALUI TEH DAN PENGKHIANAT

Menilik Indonesia di masa lampau mulai dari VOC menginjakkan kaki di bumi pertiwi rasanya sangat menyedihkan, pribumi menjadi budak di tanahnya sendiri. Cerita-cerita tersebut bisa kita temukan dan baca diberbagai sumber, dari buku-buku akademik, nonfiksi, sampai fiksi. Melalui buku bergenre fiksi, Iksaka Banu menuliskan dalam buku Teh dan Pengkhianat.

Teh dan Pengkhianat merupakan karya Iksaka Banu yang terbit di Penerbit KPG pada tahun 2019 dengan tebal 164 halaman. Buku berisi kumpulan cerita pendek ini bisa dibaca juga melalui aplikasi Gramedia Digital dan iPusnas, atau membeli langsung di toko buku offline maupun online.

Cerpen-cerpen dalam buku ini menggunakan sudut yang berbeda, yaitu pandangan orang Belanda terhadap pribumi. Banyak orang berkulit putih pada masa itu memandang pribumi sangat rendah, tetapi, ada juga yang sebaliknya atau setara. Bahkan, di cerpen pembuka berjudul Kalabaka pesan itu tersampaikan. Namanya Hendrieck Cornelis Adam atau Driek, seorang tentara Belanda yang bertugas di Hindia Belanda, tapi karena suatu hal dia dipindah tugaskan ke Banda yang terkenal akan pala. Pikirnya, tugas yang diemban sangat mulia, namun, yang terjadi malah berbeda. Pertumbahan darah di mana-mana. Termasuk Kalabaka Maniasa, seorang pemuda Banda kaya raya yang mengenal baik sejarah tanah Banda. Driek sudah berteriak berulang kali untuk menghentikan aksi menakutkan itu. Sangat disayangkan. Driek dalam surat untuk anak laki-lakinya menyebut, “Sebab, pada setiap keping sen yang kau simpan, ada darah dan air mata penduduk Banda yang kehilangan asal-usul dan jati diri karena gugur membela tanah air, atau dibawa ke Batavia sebagai budak belian. Ya, VOC adalah mesin perang yang paling haus darah yang pernah ada di muka bumi ini.

Berlanjut lagi tentang seseorang yang memesan globe raksasa dari Belanda yang dibawa oleh kapal milik kapten Van de Vlek. Namun dalam perjalanannya, sang kapten menemui hambatan, yaitu  sang keponakan yang telah menginjak usia remaja. Hambatan tersebut memicu perdebatan panjang dengan seorang pendeta. Khusus cerpen ini juga menyinggung tentang agama dan ilmu pengetahuan. Perdebatan sengit, tetapi yang paling mengejutkan adalah dibalik pemesan globe raksasa, ialah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Gowa, bernama Karaeng Pattingalloang.

Tak berhenti sampai di situ, cerpen-cerpen dalam buku Teh dan Pengkhianat semakin menarik. Dua cerpen pembuka yang berhasil membawa pembaca pada penasaran-penasaran selanjutnya. Terlebih Iksaka Banu menuliskan cerita-cerita dengan luwes, sehingga mudah dipahami semua kalangan. Melalui narasi-narasi yang ada juga berhasil membuat setiap cerpen terasa nyata, pembaca akan merasa turut hadir dalam cerita. Tak heran, ketika  pembaca berhasil menyelesaikan satu cerpen maupun satu buku sekaligus, mereka akan dibuat ber-ooh-panjang dan kepo dengan kisah sebenarnya. Terlebih, cerpen-cerpen di buku ini memuat sejarah Bangsa Indonesia yang hampir luput dalam pandangan.

Satu cerpen berjudul Belenggu Emas yang akan membuat pembaca semakin takjub. Dalam narasi dikisahkan, dua orang wanita Belanda secara diam-diam datang mengunjungi rumah pribumi. Konon menyimpan tumpukan puluhan buku dalam beberapa bahasa seperti Melayu, Arab, dan Belanda. Lalu ada tumpukan koran terbitan dalam dan luar negeri sampai kain tenun yang tersusun rapi dan halus. Cornellia dalam batinnya berkata, “Bukan hal aneh menjumpai pemandangan semacam itu di ruang tamu para pejabat Belanda. Tetapi saat ini aku tengah berada di dalam sebuah bangunan yang jauh dari karamaian kota, milik seorang bumiputra. Tepatnya, seorang wanita bumiputra.” Pribumi tersebut adalah Roehana Koeddoes pencetus Sekolah Kerajinan Amai Setia sekaligus surat kabar bernama Soenting Melajoe.

Masih banyak cerpen-cerpen lain dalam Teh dan Pengkhianat yang patut dibaca. Beberapa di antaranya berkisah tentang; sisi lain penjualan barang memabukkan yang menjadi komoditas terlarang namun berhasil menguasai pasar; sepeda milik meneer untuk seorang pribumi; atau seorang tentara baru Belanda yang memilih menjadi relawan kemanusiaan usai melewati malam yang panjang. Tiga belas cerpen dengan latar tempat sekaligus pesan-pesan yang berbeda, sangat sayang untuk dilewatkan.

Komentar