[BUKU] MONSTER YANG TUMBUH DI NOVEL KATARSIS


KATARSIS karya Anastasia Aemilia menjadi novel 'berat' yang selanjutnya kubaca. Pertama kali terbit tahun 2013 di Penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan tebal 264 halaman. Buku ini kubaca tak sampai seminggu, kupikir menghabiskan buku ini lebih cepat akan lebih baik, ya, efek meminjam di aplikasi perpustakaan digital: iPusnas. Sayang, kan, kalau harus ikut mengantre lagi, mana antreannya panjang. Huhu.

Novel ini bergenre psychological-thriller. Agak menyeramkan bagi yang gak 'berani' dan aku tergolong yang gak terlalu berani banget buat baca novel Katarsis. Kupikir novel ini merupakan novel terjemahan, ternyata Anastasia Aemilia seorang asli Indonesia. Menarik! Ketambahan lagi novel ini jadi rekomendasi salah satu akun instagram yang sering ngobrolin seputar psikologi. Semakin menarik! Perlu waktu cukup lama dan beberapa kali mengecek notifikasi perpus digital: iPusnas untuk mengetahui ketersedian stok buku ini. Bagaimana tidak, novel ini termasuk yang digemari pembaca. Tak salah, menurut salah satu sumber, Katarsis, telah mulai proses alihwahana ke series.

Tara Johandi, seorang perempuan berusia delapan belas tahun yang menjadi salah satu tokoh penting dalam novel ini. Ia tinggal bersama kedua orangtuanya Bara Johandi dan Tari Johandi. Anehnya, Tara tak ingin memanggil kedua orangtuanya dengan sebutan Ayah dan Ibu, melainkan menganggil namanya. Tunggu, novel ini tak bersetting di Eropa, tetapi di Bandung dan Jakarta. Banyak peristiwa 'sepele' yang terjadi, tetapi akan membawa pada teka-teki selanjutnya. Seperti ketika Tara memainkan giginya yang hendak tanggal, atau aroma mint yang beberapa kali tercium oleh Tara. Nahas, nasib buruk menimpa keluarga Johandi. Bara yang tidak betah merawat anak semata wayangnya malah menitipkan Tara pada adiknya, keluarga Arif Johandi dan Sasi Johandi. Bagaimana dengan keadaan Tari? Cerita tentang keluarga Bara dan Tari ini sangat singkat, jadi, tak banyak yang bisa diterka kecuali kebaikan Tari yang patut dikenang dan tatapan tajam Bara pada Tara.


Berlanjut pada kisah Tara yang tinggal bersama keluarga Arif Johandi dan Sasi Johandi. Keluarga yang menurutku sangat baik dan harmonis. Mereka hanya punya satu anak bernama Moses Johandi, yang umurnya di atas Tara beberapa tahun. Arif dan Sasi juga menyayangi Tara seperti anaknya sendiri. Sesuatu yang unik bagi Tara ketika Sasi memanggil keponakannya dengan sebutan, "Nak". Hal ini membuat Tara merasa sedikit berbeda. Nah, konflik di keluarga besar Johandi mulai muncul satu per satu. Rumit sekali. Bahkan, hal yang tidak kubayangkan terjadi malah memiliki peran besar. Edyan!

Sesuai judul, Katarsis, juga ada tokoh psikiater. Ia bernama Alfons, laki-laki muda yang membuka praktiknya di Jakarta. Psikiater ini juga punya andil dalam perubahan tokoh aku dalam novel. Oh iya, cerita novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama: aku, dan masih dibagi lagi menjadi dua tokoh aku, yang diperankan Tara Johandi dan Ello alias Marcello Ponty. Keduanya sama-sama pasien dari dokter Alfons yang bakal ketahuan menjelang akhir cerita.

Sesuai blurb yang ada di kover belakang, novel ini bercerita tentang kasus perampokan tragis yang menimpa keluarga Johandi, Tara menjadi satu-satunya keluarga yang selamat, tetapi ditemukan dalam kotak perkakas kayu dalam kondisi syok berat. Syok berat inilah yang mengakibatkan Tara mengalami trauma berkepanjangan, halusinasi, dan depresi. Tetapi, melalui Alfons—yang sebelum kejadian tragis sudah menjadi psikiater Tara atas saran Arif dan Sasi—tokoh aku bernama Tara 'berhasil' melewati masa-masa sulitnya.

Aroma mint, kotak perkakas kayu, ditambah koin lima ratus keluaran tahun 1974 menjadi petunjuk selanjutnya. Ternyata, usai kejadian nahas itu, beberapa tahun selanjutnya kembali terjadi. Pembunuhan acak menggemparkan kota. Polisi belum menemukan siapa dalang dibalik kasus mengerikan ini. Namun, tiga hal yang aku sebutkan di awal paragraf bagian ini menjadi kunci. Seketika aku teringat bagaimana Sherlock Holmes dan Edogawa Conan mengunjungi TKP, mencari sisa-sisa yang bisa dijadikan bukti atau petunjuk selanjutnya, dan meruntutkan kepingan-kepingan menjadi pemecahan kasus. Ah, sial, novel ini tidak bekerjasama dengan Holmes maupun Conan. Hehe.

Tak banyak kata-kata bijak yang aku temukan dalam novel ini. Tetapi, melalui perilaku Alfons memperlakukan Tara sebagai manusia yang utuh menurutku cukup. Oh iya, selepas kejadian mengerikan itu, Tara sempat mendapat perawatan di RSJ dan akhirnya tinggal bersama Alfons di Jakarta. Alfons sangat baik. Bayanganku, Alfons adalah tipe psikiater yang sangat mengerti pasiennya dan menjunjung tinggi kode etik, caranya dalam memberikan pertanyaan untuk tahu sisi lain dari pasien juga sangat tenang dan halus. Bahkan, Tara selalu mengumpat dalam hati ketika secara diam-diam Alfons mengajaknya mengobrol dan sampai pada sasaran 'alasan yang membuat Tara selama ini lebih memilih diam dan sesuatu yang sangat rahasia' Ah, Alfons!

Alur yang digunakan dalam novel ini ialah alur campuran. Bab pertama akan membawamu pada keadaan disekapnya Tata dalam kotak perkakas kayu, selebihnya ada di ruangan yang selalu dijaga baik oleh Alfons alias Rumah Sakit Jiwa. Selanjutnya, silakan baca sendiri novel Katarsis ini, Teman! Ah, aku sampai lupa menyebut monster-monster yang tumbuh di kepala Tara seusai kejadian traumatis itu. Setiap hari bahkan setiap detik, nyawanya seperti terancam. Apalagi setelah mengetahui Arif Johandi, sang paman ternyata masih hidup dan menghilangkan jejak. Dan Pak Tua yang tinggal sendirian di rumah kayu yang pekarangannya banyak ditumbuhi tanaman mint. Lalu apa hubungannya dengan semua ini?

Gelap dan mencekam. Itulah gambaran usai membaca tuntas novel ini, walaupun di beberapa bagian ada cerita yang menurutku sedikit menenangkan. Tentang Bruno si kucing liar yang dipelihara Tara di rumah Alfons, obrolan menyenangkan dengan Alfons, atau saat pertama kali bertemu dengan Ello. Aku sarankan agar kamu rileks saat membaca novel ini dan jangan berharap sebagai hiburan sepenuhnya. Sudah, ya, sepertinya ini terlalu panjang. Hmm. Tak apa. Sebagai penutup, aku mengutip kebiasaan Alfons dalam keseharian, menyediakan minum air mineral dalam cangkir polkadot dan meminumnya. Menurutnya kebiasaan itu bisa menjernihkan pikiran dan bisa kembali membuka lembaran baru, saat itu juga. Salam hangat, jangan lupa jaga kesehatan, dan bahagia, ya!

Komentar

Posting Komentar