[PSIKOLOGI] BETULAN ANAK PSIKOLOGI!
BETULAN
ANAK PSIKOLOGI!
Assalamu’alaikum.
Hai apa kabar? Sehat nggak hari ini? Yakin? Semoga selalu sehat fisik dan
psikis, ya, semoga Allah selalu melindungimu. Aamiin.
Coba
tunjuk diri sendiri bila diantara teman-teman pembaca blog-absurd ini ada yang
sempat atau merasa salah mengambil jurusan di bangku perkuliahan?
“Saya!”
Begitu
pengakuanku dalam diri dan beberapa teman yang sempat menanyakan mengenai
jurusan kuliah yang saya ambil. Sebenarnya saya sendiri tidak ada yang salah
dengan pengambilan jurusan ini (baca: psikologi), karena memang sejak dibukanya
SNMPTN atau yang dikenal Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
yang seleksinya menggunakan jalur rapor ini saya ngeyel banget milih
Psikologi. Pun saat SBMPTN dibuka juga mengambil jurusan yang sama. UM (Ujian
Mandiri) juga demikian, hingga kepepetnya sekalipun tetap milih Psikologi di mana
pun universitasnya! Walaupun selalu ngeyel dengan Psikologi, saya tetap
menyiapkan pilihan lainnya yang tentu tak jauh-jauh dengan kesenangan saya memikirkan
masa lalu (baca saja: Ilmu Sejarah) dan prosa-puitisnya saya kalau lihat langit,
senja, pohon, dan senyumanmu (baca saja: Sastra Indonesia).
Nahas,
pilihan lainnya bernama Sastra Indonesia juga berhasil membuat saya gagal move-on.
Bagaimana tidak, jika setiap berkenalan dengan teman—baik di dunia nyata dan
maya—atau teman lama yang jarang sekali bersua, saya selalu memperoleh
pengakuan—sementara.
“Jago
bikin puisi, pasti anak Sastra Indonesia, kan? Ngaku aja!”
“Wah
sekarang sudah jadi penulis, nih, pasti kuliahnya di Sastra Indonesia.”
“Eh,
enggak. Enggak pokoknya!”
Seketika
si penanya akan merasa terkejut dan mengulang lagi pertanyaan serupa berulang
kali, sampai akhirnya menyerah dengan penjelasan-penjelasan yang saya berikan.
Iya,
kan, benar saja, diingatkan selalu kalau dulu pernah hampir berhasil meloloskan
diri memasuki dunia sastra, tetapi takdir berkata lain. Heuheu.
Psikologi,
ya, psikologi!
Sekarang,
saya memsuki tahun ketiga—pertama—sebut saja saat menulis ini duduk di semester
setengah menuju tua—saya baru merasakan betapa nikmatnya menjadi anak
psikologi.
“Apa
katamu? Nikmat, Mal? Oh, ya Rabb…”
Tahun
pertama, tahun kedua, hingga tahun ketiga, menuju tahun keempat—tahun penghabisan—sebelumnya,
saya akan bahas sedikit tentang salah jurusan yang sebenarnya tidak salah-salah
banget milih jurusannya. *opo-sih-Mal
Tahun
pertama di Psikologi. Tahun paling polos banget. Gak tahu apa-apa, tapi dengan
songongnya bilang, “Aku bisa baca pikiranmu!” karena yang diharapkan, di
tahun pertama ini langsung mendapat materi yang seperti itu. Namun, materi yang
diinginkan tidak diperoleh, melainkan seabrek teori dari leluhur Filsafaat,
Faal, hingga muncul teori-teori Psikologi.
Tahun
pertama ini pula, berdasarkan pengamatanku, mahasiswa-mahasiswa bakal
kencang-kencangnya mencari kesibukan melalui ikut kegiatan UKM atau ekstra kampus.
Hal ini juga terjadi pada saya, tetapi, saya memilih ikutan seleksi yang nggak
jauh-jauh banget dengat bakat saya, yaitu menulis. Maka, ketika UKM yang saya
incar membuka open-recriutment, saya bergegas ikutan. Tahulah betapa
semangatnya mahasiswa baru kalau ketemu hal-hal yang disenangi kayak gimana. Saya
ingat, semangat saya luar biasa, sewaktu seleksi saya bela-belakan dari rumah
berangkat pagi agar tidak terlambat. Tibalah pengumuman. Nama saya tidak ada di
daftar yang lolos seleksi. Oke, saya patah hati, dan kemungkinan besar, patah
hati yang saya terima dua tahun lalu membentuk sikap saya yang masa bodo dengan
hal-hal yang berbau dengan kegiatan kampus.
Melalui
patah hati tersebut saya membuat jadwal rutin belajar menulis, dan benar
kegiatan-kegiatan yang saya buat sendiri menjadi lebih terarah. Misalnya,
setiap di BRT—karena saya nglaju dari rumah ke kampus—saya memilih menulis
prosa pendek atau puisi. Atau sekadar melamun memikirkan judul, konflik, dan
permasalahan untuk cerpen yang hendak saya tulis di akhir pekan. Benar saja,
tulisan-tulisan dan ide yang saya tulis itu pun beberapa ada yang nyangkut di
hati juri event kepenulisan dan lolos. Dan tentu selama rutin belajar menulis
ini, saya banyak nyolong ilmu dari grup WA, termasuk grup WA yang dibuat
Kang Faisal Syahreza dan Cipta Puisi Bersama Sesurga besamamu #1.
Materi
psikologi di tahun pertama memang berlum terlalu terlihat dengan jelas, seperti
yang sudah saya sebutkan tadi, kami—mahasiswa psikologi semester satu—lebih banyak
dihadapkan definisi secara umum psikologi, grand-theory psychology, dan
tentu mata kuliah umum universitas. Tugas? Tidak terlalu parah. Malah tugas-tugas
yang diberikan dosen sangat menyenangkan, misalnya seperti membuat poster,
video pembelajaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan psikologi, misal
belajar, mimpi, emosi, dan meresume sejumlah materi.
Lanjut
ke tahun kedua. Anggap saja tahun kedua ini meliputi semester tiga dan empat. Nah,
mengenai tugas-tugas yang diberikan pun sudah mulai menegangkan. Di semester
dua, penelitian atau mini riset memang sudah mulai diajarkan. Lalu, di semester
tiga dan empat, hal ini terjadi lagi, bahkan dengan jumlah yang sangat banyak.
Di
tahun kedua ini, salah satu mata kuliah menganjurkan mahasiswa untuk terjun ke
lapangan untuk survei dan observasi langsung. Sebenarnya, semester dua sudah
dilakukan, tetapi dengan kelompok, nah kalau semester tiga malah observasi
secara individu. Di tahun kedua ini pula, berbagai mata kuliah yang uhui banget
banyak diterima, dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi
pendidikan, psikologi komunikasi, psikologi industri dan organisasi, psikologi belajar, hingga psikologi abnormal. Mantap
nggak tuh? Mantap banget, kayak pribahasa, sambil menyelam dua tiga pulau
terlampaui. Memang benar, hampir semua mata kuliah yang diajarkan di psikologi
berguna banget, malah kalau pas pembahasannya mengenai keabnormlan dalam
individu, mahasiswa psikologi bakal langsung introspeksi, berhati-hati, dan mawas
diri. Jadi kalau sering anak psikologi bilang seperti ini, memang faktanya juga
demikian.
“Belajar
sambil berobat jalan, heuheu.”
Semester
empat, banyak mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa psikologi untuk terjun ke
lapangan. Seperti wawancara, observasi, penelitian lagi, lagi dan lagi. Kesal?
Iya, itu pasti. Tetapi, saya ingat, teman-teman termasuk saya menjalani
kenikmatan proses menjadi pejuang Sarjana S.Psi ini dengan hati yang
berbunga, tulus, ikhlas, wes pokoknya gak banyak nggresah.
Tibalah
di tahun ketiga yang pertama ini, anggap saja semester lima *lha-emang-semester-lima,
sih* siapa sebenarnya psikologi semakin terkuak. Di semester lima ini,
banyak sekali dihadapkan berbagai tes, baik tes untuk intelegensi/IQ, minat dan
bakat, hingga tes kepribadian.
“Kalian
sempat diginiin teman, ‘Psikologi, ya? Wah berarti bisa baca pikiranku dong? Ayo
dong di baca.’ Pasti pernah, kan?” kata dosen dengan menyunggingkan senyum.
Seketika
kami—sekelas—tertawa. Iya, benar, tawa kami saat itu menandakan ‘iya’
pada peryataan bu dosen. Terus dosen kami juga tertawa, tak lama kemudian
menjawab,
“Emang
kamu kira aku ini dukun yang bisa baca pikiranmu. Kamu tahu nggak, kalau di
psikologi itu mau baca pikiran, kepribadian, minatmu ke mana harus pakai tes,
terus kamu mau aku tes?” jawab bu dosen, “tesnya itu ada ini-itu-belum lagi
tambahan lainnya. Wes pokoknya banyak, kamu mau?”
Kami
kembali tertawa.
Dan
benar, di semester lima ini seabrek tes diberikan. Tapi seru, lho! Jadi kita
sebagai mahasiswa psikologi—semester agak nggak tua—ini diperbolehkan menjadi
testee, alias yang mengerjakan tes yang saya sebutkan tadi. Jadi, kita bakal
tahu IQ, minat dan bakat, serta kepribadian kita. Tapi nggak sembarangan orang
boleh tahu hasil tesnya, cuma yang bersangkutan dan itu pun dengan catatan
sudah diracik dengan bahasa yang mudah dimengerti dan nggak semuanya boleh
diketauhui si testee/klien/subjek/orang yang di tes. Iya, sih, penggunaan
bahasa dalam psikologi memang terkadang membingungkan. Nah, lho!
Nggak
cuma itu saja, setiap hari bakal dikejar sama deadline laporan, tugas,
hingga penelitian-penelitian. Wuih, ntap! Jujur saja, nih, semester lima
ini saya seharian di kampus, dari pagi jam enam di jalan dan malam juga masih
perjalanan menuju rumah. Wkwk, maklum pejoang nglaju, uwuwu~
Bagi
saya, di semester ini membuka jalan pikiran saya yang sejak di tahun pertama
termindset bahwa saya nyasar di psikologi, saya salah jurusan! Eh tak tahunya
sampai juga di tahun blak-blakannya psikologi. Alhamdulillah.
Lalu
bagaimana dengan Sastra Indonesia dan Ilmu Sejarah yang sempat saya
agung-agungkan di semester awal? Mereka baik-baik saja, mereka sering
berdiskusi di pikiran saya, terkadang bertemu psikologi lalu bercengkrama
banyak hal. Hal itu membuat saya senang. Ternyata ketiga hal yang saya senangi
sangat berkesinambungan, baik-baik, ya!
Sudah
ya, cerita tentang psikologi dan teman-temannya psikologi. Kapan-kapan kalau
niat bakal lanjut lagi. Heuheu.
Salam
hangat dari mahasiswi Psikologi, tetap jaga kesehatan fisik dan psikismu, ya!
Di
tengah laporan praktikum tes yang menumpuk,
Demak, 7 Oktober
2018.
Komentar
Posting Komentar