[BUKU] MEMAKNAI KETAKUTAN MELALUI 99 WISDOM


99 Wisdom merupakan karya dari Gobind Vashdev yang kini menetap di Ubud, Bali. Buku 99 Wisdom, kumpulan kisah pemberi makna, ini memiliki tebal 222 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Noura pada tahun 2017.

Pandangan pertamaku jatuh pada buku ini karena kover yang menyenangkan dan tenang, dengan latar berwarna putih dan krem pudar yang menyatu dengan gambar-gambar seperti kecapung dan daun-daun berwarna cokelat. Kemudian, saat membaca bagian awal, penulis menuliskan pesan yang terletak menjelang akhir paragraf. Pesan yang membuatku semakin percaya, singkatnya bahwa, tidak ada yang salah ketika belum memahami isi dari buku yang dibaca. Ah, sial, aku seperti membaca diriku melalui paragraf ini!
Begitu juga dengan sahabat yang membaca buku ini, mungkin ada kalimat yang tidak dipahami, enggak "ngeh" atau belum "dong", tidak perlu berkecil hati atau memaksa harus mendapatkan pesannya. Tetaplah membaca. Semua itu adalah bagian dari proses pertumbuhan yang tidak pernah sia-sia.
Terdapat 99 bagian atau cerita dalam buku ini, persis seperti judul buku 99 Wisdom. Benar saja, banyak kisah dan pesan yang membuatku merasa belum "ngeh" dan bingung (tapi ini memang keseringanku kurang ngeh dalam membaca, sih, wkwk).


Pada kisah ke-sembilan, Menari di Kala Hujan. Cerita ini berkaitan dengan hujan, naik sepeda, dan hujan-hujanan. Rigpa bertanya pada tokoh "aku", 'apakah tidak takut sakit?' Saat itu mereka sedang menikmati hujan-hujanan. Aku menjawab, 'panas berkah, hujan pun berkah. Mari sambut apapun yang disuguhkan alam nan bijak ini'. Kemudian dilanjut pada paragraf selanjutnya (yang sebenarnya sudah kurangkum juga), 'setiap ketakutan, kecemasan, juga kemarahan menghadirkan kerutan yang menghalangi lancarnya energi dari dalam'. Kemudian ditutup pada paragraf terakhir, 'jadi, kesimpulannya, daripada berteduh dalam ketakutan, tentu lebih baik menari di kala hujan'.

Tidak sampai di situ saja, pembahasan lain terkait diri dan ketakutan--seperti yang sudah dibahas sekilas pada paragraf di atas ini--kembali diulang. Tenang, pengulang-ulangan ini tidak membosankan, malah, lebih ke contoh lain yang mungkin luput dari keseharian kita. Kita perlu keluar dari diri kita (ego) untuk melihat keterhubungan sejati antarmakhluk. Kita perlu terbang untuk melewati kungkungan benar-salah dan baik-buruk untuk menyadari bahwa dualitas adalah ilusi. Kita perlu untuk keluar... Dan... Hanya ada satu jalan keluar. Ke mana? Ke dalam.

Salah satu contoh dari 99 kisah yang aku tulis di review ini yang herkaitan dengan paragraf sebelumnya adalah kisah di nomor delapan puluh enam, Dengan Polisi. Tokoh aku bercerita mengenai 'benci'nya ia pada polisi. Singkatnya ketika bertemu dengan polisi ataupun ada pemeriksaan kendaraan, tokoh aku akan emosi naik, entah dengan berdebat atau marah, padahal tidak ada pengalaman buruk atau trauma saat bertemu dan berhadapan dengan polisi. Mengapa demikian? Lalu saya merenung dan mencari tahu, mengapa polisi selalu menjadi bom bersumbu pendek dalam diri saya. Kemudian pada pada paragraf selanjutnya disebutkan, ada kaitan dengan memori masa kecil tentang kejelekan polisi yang sering diulang dan diucapkan oleh seseorang didekat tokoh aku. Pada halaman 190 bagian paragraf akhir seolah menjawab, "Sekarang tugas saya adalah merawat dan merawat luka yang disebabkan ketidaksadaran ini. Kalau dibandingkan, tentu lebih enak menyalahkan yang lain. Namun, bila kita ingin sembuh, tidak ada cara lain selain menghadapi rasa sakit yang timbul, memeluknya dengan kasih serta sabar menunggu hingga kering menjemput."

Saat proses membaca buku ini, seperti diajak bertemu dengan guru-guru dari lintas agama. Menarik! Ternyata, semua agama mengajarkan kebaikan dan hablumminal alam, ya, dan mungkin pesan-pesan lain yang belum tersampai padaku. Tetapi, seperti yang kutulis di sini, mataku seperti terbuka lagi melalu tulisan Gobind Vashdev, termasuk tentang spiritual dari beberapa agama yang ada di Indonesia, walaupun pesan yang disampaikan sangat tersirat. Jadi teringat salah satu penggalan puisi Joko Pinurbo yang berseliweran di media sosial,

Apa agamamu?
Agamaku adalah air 
Yang menghapuskan
Pertanyaanmu

Sebenarnya masih banyak lagi pesan-pesan yang disampaikan secara langsung maupun tersirat dalam buku ini, tetapi tidak mungkin kan jika semuanya di tulis pada review ini. Bahkan, aku perlu menghabiskan lima lebih kertas sticky-notes ukuran sedang untuk mencatat poin-poin. Oh iya, aku juga sempat mencari tahu buku ini di aplikasi perpustakaan digital iPusnas, ternyata buku ini tersedia. Jadi, teman-teman bisa membaca melalui aplikasi gratis tersebut.


Sebagai penutup, aku mengutip paragraf akhir dari kisah ke-delapan puluh delapan, Gong Xie, "Semoga di setiap tahun yang baru kita mendapat semangat baru untuk selalu beryukur."

Komentar